Ditulis Oleh Samsul Bakri
Siapa yang harus bertaggung jawab membentuk pola pikir seorang
kader HMI? Pertanyaan mengenai perkaderan mungkin saya ajukan kepada siapa saja
yang setidak-tidaknya bergelut dengan HMI. Saya tidak punya istilah tunggal
yang mampu dijadikan definisi mengenai perkaderan dalam konteks di HMI Cabang
Semarang. Alat dan metode yang dipakai mungkin seragam—ngopi dan nongkrong—tapi
seringkali tujuanya beragam. Diantara beragamanya tersebut, hanya segelintir
yang linear dengan sprit perkaderan HMI. Sehingga tidak heran kader HMI di
Semarang terkotak-kotak, tergangtung pada jaringan patronase atau senior yang
mereka ikuti. Ada yang kiri mentok, kanan mentok, hingga aliran kader HMI
pragamatis yang melihat HMI sebagai wadah kepentingan pribadinya, entah itu
kepentingan pengakuan, politik, dan tidak jarang ekonomi. Tentu, pola yang
seperti demikian tidak selaras dengan definsi perkaderan. Secara definisi umum
mungkin benar, karena jaringan patronase telah membentuk pola pikir sesesorang—sesuai
dengan definisi perkaderan itu sendiri, yakni membentuk pola pikir—. Akan tetapi,
jika dikerucutkan dalam definisi perkaderan dengan seorang kader HMI sebagai
objek yang dikader, maka yang umum tadi harus dikhususkan agar selaras dengan
nilai HMI. Kemudian Jika merujuk pada definis pengkaderan adalah membentuk
kader, maka harusnya perkaderan HMI mengarahkan pola pikir seorang kader agar
sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam HMI itu sendiri.
Tentu gelaja perkaderan yang menitikberatkan pada jaringan
patronase dengan nilai yang melenceng dari semangat HMI—yang dalam pandangan
saya pribadi— tidak baik bagi HMI Cabang Semarang. Karena melencengnya pola
pikir seorang kader dari nilai HMI akan menyebakan munculnya sosok kader dalam
artian yang semu. Seolah-olah ada kader HMI tapi tidak ada ciri nilai HMI yang
melekat pada kader. Dan tampakya gejala tersebut memang sudah nyata adanya di
HMI Cabang Semarang. Analisis yang tampaknya nyata dan bisa saya simpulkan, pertama
adalah pudarnya kepekaan sosial kader HMI. Peka dalam arti ini, kader HMI punya
kesadaraan atas apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Ini tentu bukan
keinginan saya pribadi, agar kader memiliki pengetahuan mengenai dunia
sosialnya. Ini adalah harapan yang diidamkan oleh arsitek pembangun rumah kita,
Ayahanda Lafran Pane. Bukan secara serampangan Lafran Pane mengkhususkan
mahasiswa sebagai penghuni HMI. Dia percaya bahwa mahasiswa, setidak-tidaknya
adalah orang yang bergelut dengan ilmu pengetahuan. Ilmu yang dipupuk dengan nilai
kritis, harapanya akan melahirkan generasi yang mampu menelaah kondisi
sosialnya dengan pendekataan objektif dan rasional, bukan karena unsur rasa
subjektif semata.
Bercermin pada kondisi hari ini, khususnya di HMI Cabang
Semarang, apa yang dibayangkan oleh Lafran Pane, agaknya sudah menjadi utopia. Hal yang sangat mustahil,
meskipun masih ada segelintir. Rasa-rasanya, mahasiswa, termasuk kader HMI
sudah termakan zaman. Kita sudah beradaptasi dengan semangat liberalisme.
Sayangya adaptasi yang kita lakukan bukan bersifat parsial, melainkan sudah
menyeluruh. Seeokar jerapa yang beradptasi pada tingginya dauh hijau di sabana
Afrika hanya berubah panjang lehernya saja, bagian tubuh yang lain tidak
mengalami perubahan. Setidaknya perubahan yang ia lakukan hanya adapatasi
lingkungan agar ia tetap hidup. Berbeda dengan kita, kita telah berubah total
untuk satu zaman liberalisme. Ciri liberalisme itu tampak nyata ketika kita
semakin terpacu untuk fokus pada diri sendiri dan mengejar aktualiasasi diri
dalam bentuk pengakuan orang lain. Berlomba untuk pengakuan tersebut pada
akhirnya membawa pola pikir kita dalam pandangan yang hanya berorientasi hasil.
Dan bahkan hasilnya untuk kepentingan pribadi lagi. Kalimat ini akan saya coba
sederhanakan, mengingat sulitnya memaknai kalimat abstrak bagi mahasiswa.
Pengkuan atas nilai mata kuliah adalah IP yang tinggi. Tapi darimana IP tinggi
tersebut? Seringkali hanya lewat membuat makalah kelompok, presntasi lalu UAS.
IP yang tinggi sebagai hasil tentu memiliki hubungan ‘sesudah dan sebelum’ dengan
tugas kuliah sebagai determinan besar dan kecilnya IP. Pemahaman tugas kuliah
dan IP haruslah memiliki arah yang positif atau searah. Hukum hubunganya, semakin
paham dengan tugas kuliah maka semakin tinggi juga IP. Dan realitanya, hukum
hubungan tersebut sangat kontradiktif. Ya, IP kita tinggi, tapi tidak disertai
dengan pemahaman tugas-tugas kuliah. Yang jika ditanyai berapa IP-nya, jangan
kaget jika angkanya berkisar 3,5-4,0 tapi bahkan tidak tahu sekedar cara
menyusun makalah yang baik. Jadi darimana nilai tersebut? Saya tidak ingin
berkutat banyak soal ini, tapi disorientasi kampus sebagai pabrik pengetahuan
menjadi toko kelontong pengetahuan adalah sumbernya. Relasi antara kampus dan
mahasiswa menjadi produsen dan konsumen. Asas konsumen puas menjadi filosofi
penjual, dimana pun itu. Mahasiswa akan puas jika IP nya tinggi. Sebagai
penjual, maka kampus harus menjamin nilai yang tinggi bagi mahasiswa agar
mereka puas. Nilai IP sudah menjadi sama murahnya dengan mainan yang bisa kita dapatkan
dari toko kelontong. Dan ya, kita merasa pintar dan seolah-olah menguasai subjek jurusan
yang kita tempuh. Sungguh paradoks.
Tapi tentu tidak semuanya seperti itu. Ada juga kader yang
benar-benar tekun dan menguasai bidang jurusanya. IP yang dia peroleh selaras
dengan usahanya. Tapi ilmu yang ia miliki selesai ‘untuk dirinya sendiri’. Untuk dirinya sendiri sengaja saya tulis
miring. Kira-kira apa yang dapat kita maknai ‘selesai untuk dirinya sendiri’tersebut?
Bagi saya selesai untuk dirinya sendri,
berarti ilmu itu untuk dipakai dirinya sendiri guna mendapat pekerjaan yang
baik. Tentu sah-sah saja jika seorang kader bercita-cita untuk menjadi seorang
karyawan perusahaan multinasional dengan upah yang besar. Tapi sangat
disayangkan jika orientasi akhir dari ilmu yg dimilikinya selesai untuk
dorongan ekonomi semata. Jika dikorelasikan dengan apa yang dicitakan oleh
Lafran Pane, akan sangat bermafaat jika ilmu yang di dalam kepalanya ia pakai
untuk ikut menelaah kondisi sosial di sekitarnya. Dalam harapan saya, saya
membanyangkan, bagaimana jadinya jika setidak-tidaknya, ada 20 persen mahasiswa
ilmu ekonomi yang bersuara untuk ikut mempelajari kebijkan-kebijakan ekonomi
pemerintah, misalnya persoalan kenaikan harga BBM. Saya yakin hegemoni suara
pemerintah dengan alat medianya dapat di-counter
dengan suara dari akar rumput. Dan akan tercipta pula suara ‘publik’ yang benar-benar menjadi ‘ res publika’ bukan suara publik yang
hasil manupulasi res privata dari pemerintah. Harapan itu akhirnya tetap
menjadi utopis atau angan-angan yang kelihatanya sulit untuk terwujud mengingat
cara pandangan kader akan ilmu selesai pada orientasi pekerjaan yang baik.
Dua contoh tadi adalah pengantar bahwa kader HMI Cabang
Semarang yang sudah tergerus paham liberalisme dengan mengedepankan kepentingan
pribadi diatas apa pun, yang kemudian menghilangkan fungsi kepekaan sosialnya.
Problematika selanjutnya, yang benar-benar kita bahas adalah redupnya iklim
literasi pada kader. Ini sebenarnya masih berkorelasi dengan apa yang saya
singgung sebelumnya. Kita sudah dimakan zaman yang serba pragmatis. Siapa yang
bisa membantah jika hari ini sebagian besar kader HMI di Semarang sangat minim
membaca buku. Tidak ada beda antara kader dan bukan kader, buku tetap dianggap
sesuatu yang tidak berguna. Dari sisi ekonomi tidak menguntungkan, justru harus
keluar uang banyak, dari sisi menyenangkan juga kalah dengan serunya ghibah.
Ditambah pola pikir yang serba instan, harapan bahwa langsung secerdas Einstein
dan selantang Rocky Gerung hanya dengan membaca satu paragraf buku pada
akhirnya menjauhkan kader dari buku. Dan semakin diperparah dengan lingkungan
kader yang tidak mengenalkannya pada buku.
Matinya buku di kalangan sebagian besar kader pada akhirnya
mematikan nalar kritis itu sendiri. Sebab mereka tidak memperoleh pengetahuan
lain diluar apa yang mereka terima dari tawaran zaman. Tidak ada sumber
pembanding untuk menilai baik dan buruknya satu perkara. Sikap pasif atas informasi
ini kemudian menjadi sebab dasar ketidakadanya suara kader dalam setiap
kebijakan publik yang ‘dirasa’ buruk. Sebab, bagaimana hendak bersuara, jika
tidak ada narasi lain yang mereka terima selain dari apa yang dikatakan oleh
pembuat kebijakan publik. Fenomena asal terima jadi ini sama persis dengan apa
yang dialami masyarakat Eropa di abab pertengahan. Informasi sudah menjadi
dogma, yang diterima tanpa pertimbangan akal. Jika ditarik sedikit lagi, maka
sikap kader yang tidak menggunakan akal sudah mati kemanuasiaanya. Sebab
akalnya tidak dipakai.
Tentu hal-hal buruk yang saya uraikan diatas hanyalah
partikel kecil dari segunung masalah dalam kader HMI Cabang Semarang. Dan
masalah tersebut bukan aib. Kita harus sadar bahwa itu nyata dan itu adalah
masalah. Ketika cara pandang kita satu, masalah tersebut mesti kita bahas, agar
dicari jalan keluarnya. Sikap diam atas persoalan pelik ini hanya akan memperpanjang
masa lahirnya kader-kader semu di kemudian hari. Kita bertambah banyak secara
kuantitas tapi nihil dan kosong dalam tataran esesnsi dari kuantatis banyak
tersebut.
Saya memiliki pandangan yang harus diperbaiki pertama adalah
jaringan patronase. Sebagai senior, perlu untuk memastikan bahwa nilai-nilai
yang ditanamkan kepada kader-kader baru tidak melenceng dari asas ke-HMI-an. Jangan
mengajarkan dan mengenalkan sesama kader untuk saling bermusuhan apa lagi
saling klaim kubu per kubu. Biarkan dendam atau masalah pribadimu atas satu
personal atau linggkaran selesai pada dirimu sendiri. Putus budaya kolot bahwa
teman senior teman saya, bukan teman senior bukan teman saya. Biarkan
kader-kader itu mencari sendiri, siapa yang hendak ia jadikan kawan berpikir
dan kawan berproses di HMI. Dengan tidak mendikte kebabasan tersebut, kita
telah mengembalikan sifat bebas kader sebagai manusia. Jangan sampai rasa
sayang yang berlebih, tidak ingin adiknya terjerumus pada lingkaran yang salah
jutsru menghilangkan sifat manusianya yang bebas.
Sebagai senior, sangat wajib hukumnya untuk membaca buku.
Karena asasnya, orang meniru apa yg kita lakukan bukan apa yang kita ucapkan.
Akan sia-sia bahwa kita koar-koar menanyakan buku apa yg telah dibaca seorang
kader, sementara kader itu tahu, bahwa seniornya tidak membaca buku. Seorang
senior yang baik ia harus membagikan beragam sudut pandang berdasarkan apa yang
ia temukan dalam buku. Maka buat kader itu kagum karena pikiran dan pengetahuan
kalian yang luas. Bukan karena pendekatan materi. Jangan sampai kader mengikuti
cara pandangan kita, hanya karena rasa tidak enak setelah diberikan rokok dan
kopi saja. Sebagai pendekatan awal mungkin sah-sah saja, tapi jangan berhenti
di situ. Jika sikap kepemiminan dan diikuti hanya karena dorongan materi
misalnya, maka tidak perlu di HMI. Seorang Bos di perusahaan juga di hormati
karena banyak uangya, karyawan patuh karena penghidupan mereka tergantung pada
gaji yang diberikan sang boss. Jangan sampai relasi senior dan junior menjadi
seperti itu. Setidaknya harus tetap ada ajaran yang dari senior untuk adiknya
agar ia mengilhami nilai HMI. Jika bisa, berikan buku-buku yang mampu menunjang
kesadaran ber HMI bagi kader baru atau pun buku bacaab bebas yang juga
memperkaya pengetahuan. Iklim yang baik seperti ini, sudah barang pasti akan
terus berlanjut, kedepanya ketika kader baru telah memiliki adik, ia harus mencontohkan
dengan membagi buku kepada mereka. Lingakaran bagi buku akan terus berputar
hingga budaya baca buku di kader HMI di Semarang akan membaik.
Dan bagi saya juga, hari ini HMI entah dimana pun itu,
sebagian besar, tidak lebih dari sebuah gerakan politik pragmatis dibandingkan gerakan
yang beroerintasi nilai. Entah di tataran kampus atau pun pasca kampus. HMI
dijadikan alat politik untuk mencapai tampuk kekuasaan. Seringkali akhirnya
politik kampus melahirkan pola monarki alih-alih demokrasi. Jika satu bendera
sudah berdiri kokoh, sangat sulit kandidat dari luar untuk bersaing. Sifat hegomoni
yang seperti ini tidak akan melahirkan iklim pembelajaran politik yang baik.
Justru menjadi pelanggeng pola dominasi kelompok seperti apa yang sudah
dipertontonkan oleh sikap politik di luar kampus. Sekalipun dibiarkan, saya
khawatir, kedepanya, di dunia masyarakat, seorang kader akan terbiasa fokus
untuk memperbanyak masa alih-alih isi pikiran sebagai syarat mencalonkan diri
menjadi seorang pemimpin. Seandainya benar dan konsekuen bahwa apa yang dikritik
oleh kader bahwa demokrasi di Indonesia bermasalah karena demokrasi kita
hanyalah jubah dari sistem monarki, maka sudah sepatutnya kita meninggalkan
budaya ini. Atau mungkin kita sebenarnya naif? Mengkritik hanya karena tidak
mendapat ‘kue’ dari sistem yang kita benci? Saya tidak ingin berspekulasi. Budaya
hegemoni satu kampus ini bukan hal yang baru, muaranya dari dulu.
Terakhir (untuk tulisan ini saja) seorang senior seminimal
mungkin harus membaca buku-buku materi ke HMI an. Agar doktrin yang disampaikan
kepada adiknya di HMI tidak berangkat dari sudut pandangan pribadi yang
seringkali tidak selarah dengan sudut pandang HMI, dalam hal ini sudut pandang
Lafran Pane. Maka mungkin sekirannya ada baca yang minimal harus dibaca adalah
44 indikator kemunduran HMI karya Agus Salim Sitompul dan Buku Biografi Lafran
Pane Karya Hariqo Wibowo Setyo. Banyak senior HMI yang sudah berhasil dan
sukses di organisasi kampus maupun mahasiswa berprestasi. Yang sebenarnya tidak
mengetahui secara mendalam HMI, tapi karena dasar prestasinya, ia dipilih untuk
membawakan materi atau sekedar menjadi pembicara dalam maperca atau forum
lainya untuk memperkenalkan HMI. Seolah-olah, dia bisa menjadi seorang ketua
organisasi mahasiswa karena pengetahuanya menjadi seorang kader. “Ingin menjadi
presiden mahasiswa seperti si X? Ayok mlebu
HMI.” Itulah pesan tersiratnya, membuat orang kagum. Tapi pesan-pesan yang ia
sampaikan sebagai pembicara sebenarnya tidak ada kaitanya dengan HMI. Tidak lebih
dari sekedar cara pandang subjektifnya. Bagi saya, lebih baik, senior yang
menjadi pemateri adalah orang-orang secara presatsi atribut tidak perlu terlalu
sesuatu yang ‘wah’ tapi secara keilmuan
dia tahu apa itu HMI. Kita tidak seharusnya terlalu menyilaukan mata dengan
gelar atribut yang sebenarnya minim substansi. Berikan ruang kepada yang
menyelami asam garamnya HMI untuk memperkenalkan HMI. Jika doktrin ikut HMI
hanya dilekatkan pada gelar presma dan segudang prestasi lomba menulis dan
lomba debat, maka bisa jadi orientasi mereka untuk bergabung karena ingin
meraih presatasi semata, bukan berjuang untuk menjadi kader militan HMI
Peran doktrinasi nilai kader yang tidak melenceng dari
nilai-nilai HMI di Semarang bagi saya memang sudah sepatutnya diemban oleh
senior mereka. Seperti apa yg telah saya urai sebelumnya. Pengkaderan formal
yang sangat bertumpu pada BPL maupun non BPL tidak cukup untuk mengubah
karatkter seseorang. Latihan Kader 1 dan seterusnya tidak cukup dijadikan dasar
mengubah pola pikir seorang kader baru yang membawa nilai-nilai yang telah dia
pegang lama—selain karena kualitas guru. Sebagai gerbang penambah kuantitas, BPL dengan perkaderan formalnya memang diperlukan, namun memastikan bahwa seorang kader berkualitas HMI
haruslah menjadi tanggung jawab moral senioranya. Sebagai penutup, tulisan ini
tidak dimaksudkan untuk menyindir satu pihak pun, sekalipun ada yang merasa
dirugikan, salah satunya mungkin adalah saya sendiri
Top
BalasHapus👍👍👍
BalasHapus