Ditulis oleh Samsul Bakri
Tulisan ini tidak ada maksud untuk menjelekan Bung Karno.
Karena saya yakin, apa yang menjadi kritikan Hatta kepada Bung Karno dalam buku
Demokrasi Kita hanyalah perbedaan
paradigma saja. Apa yang hendak diurai oleh Bung Hatta dalam buku tersebut adalah
adanya ketidaksinkronan antara idealisme (bukan aliran filsafat) dan realitas
demokrasi Indonesia. “Idealisme yang bertujuan melahirkan sistem pemerintahan
yang adil, yang melaksanakan dengan demokrasi dengan sebaik-baiknya, dan kemakmuran bersama. ” Tapi Realitanya, kata
Bung Hata “Pemerintah yang dalam perkembangannya kelihatan semakin jauh dari
demokrasi yang sebenarnya.”
Idealisme dan realita yang digunakan Bung Hata tersebut menjadi
metode sistematis yang dipakai untuk memperlihatkan relasi yang saling
menegasikan (penolakan dan penyangkalan) antara cita-cita apriori (awal)
dan priori (kenyataan). Terkadang membaca buku atau tulisan itu sama
dengan membaca alur pikiran yang disusun oleh si penulis. Dan memang tulisan itu adalah salah satu cara dalam
menyampaikan isi pikiran. Kalau dalam bahasa lain, salah satu metode bagaimana
gerak akal mengahasilkan pengetahuan yang baru. Dalam buku, alur berpikir itu
bisa kita ketahui dari pendahuluan buku dan daftar isi.
Setelah mencermati buku Demokrasi
Kita, alur pikiran yang dibangun Hatta adalah pertama-tama memaparkan
seperti apa hendaknya demokrasi yang dipakai Indonesia, mengingat banyaknya
model negara demokrasi. Dia menguraikan secara jelas, demokrasi yang tepat bagi
Indonesia. Dengan pendekatan sejarah dan budaya yang berlaku di masyarakat
desa. Setelah memberi pikiran demokrasi yang tepat bagi Indonesia, Bung Hatta
mencoba menelaah kritis kondisi yang berlaku saat itu. Dalam kesimpulanya ia
mengatakan bahwa Bung Karno tidak konsekuen pada idealisme demokrasi, dan
mengarahkan demokrasi Indonesia pada demokrasi aristokrasi – bahkan mungkin
totalitarianisme.
Kritik Bung Hatta
terhadap demokrasi barat
Ada tiga jenis demokrasi yang dibahas oleh Bung Hata, pada
hakekatnya, demokrasi monarki, demokrasi aristokrasi dan demokrasi daulat
rakyat. Dengan berbagai alasan, ketiga bentuk demokrasi memiliki celah dan
kekuarangan. Tapi yang paling menjadi pembeda dalam pikiran demokrasi Hatta
adalah kritiknya pada demokrasi daulat rakyat milik J.J. Roseau. Demokrasi yang
lahir dari Revolusi Perancis didorong oleh semangat kebebasan individu dari
ikatan feodalisme. Semangat kebebasan individu ini pada akhirnya menjauhkan antara
realita dengan trilogi dalam semboyan
revolusi – ‘Kemederkaan-Persamaan-
Persaudaraan’. Dalam praktinya,
hanya kebebasan yang betul-betul konsekuen nyata adanya. Orang-orang lupa pada
persamaan dan persaudaraan.
Selagi Revolusi Perancis hendak mengupayakan ‘sama rata, sama rasa’—Sebab itu setelah
kemerdakan ada persamaan dan persaudaraan. Tapi itu pun, makna kemerdakaan
hanya selesai pada kebebasan untuk bebas memilih dalam politik. Dalam politik:
yang kaya, yang miskin, laki-laki, perempuan punya hak yang sama untuk memilih
dan dipilih menjadi Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi lebih dari
itu, tidak ada persamaan. Dalam perekonomian tetap berlaku dasar yang tidak sama. Malahan, semangat
indivudualisme yang dikobarkan oleh semangat revolusi Perancis membuat
kapitalisme makin tumbuh subur. Dalam bahasa Bung Hatta, semangat
individualisme tersebut melahirkan aristotokrasi ekonomi. Jika sistem
aristokratsi dimaknai segelintir orang yang punya kuasa, berarti aristokrasi
ekonomi menurut defini Hatta bisa saya maknai – dalam perekonomian hanya segelintik yang punya kuasa
atas modal atau sumber-sumber ekonomi untuk hidup lainya – hal ini sama dengan kapitalisme.
Ketidakadaan kesamaan dalam ekonomi, dimana pun itu pasti
diikuti dengan pertentangan kelas. Dimana ada pertentangan kelas, mesti pula ada
pula pertengkaran kepentingan, dan di tiap pertengkaran pasti selalu ada yang
kuat dan yang lemah. Kepentingan yang punya kuasa kuat atas modal memilki watak
sebagai penindas dan yang lemah sebagai objek penindas atau sebagai yang
ditindas. Ketika masyarakat sudah tersusun seperti demikian maka,tuis Bung
Hatta “dimana ada golongan yang ditindas dan menindas, disitu sukar didapat
persaudaran”
Jika kita cermati argumen-argumen tadi, sebenarnya, Revolusi
Perancis telah menggali kuburanya sendiri menggunakan asasnya yang pertama, ‘kemerdekaan’ . Trilogi yang diagungkan
ternyata dibatalkan karena kebebasan yang harusnya melahirkan persamaan dan
persaudaran justru melahirkan perbedaan dan penindasan. Semacam ada paradoks
dalam kebebasan – sebagai penopang dua dari trilogi lainya, justru kebebasan
menjadi penghalang menuju ke cita-cita Revolusi Perancis.
Demokrasi Sosial
Indonesia
“Nyatalah bahwa demokrasi yang semacam itu tidak sesuai
dengan cita-cita perjuangan Indonesia yang melaksanakan terciptanya dasar-dasar
perikemanusian dan keadilan sosial” Demokrasi politik saja tidak dapat
memuculkan persamaan dan persaudaraan, maka perlu ada juga demokrasi ekonomi. Sebab
dari gagalnya subtansi Revolusi Perancis, menurut pemaknaan saya, terletak pada
ketimpangan ekonomi dalam semangat indivudualisme. Maka, persaudaran dan
persaamaan akan lahir jika kebebasan harus diberi ‘syarat-syarat’ tertentu yang menjadi pembeda agar kebebasan tidak
melahirkan ketimpangan. Jika mengutip ungkapan Bung Hatta, agar demokrasi tidak
berkahir pada ketimpangan, maka Indonesia harus menganut konsep demokrasi sosial.
Jika dicermati secara serius, setidak-tidaknya ada tiga
sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial Indonesia. Yang pertama,
paham sosialis barat. Yang perlu diambil dari paham ini menurut Bung Hatta, ada
dua, yaitu dasar-dasar perikemaunusian yang diperjuangkanya dan yang menjadi
tujuanya. Kedua ajaran islam, yang menuntut kebenaran dan keadilan ilahi dalam
masyarakat serta persaudaraan antar manusia sebagai makhluk Tuhan, sesuai
dengan sifat Allah yang maha pengasih dan maha penyayang. Ketiga, pengatahuan
bahwa masyarakat Indonesia hidup berdasarkan kolektivisme.
Selain ketiga unsur itu, perpaduan antara ketiganya harus
harus diperkuat dengan nilai-nilai demokrasi yang sudah hidup dalam masyarakat
Indonesia. Bangunan demokrasi yang akan menjadi dasar pemerintahan Indonesia di
kemudiah hari haruslah dari perkembangan demokrasi Indonesia yang asli. Menurut
Bung Hatta, yang ‘asli’ itu ada dalam praktik hidup masyarakat desa. Demokrasi
desa tersebut ‘di-idealisir’ dalam perkembangan
kebangsaan terdaulu, kemudian disusun berdasarkan konsep negara modern.
Satu pertnyaan yang mungkin muncul adalah: bukankah sistim
kehidupan Indonesia pra kemerdakaan berbentuk feodalisme? Memang benar, tapi
pada hal-hal tertentu terdapat nilai-nilai demokrasi dalam alam desa Indonesia
di masa lalu. Bentuk demokrasi tersebut terletak pada kepemilikan bersama atas tanah
oleh masyarakat desa dan kebebasan mereka untuk memakmurkan tanah tersebut
melalui usaha-usaha mandiri mereka. Kelanjutan dari itu, didapati pula, segala usaha
yang berat, yang tidak bisa dikerjakan tenaga orang-seorang, dikerjakan bersama
secara gotong royong. Bukan saja hal-hal yang menurut sistem yuridis barat yang
dilakukan seperti itu, tetapi juga yang mengenai hal-hal privat seperti
mendirikan rumah, mengerjakan sawah, mengantar mayat ke kuburan, dan lain-lain.
Adat hidup semacam itu membawa kebiasaan bermusyawarah.
Segala hal yang mengenai kepentingan umum dibicarakan bersama, dan keputusan
diambil dengan kata sepakat. Seperti disebut dalam pepatah Minangkabau Bulek
aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakat (bulat air karena pembuluh, bulat
kata karena mufakat). Kebiasaan mengambil keputusan dengan musyawarah dan mufakat
melahirkan lembaga rapat di tempat tertentu, di bawah pimpinan kepala desa.
Semua orang dewasa di antara anggota-anggota asli desa tersebut berhak hadir dalam
rapat itu
Ada dua anasir lagi dari demokrasi desa yang asli di Indonesia,
yaitu hak untuk mengadakan protes bersama terhadap aturan-aturan raja yang
dirasa tidak adil, dan hak rakyat untuk menyingkir dari daerah kekuasaan raja,
apabila mereka merasa tidak senang lagi hidup di sana. Benar atau tidak, yang
kemudian ini sering dianggap sebagai hak orang-seorang untuk menentukan nasib
sendiri.
Hak mengadakan protes bersama itu biasa dilakukan sampai pada
masa terakhir ini. Apabila rakyat merasa keberatan sekali atas peraturan yang
dikeluarkan pembesar daerah, maka rakyat datang berbondong-bondong ke alun-alun,
di muka rumah pembesar, dan duduk di situ beberapa lama tanpa berbuat apa-apa.
Itu merupakan demokrasi damai. Tidak sering rakyat Indonesia dulu, yang sabar dan
suka menurut, berbuat begitu. Akan tetapi, jika mereka sampai berbuat begitu,
maka akan menjadi pertimbangan penguasa, apakah dia akan mencabut kembali atau
mengubah perintahnya.
Meskipun, jika saya merujuk pada tulisan Frans Magnis-Suseno, ‘Etika Politik’ bentuk demonstrasi di alam feodalisme Jawa
yang seperti itu tidak dapat dikatakan demokratis, karena berubah atau tidaknya
suatu kebijakan masih tergantung pada kehendak pribadi dari seorang raja.
Artinya raja masih berkuasa atas penuh. Sedangkan demokrasi yang sesungguhnya
sangat menghendaki suara rakyat sebagai dasar kebijakan, bukan karena niat baik
dari seorang raja semata. Tapi untuk sementara saya akan pisahkan persoalan
ini. Fokus saya adalah menjelaskan gagasan-gagasan Bung Hatta tentang demokrasi
asli Indonesia yang lahir dari alam desa.
Kelima anasir demokrasi asli itu: rapat, mufakat, gotong royong,
hak mengadakan protes bersama, dan hak menyingkir dari daerah kekuasaan raja,
dipuja dalam lingkungan pergerakan nasional sebagai pokok yang kuat bagi
demokrasi sosial, yang akan dijadikan dasar pemerintahan Indonesia Merdeka di
masa datang. Tidak semua dari yang
tampak bagus pada demokrasi desa dapat dipakai pada tingkat yang lebih tinggi
dan modern. “Tetapi sebagai dasar ia dipandang berguna.” Sebab bagi Bung Hatta “bagaimanapun,
orang tak mau melepaskan cita-cita demokrasi sosial, yang sedikit-banyak
bersendi pada organisasi sosial di dalam masyarakat asli sendiri”.
Dalam segi politik, dilaksanakan sistem perwakilan rakyat dengan
musyawarah, berdasarkan kepentingan umum. Demokrasi desa yang begitu kuat hidupnya
juga menjadi dasar bagi pemerintahan otonomi yang luas di daerah-daerah sebagai
cerminan dari “pemerintahan yang diperintah”. Dalam segi ekonomi, semangat
gotong royong yang merupakan koperasi sosial, adalah dasar terbaik untuk
membangun koperasi ekonomi sebagai dasar perekonomian rakyat. Keyakinan tertanam,
bahwa hanya dengan koperasi dapat dibangun kemakmuran rakyat. Dalam segi
sosial, diadakan jaminan untuk perkembangan kepribadian manusia. Manusia bahagia,
sejahtera, dan susila, menjadi tujuan negara.
Dosa-dosa Soekarno
Buku Demokrasi Kita
disusun oleh Bung Hata dalam masa-masa penerapan demokrasi terpimpin. Pada masa
ini terlihat benar tindakan-tindakan pemerintah yang bertentangan dengan
UndangUndang Dasar. Presiden yang menurut Undang-Undang Dasar 1950 adalah
presiden konstitusional yang tidak bertanggung jawab atas pembentukan kabinet, dan
tidak dapat diganggu gugat, mengangkat dirinya sendiri menjadi formatur
kabinet. Dengan itu, dia melakukan suatu tindakan yang bertanggung jawab tetapi
tidak memikul tanggung jawabnya. Pemerintahan yang dibentuk dengan cara yang
ganjil itu diterima begitu saja oleh parlemen, dengan tidak menyatakan keberatan
yang prinsipil. Malahan ada yang membela tindakan Presiden dengan dalil
“keadaan darurat”.
Dalih “keadaan darurat” tersebut yang sampai hari ini, jika
saya amati, dibenarkan oleh beberapa ‘oknum’ yang mengklaim diri sebagai
sukarnois, marhaenis, bla bla bla... dan seterusnya. Kata mereka, dalam keadaan
darurat, tindak tegas dari seorang pemimpin itu diperlukan. Tapi mereka bahkan
tidak punya definisi ataupun kategori, keadaan darurat seperti apa yang membuat
langkah-langkah yang yang tidak sesuai konstitusi dapat dibenarkan? Sayangnya mereka
tidak punya dasar argumen untuk itu. Jadi siapapun boleh menjadi diktator dan
menerapkan totalitarianisme dan menggunakan dalih keadaan darurat sebagai
pembenaran. Lagi pula, bukankah sudah jelas, bahwa demokrasi itu daulat rakyat.
Maka rakyat berhak menentukan apa yang dianggap baik dan dianggap buruk oleh
mereka. Bung Karno seorang diri tidak berhak untuk mengkalaim diri sebagai
perwakilan alam pikir baik dan buruk rakyat Indonesia .
Tidak berhenti di situ, kemudian Presiden Soekarno
membubarkan Konstituante yang dipilih rakyat, sebelum pekerjaan mereka membuat
Undang-Undang Dasar baru selesai. Dengan suatu dekrit, Presiden menyatakan
berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Undang-Undang Dasar 1945,
Presiden Republik Indonesia adalah kepala eksekutif. Parlemen yang ada menurut
Undang-Undang Dasar 1950 dan tersusun menurut pemilihan umum 1955 diakui
sebagai Dewan Perwakilan Rakyat sementara, sampai terbentuk Dewan Perwakilan
Rakyat baru berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Bung Hata tindakan yang bertentangan dengan Konstitusi dan merupakan
suatu coup d’etat, tapi dia dibenarkan oleh partai-partai dan
suara yang terbanyak di Dewan Perwakilan Rakyat. Golongan minoritas menganggap
perbuatan Presiden itu sebagai suatu perkosaan, tetapi mereka menyesuaikan
dirinya dengan kenyataan yang baru itu. Dengan pendirian seperti itu, Dewan
Perwakilan Rakyat sudah melepaskan sendiri hak kelahirannya. Tidak lama sesudah
itu, Presiden Soekarno mengambil langkah lagi. Setelah timbul perselisihan
dengan Dewan Perwakilan Rakyat tentang jumlah anggaran belanja. Dengan suatu
penetapan, Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan, dan disusunnya suatu Dewan
Perwakilan Rakyat baru menurut konsepsinya sendiri.
Saya pikir, sampai hari ini, tidak ada satu negara pun yang
mengklaim diri sebagai negara demokrasi, tapi orang-orang legislatif dipilih
berdasrakan kehendak bebas dari seorang presiden saja. Bayangkan saja, uu telah
mengamanatkan bahwa DPR dipilih langsung oleh rakyat,tapi dengan ‘seenaknya
saja’ Soekarno berhak menentukan orang-orang itu. Dasar filosofi kenapa sampai
DPR dipilih langsung oleh rakyat adalah, agar mereka menjadi keterwakilan
rakyat di setiap pengambilan keputusan di tingkat pusat hingga daerah. Lalu
jika anggota DPR dipilih langusung oleh seorang, dimana asas keterwakilnya? Bagi
saya ada, tapi mewakili keinginan dan kehendak subjektif seorang Sukarno, bukan
rakyat.
Maka bagi saya, gugrlah kita sebagai negara demokrasi jika lembaga legislatif sudah tidak independen lagi. Tidak ada beda lagi antara negara
demokrasi dengan pemerintahan kerajaan kuno. Dalam sistem pemerintah monarki (kerajaan) klasik, kekuasan raja bersifat absolut, apa yang
menjadi kehendak raja, itulah undang-undang. Tidak ada mekanisme yang mampu
membatasi keabsolutan raja. Kekusasan terpusat pada raja seorang diri. Perkembangan
pemikiran filsafat politik melahirkan konsep negara demokrasi modern sebagai bentuk kritik terhadap bentuk pemerintahan
yang mengabsolutkan kuasa raja.
Tentu saya tidak akan mengurai panjang pokok ini. Tapi yang ihwal
dasar pembeda antara negara demokrasi modern adalah mekanisme pembagian
kekuasan di tiap-tiap lembaga negara. Ada yang membuat, menjalankan dan
mengawasi jalannya sistem kekuasan. Ketiga peran tersebut berasal dari daulat
rakyat, mewakili kepentingan rakyat, dan dipertanggungjawabkan pada rakyat.
Maka jelas bahwa subjek dan objek dari bentuk kekuasaan harus berasal dari
legitimasi rakyat. Tindakan Sukarno yang membentuk DPR dengan ‘seenaknya
sendiri’ sama halnya mengambil alih
segala bentuk legitimasi rakyat tersebut dan tidak ada alasan lagi untuk untuk
mengklaim bahwa kita adalah negara demokrasi – mungkin lebih tepatnya—negara
demokrasi dengan topeng monarki absolut.
Selain itu, dalam demokrasi terpimpin, Titik berat
pemerintahan dan perundang-undangan tidak lagi pada parlemen, melainkan pada
dua badan baru bentukan Sukarno, yaitu Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan
Perancang Nasional. Dalam sistem ini, Dewan Perwakilan Rakyat tugasnya hanya memberikan
dasar-dasar hukum kepada keputusan-keputusan yang ditetapkan pemerintah, berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan atau usul dari dua badan tadi.
Dengan cara begitu, menurut pendapat Soekarno, segala perundingan
dapat berlaku dengan cepat, tidak bertele-tele seperti yang terjadi di Dewan
Perwakilan Rakyat sampai sekarang. Kedua badan tersebut, Dewan Pertimbangan
Agung dan Dewan Perancang Nasional, karena susunannya ditentukan sendiri oleh
Presiden Soekarno, bisa menjadi pressure
group atau golongan pendesak terhadap Dewan Perwakilan Rakyat.
“Tetapi dengan perubahan Dewan Perwakilan Rakyat yang
terjadi sekarang, di mana semua anggota ditunjuk oleh Presiden, lenyaplah
sisa-sisa demokrasi yang penghabisan. Demokrasi terpimpin Soekarno menjadi
suatu DIKTATOR yang didukung golongan-golongan tertentu”. ‘Dosa-dosa’ Bung
Karno saya masukan dalam tulisan ini hanya dari aspek politik saja. Banyak lagi
sebenarnya, sperti ancaman terhadap oposisi hingga kebijakan ekonomi, yang
katanya penyambung lidah rakyat malah memotong lidah rakyat.
Dalam suatu kritik terhadap konsepsinya, Bung Hatta pernah
membandingkan Bung Karni dengan Mephistopheles dalam hikayat Goethe’s Faust. Apabila
Mephistopheles berkata, bahwa dia adalah ein
Teil jener Kräfte, die stets das Bose will und stets das Gute schafft—satu
bagian dari suatu tenaga yang selalu menghendaki yang buruk dan selalu menghasilkan
yang baik— Soekarno adalah kebalikan dari gambaran itu. Tujuannya selalu baik,
tetapi langkah-langkah yang diambilnya kerap kali menjauhkan dia dari tujuannya
itu. Dan sistem diktator yang diadakannya sekarang atas nama demokrasi terpimpin
akan membawa dia pada keadaan yang bertentangan dengan cita-citanya selama ini.