Indonesia sebagai negara hukum
Negara Republik Indonesia mempunyai cita-cita hukum yang adil tanpa memandang golongan (equality before the low), artinya sama di mata hukum serta seluruh warga negara mempunyai kesempatan yang sama dalam mengakses hukum. Indonesia sebagai negara hukum dipertegas dalam pasal 1 ayat 3 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi: negara indonesia ialah negara hukum. Konsekuensi negara hukum ialah seluruh aktifitas lembaga di dalamnya harus diatur berdasarkan hukum. Hukum yang seharusnya sebagai alat untuk mewujudkan keadilan, namun seolah-olah hukum menjadi momok yang menakutkan di tengah masyarakat, sebab dalam pengimplementasian hukum oleh aparat penegak hukum seringkali salah kaprah dan menganggap bahwa undang-undang dan pasal adalah wujud dari hukum itu sendiri. Kontradiksi ini menimbulkan pertanyaan, apa gunanya ada aparat penegak hukum, bila mana ia tidak bisa memberikan rasa aman dan keadilan di tengah masyarakat?
Politik dan Aparat yang tidak memahami hukum
Salah satu ciri negara hukum, ialah saling menghargai Hak Asasi Manusia (HAM), sudah menjadi kewajiban di tiap penerapan hukum yang harus di tinjau secara mendalam ialah kemanusiaan dan rasa keadilan bagi setiap orang yang berhadapan dengan hukum. Namun di kalangan masyarakat seolah-olah hukum menjadi momok yang menakutkan, sebab fenomena di kalangan masyarakat, aparat penegak hukum cenderung mengedepankan kekerasan dalam menangani persoalan yang ada, lebih-lebih terjadi conflict of interest antara pemerintah dengan rakyat. Studi kasusnya, sengketa pertanahan, sering terjadi di kalangan masyarakat, di Jawa Tengah terjadi konflik pertanahan di Desa Wadas, sampai hari ini masih di protes oleh masyarakat yang terampas haknya. Melihat bentrokan kepentingan pemerintah dengan masyarakat, dalam pendekatan litigasi, sampai proses di tingkat pengadilan tata usaha negara, sudah menjadi niscaya pemerintah yang menang, sebab kepentingan pemerintah yang berdalilkan kepentingan umum. Kepentingan umum seolah-oleh menjadi sesuatu yang tidak bisa terbantahkan oleh masyarakat, kalau dikaji lebih jauh berdasarkan kata “kepentingan umum” bisa kita artikan secara sederhana ialah kepentingan bersama. kelompok yang terkecil masyarakat yang menolak tanahnya di rampas oleh pemerintah ialah bagian dari masyarakat umum, sebab bukan hanya saja tanah yang di rampas oleh pemerintah, namun alat produksi masyarakat pun ikut serta di rampas oleh pemerintah. Dengan tumpukan masalah yang ada, negara indonesia tidak konsisten menganut sebagai negara hukum, sebab perampasan dan kekerasan tidak di benarkan di dalam negara hukum, konsekuensi negara hukum ialah menjaga martabat kemanusiaan.
Secara regulasi dalam penyusunan undang-undang, harus terpenuhi syarat formil dan materil, tata cara penyusunan dan isi muatan undang-undang, dalam penyusunan undang-undang syarat akan kepentingan, tentu kepentingan bersama. Wacana dalam penyusunan undang-undang dan melewati pembahasan di meja parlemen, niscaya produk murni hukum akan menjadi produk politik, sebab perdebatan dalam lembaga legislatif syarat akan kepentingan golongan, Tentu ini akan berdampak pada undang-undang produk politik syarat akan kepentingan segelintir golongan. Menurut Mahfud MD dalam buku politik hukumnya, berkaitan dengan konfigurasi politik, tarik menarik kepentingan hukum dan politik. Ia menjelaskan bahwa pemerintahan yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang konservatif/ortodoks. Begitupun sebaliknya, bila mana pemerintah yang demokratis maka akan melahirkan produk hukum yang responsif. Yang menjadi penentu melahirkan undang-undang yang responsif dan humanis ialah pada partisipasi aktif dalam penyusunan undang-undang. Menjadi tanda tanya besar yakni produk politik (undang-undang) yang akhir ini muncul penolakan secara keberlanjutan, contoh: undang-undang cipta kerja, gelombang protes yang ada di tiap daerah menjadi keniscayaan karena ada kepentingan masyarakat yang tidak diakomodir oleh dewan perwakilan rakyat dan pemerintah. Lahirnya protes atas segala produk legislatif hari ini, karena kecurigaan berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Sebab undang-undang produk legislatif tidak berdasarkan kepada naskah akademik, bak pasangan sejoli yang tidak bisa di pisahkan antara rancangan undang-undang dan naskah akademik, sebab arah dan latar belakang lahirnya wacana penyusunan undang-undang ialah termuat di dalam naskah akademik, namun di cemari oleh lembaga legislatif yang syarat akan kepentingan. Yang menjadi akibatnya ialah pengesahan undang-undang secara sepihak dan serampangan oleh lembaga legislatif dan ekskutif, tentu kekuasaan tidak membikin produk kebijakan yang membahayakan tubuh kekuasaannya.
Dalam pengimplementasian hukum terjadi berbagai macam persoalan, permasalahan yang mendasar ialah terletak di tubuh lembaga yudikatif itu sendiri, sebab dinilai masih banyak aparat penegak hukum yang tidak paham hukum. Yang mereka pahami hukum ialah sesempit undang-undang, bahkan interprestasi atas konteks normatif yang cenderung tidak bisa membaca kenyataan. Sebagai akibat dari aparat penegak hukum yang tidak paham hukum ialah membahayakan kemanusiaan, secara sederhana undang-undang yang jatuh dari langit pun akan tidak mempunyai makna bila mana dipraktekkan secara serampangan oleh aparat penegak hukum. Relasi antara aparat penegak hukum dengan hukum ialah dua hal yang berbeda, antara yang dipahami (undang-undang) dan memahami (aparat penegak hukum), jikalaupun undang-undang dinilai layak dan bagus dalam konteks pemahaman, belum tentu dalam praktek. Artinya sekalipun undang-undangnya yang buruk namun dipraktekkan secara baik oleh aparat dan memakai pendekatan yang berperikemanusiaan, maka bisa di pastikan akan tercipta masyarakat yang harmonis. Artinya dalam penegakkan hukum terletak pada pundak dan pemahaman aparat penegak hukum, karena aparat penegak hukum seringkali memaksakan dan didesakkan serta diterapkan dengan kekerasan struktural oleh aparat penegak hukum. Sebab hukum bukan hanya terletak pada pasal-pasal dan undang-undang yang normatif.
Negara berkewajiban menghargai hak asasi manusia, sebab yang menjadi tanggung jawab negara ialah untuk bagaimana menjaga dan merawat hak rakyatnya serta mendistribusikan keadilan terhadap masyarakat. Negara hukum bukan dilihat dari setumpukan perundang-undangan dalam sebuah negara, hadirnya hukum seolah-olah tidak dapat memberikan keadilan ditengah masyarakat, penegakan hukum yang selama ini diperjuangkan hanyalah sebagai tanda (sign) tanpa makna. Teks-teks hukum hanya permainan bahasa (language of game) yang hanya memberikan kekecewaan bagi masyarakat. Pada cita ide hukum, hukum sebagai alat untuk mewujudkan keadilan, hukum dan keadilan ialah suatu yang integral, sebab para pencari keadilan harus selaras dan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Oleh sebab itu distribusi keadilan terhadap masyarakat secara merata di perlukan dengan segera, sebab citra aparat penegak hukum telah cacat di mata masyarakat, reformasi yang lahir di indonesia telah memberikan warna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kemajemukan masyarakat menjadi keniscayaan untuk hati-hati aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya yang memberikan rasa keadilan untuk masyarakat.
Mengobati penyakit aparat yang tidak paham hukum
Setiap negara yang ada di belahan dunia mempunyai sistem hukum tersendiri, sistem hukum civil law dan common law yang menjadi cikal bakal perbedaan secara tajam. Dalam tinjauan sejarah, negara Indonesia yang memakai sistem civil law yang syarat administratif, sebab indonesia dijajah oleh negara belanda yang memakai sistem hukum civil law. Sebagai akibatnya, kolonial belanda menginternalisasi pahaman hukum yang mereka bawa untuk dipaksakan berlaku ditengah masyarakat indonesia.
Menghargai hak asasi manusia, adanya pengadilan tata usaha negara, syarat akan administrasi sebagai ciri negara hukum. Secara sadar seharusnya aparat penegak hukum harus jau menelaah ciri negara hukum menjadi landasan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, sebab hadirnya hukum untuk manusia secara luas. Aparat penegak hukum bukan menjadi corong penafsiran tunggal atas pasal-pasal yang termuat dalam undang-undang, namun jauh dari itu, untuk mendistribusikan keadilan untuk masyarakat, pola kekerasan menjadi pendekatan aparat penegak hukum terhadap masyarakat seolah-olah sudah dinormalisasikan, karena aparat penegak hukum merasa diri ada hak imunitas terhadap dirinya. Hal inilah yang dipertontonkan oleh aparat penegak hukum terhadap ruang publik, maka bukan menjadi masalah bila mana masyarakat skeptis terhadap aparat penegak hukum.
Fenomena pelanggaran dan kejahatan yang dipertontonkan oleh aparat penegak hukum di ruang publik akhir-akhir ini, contoh, kasus Ferdy Sambo yang membunuh dengan sengaja bawahannya, Teddy Minahasa yang terlibat dalam pengedar narkoba. Dua kasus di atas menjadi contoh kongkrit keterlibatan para jendral dalam melakukan konspirasi busuk terhadap masyarakat Indonesia. Belum lagi aparat penegak hukum yang terlibat dalam kasus korupsi, di Polda Jawa Tengah dikabarkan ada tindakan suap-menyuap dalam proses perekrutan anggota bintara.
Sudah saatnya aparat penegak hukum berkewajiban dalam mengevaluasi diri dan institusinya, sebab jikalaupun tidak secepatnya, maka hal demikian dianggap normal-normal saja, yang membahayakan lagi ialah merugikan masyarakat dan masyarakat sudah tidak percaya terhadap aparat penegak hukum. Kalau di kaji lebih jauh, moral aparat penegak hukum sudah merosot dan perlunya pembaharuan secara cepat, sebelum merugikan negara dan masyarakat secara luas.
Proses perbaikan di dalam internal aparat penegak hukum, bukan hanya memperbaiki citra di dalam media sosial, namun dengan hal yang mendasar ialah, mempraktekkan pembelajaran ilmu hukum yang komprehensif, sebab seolah-olah aparat penegak hukum menjadi corong pasal, tugas aparat penegak hukum ialah bisa memberikan kenyamanan dan keadilan terhadap masyarakat yang luas, dan tidak normatif dalam mengimplementasikan undang-undang. Seharusnya aparat penegak hukum menerobos tembok normatif undang-undang, sehingga fleksibel dalam penerapan. Sebaik-baik apapun dan sebenar-benar apapun undang-undang bila mana yang menjalankan ialah manusia-manusia yang buruk maka akan buruk pula penerapannya, sebab urgensi penegakan hukum dan keadilan tergantung pada aparat penegak hukumnya.
Sebuah tarikan kesimpulan
Negara Indonesia mengafirmasi sebagai negara hukum, dengan cirinya ialah menghargai hak asasi manusia, adanya pengadilan tata usaha negara serta menjalankan roda pemerintahan harus berdasarkan pada hukum dan aturan yang berlaku. Dalam penyusunan undang-undang harus demokratis guna terciptanya hukum yang responsif, sebaliknya, bila mana pemerintahan yang otoriter akan melahirkan hukum yang konservatif/ortodoks.
Pengimplementasian hukum oleh aparat penegak hukum seringkali terjadi secara serampangan, dengan demikian yang harus di perbaiki ialah aparat penegak hukum, sekalipun undang-undang yang jatuh dari langit namun aparat penegak hukum tidak paham dalam mempraktekkannya, maka akan berakibat fatal dan mengedepankan pemaksaan serta represif, artinya kenyamanan dan keadilan bisa jadi di tengah masyarakat bergantung pada aparat penegak hukum yang menjalankan tugas dan fungsinya.
Ditulis oleh Billy Al Sabil