Judul Buku : Bilangan Fu
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun Terbit : 2008
Jumlah halaman : x + 537
Cerita novel Bilangan Fu yang dalam penangkapan saya adalah kritik Ayu Utami terhadap masyarakat modern. Kritik utama yang hendak ia sampaikan adalah kejengkelannya terhadap masyarakat modern yang mencoba menguji kebenaran mitos dan cerita rakyat melalui sudut pandang positivisme. Selain itu, kritik Ayu Utami dalam masyarakat yang katanya ilmah dan menjunjung tinggi rasio adalah justru menajdi alat pemuas hasrat akan sifat eksploitatif manusia. Dalam menyampaikan dua kritik tersebut, Ayu Utami menggunakan pendekatan cerita rakyat dan mitos yang berkembang di masyakarat Jawa. Jika dicermati, alur ceritanya seperti Ayu Utami yang mencoba memberi pemahaman bahwa sebuah pengetahuan memiliki epistimologi (metode) dan aksiologinya (fungsinya) masing-masing. Ketika satu pengetahuan dianggap aneh atau bersifat transeden yang berasal dari batas pengalaman dan pengindraan manusia, bukan berarti pengetahuan ini tidak mengandung fungsi atau manfaat, melainkan alat ukur kita yang terlalu seragam dalam kaca mata ilmiah.
Dialektika yang dihadirkan dalam novel tersebut disampaikan oleh dua tokoh utama: Yuda seorang mahasiswa di Bandung dan Karang Jati seorang pemuda desa titisan dewa yang bependidikan tinggi dan bijaksana. Dikisahkan Yuda adalah pemuda yang gemar rock climbing. Ia benci dengan keramain kota dan memilih untuk sering mengujungi bukit Karst yang ada di Watugunung. Desa yang ada di Bukit Watugung masih menjunjung tinggi kepercyaan diluar kuasa manusia. Mitos-mitos tetap lestari dalam keseharian warga desa.
Yuda seolah acuh terhadap terhadap kepercayaan warga desa. Ia tidak percaya tapi tidak juga ingin membantah. Berbeda dengan Parang Jati, meskipun terpelajar, ia tidak sepenuhnya menolak hal-hal yang menurut anggapan orang-orang terpelajar sebagai entitas yang tidak benar eksistensinya. Dalam bahasa lain, Jati percaya bahwa tiap pengetahuan memiliki aksiologinya masing-masing yang membawa mamfaat bagi manusia. Misalnya mitos dari Jawa Barat, Sangkuriang. Di cerita rakyat tersebut, dikisahkan seorang pria yang mencintai ibu kandungnya, namanya Dayang Sumbi. Orang-orang yang menolak cerita Sangkuriang biasanya akan fokus pada kisah Dayang Sumbi yang dihamili oleh seekor anjing dan Sangkuriang yang membangun perahu raksasa dalam waktu semalam. Padahal, menurut Karang Jati, dari kisah sangkuriang kita bisa belajar bahwa Bandung dulunya sebuah kawasan danau purba, yang baru dibuktikan oleh ahli ilmu bebatuan pada zaman moderen ini.
Ketidakmampuan orang-orang modern untuk memahami pesan-pesan implisit yang tersirat dalam cerita rakyat yang terkesan dianggap sebagai takhayul. Parang Jati pun kemudian bertanya, "Mengapa kita menganggap salah takhayul? Menurutnya, kita telah berkenalan dengan cara pikir modern. Kesadaran modern membebaskan manusia dari takhyaul, dari batas dan ketakutan yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak bisa dibuktikan atau diterangkan oleh akal sehat.
Tapi persoalanya, itu hanya pengandaian saja. Sebab, kesadaran modern ternyata tidak bisa membaskan manusia dari takhayul. Sebab, hanya sebagian yang bebas. Sebagian lagi tidak. Yang terbebaskan adalah mereka yang diuntungkan dari kesadaran modern. Yang tidak terbebaskan adalah mereka yang tidak mendapat keuntungan dari kesadaran modern.
Takhayul berarti sama dengan 'khayal'. Artinya hal yang tidak dirasakan atau hal-hal yang bersifat khayal belaka. Fakta bahwa harga batu marmer seratus ribu di kota tidak membuat tukang batu di Sewugung bisa membuat harga batu marmer yang mereka produksi bisa lebih mahal dari sepuluh ribu. Kesadaran bahwa pendidikan akan mencerdaskan bangsa tidak bisa membuat orang-orang miskin bisa memperoleh pendidikan melalui sekolah formal. Karena di desa belum tentu ada sekolah, sekalipun ada, belum tentu ada uang. Artinya bagi sebagian orang, komoditas dengan harga tinggi yang mampu menaikan kondisi ekonomi dan pendidikan adalah takhayul juga, sebab tidak bisa mereka rasakan secara langsung. Hal-hal yang bersifat modern tidak lebih dari takhyul juga bagi mereka yang tidak mampu mengaksesnya.
Masyarakat yang belum bebas dari takhayul juga seringkali diperalat oleh orang yang katanya memiliki kesadaran modern. Mereka mampu mendesain takhayul yang dipaksakan untuk dipercayai orang-orang. Mitos Marx sebagai hantu dan PKI sebagai pembunuh dijadikan legitimasi untuk menakuti massa-rakyat, agar mudah dipecah belah dan dikuasai. Dengan demikian kekuasan mereka dilanggengkan.
Celakanya, kesadaran modern adalah alat untuk kepentingan individu atau segolongan orang. ini membuatnya bisa lebih buruk daripada takhyul. Sebab, takhayul adalah alat untuk menjamin kepentingan bersama. Kepercayaan tentang roh tentang penjaga hutan adalah alat untuk menjaga alam yang merupakan milik bersama.
Kesimpulanya, modernisme memiliki jalan yang lurus, tapi tidak tujuan yang lurus, sehingga dia dijadikan alat untuk memperalat, dan yang diperalat adalah takhayul.
Ditulis oleh Samsul Bakri