Penulis : Umarul Faruq
Suatu malam saya terlibat obrolan dengan teman-teman saya di sebuah warung kopi yang berada di area Sampangan, Semarang. Susana Warkop tersebut tidak ramai seperti biasanya, suasananya cenderung sepi karena malam itu tanah sampangan basah pasca di guyur hujan. Sepertinya hal tersebut membuat banyak anak adam memilih berdiam diri di dalam rumah sambil berlindung di bawah selimut nan hangat.
Angin sejuk yang menerpa kulit dan dedaunan yang melambai-lambai menyertai keheningan malam itu di warung kopi. Suasana secantik itu tidak cocok untuk bercakap-cakap mengenai hal receh seperti ghibahin temen; gosipin dosen galak; ngomongin anak kost sebelah; ngobrolin cewe cantik yg baru saja di temui, dan sebagainya.
Kita manfaatkan susana cantik itu dengan membangun obrolan yang sekiranya dapat memacu otak kita untuk berfikir dan menstimulasi akal untuk merefleksikan kehidupan yang kita jalani.
Oke, kita mulai. Pembaca pasti tidak asing dengan kalimat "jadilah diri sendiri". Kalimat itu biasanya digunakan sebagai seruan untuk mengekspresikan diri secara alami. Kalimat itu mengajak kita untuk mengalirkan impuls-impuls yang ada di dalam diri secara natural, sehingga manifestasi yang terwujud adalah produk dari dalam diri yang tidak terkontaminasi oleh faktor-faktor dari luar. Perwujudannya bisa berbentuk gaya berpakaian, gaya bicara, tingkah laku, dan sebagainya.
Tapi coba pikirkan lagi, apakah hal-hal yang kita eskpresikan tersebut benar-benar keluar dari "diri sendiri"?. Bukankan kita adalah produk copy paste dari lingkungan kita?. Saya bisa jamin bahwa cara bicara kita meniru orang-orang yang ada di lingkungan kita, gaya berpakaian kita mengikuti misalnya artis-artis yang ada di layar kaca, dialek yang kita gunakan di pengaruhi dimana kita tinggal, dan komunitas di sekitar kita juga mempengaruhi pikiran bahkan tingkah laku kita.
Artinya sekarang, apa makna dari kalimat "jadilah diri sendiri"?, Diri yang mana? yang ini? Ini cuma produk copy paste kok. Jangan-jangan "diri sendiri" itu hanya seonggok daging dan rangkaian tulang.
Dalam teori tabularasa yang dikemukakan oleh john locke manusia lahir dalam keadaan yang kosong bagaikan kertas putih. Kertas putih tersebut akan berwujud gambar seperti apa tergantung dari bagaimana lingkungan melukiskannya. Teori ini menolak adanya ide bawaan pada bayi.
Penganut teori behavioral mengatakan, "beri saya 20 bayi, maka akan saya jadikan bayi yang manapun menjadi apapun, dokter, pencuri, guru, koruptor, atau apapun". Di sini ia ingin mengatakan bahwa manusia hanyalah produk dari lingkungan.
Coba kita cari jawaban alternatif mengenai konsep "diri sendiri" yang sering kita dengar itu. Jika kita adalah produk copy paste dari lingkungan kita, berarti kita adalah susunan ekspresi masyarakat yang terintegrasi di dalam satu individu. Saya analogikan seperti gelas yang terisi dari berbagai minuman, mulai dari susu, teh, kopi, amer, dan jeruk peras. Kita adalah produk minuman hasil campuran dari berbagai minuman lain. Barangkali ini juga menjawab pertanyaan mengapa setiap individu memiliki perbedaan? Ya mungkin karena unsur yang tercampur di dalam gelas (diri) itupun berbeda.
Tapi apakah jawaban alternatif itu setidaknya mendekati kebenaran? Saya tidak tau juga. Karena jika kita mengikuti cara berfikir itu, artinya "diri sendiri" masih bukan asli dari "diri sendiri". Lantas sebenarnya apa sih sebenarnya "diri sendiri itu"? Atau jangan-jangan "diri sendiri" itu tidak ada. Jeng jeng jeng jeng.