Ditulis oleh Samsul Bakri
Singkat cerita, topik tentang Wadas masuk dalam dialog. Kawan saya ini mengatakan bahwa media arus utama, dalam pengamatanya, cenderung memuat berita tentang pentingnya bendungan Bener di Purworejo. Ada banyak dalih yang dipakai, menurut media mainstream, untuk urgensi pembangunan bendungan. Pertama dikait-kaitkan dengan perubahan iklim. Mereka memperlihatkan keringnya danau-danau dari berbagai negara. Lalu, dikaitkan dengan krisis pangan dan krisis energi. Data-data statistik orang yang terancam kekurangan pangan ditampilkan. Belum lagi argumen-argumen tentang ketimpangan antara ketersediaan dan kebutuhan listrik nasional yang masih timpang. Kita butuh listrik sebesar Gunung Everest, tapi ketersediaan kita baru sebesar Bukit Talang (bukit kecil dekat sekretariat HMI Cabang Semarang).
Menurut kawan saya yang kritis ini, fenomena itu dia namai 'pers sebagai agen promosi proyek' kalau dalam bahasanya yang lain lagi, 'media masa sebagai pelayan kapitalis dan oligarki'. Katanya, pola yang dipakai media dalam mempromosikan proyek Bendungan Bener, sama dengan promosi cat tembok merek 'Nodrop'. Polanya sama. kesamaanya terletak pada membuat yakin publik atau konsumen. Pertama mereka menampilkan masalah-masalah praktis, lalu menampilkan produknya sebagai solusi dari masalah praktis tersebut.
"Kalau cat Nodrop, dia menggunakan realita bahwa Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki curah hujan tinggi. Dan seringkali di musim hujan, banyak air merembes masuk di rumah. Setelah mengurai masalah, Nodrop, memperlihatkan akibat dari rumah yang kemasukan air. Pemilik rumah tidak dapat tidur tenang, karena terkena percikan air seperti apa yang mereka gambarkan dalam tayangan iklan. Oleh karena itu, menurut Nodrop, agar pemilik rumah dapat beristirahat dengan tenang, perlu tembok yang kuat tahan dari terpaan badai hujan. Dalam mejawab masalah itu, Nodrop hadir dengan tagline 'nobocor-bocor'. Artinya Nodrop ingin membuat penonton iklan percaya bahwa produknya adalah solusi untuk masalah tembok yang sering bocor di musim hujan."
"Media masa arus utama sama persis dengan ilklan Nodrop tadi. Pertama-tama mereka memperlihatkan masalah. Kalau di latar belakang penelitian, ini semacam syarat -- kenapa-- kenapa penelitian ini layak dilakukan. Dan kalau di proyek, kenapa pembangunan ini layak dilakukan. Kalau sejauh pengetahuan saya, ada dua masalah sebagai syarat 'kenapa' sehingga pembangunan Bendungan Bener menjadi layak. Katanya, pertama kebutuhan air untuk irigasi dan kedua kebutuhan listrik."
Makanya, dalam analisis kawan saya yang kritis ini, dia menyaksikan bagaimana pola media menyampaikan informasi hari ini. Katanya lagi, "bagaimana cara agar dua masalah tadi (kebutuhan air dan listrik) dilegitimasi oleh massa sebagai masalah"? Saya jawab, "ya seperti Nodrop, pasang iklan di tv". "Sudah betul," katanya. "Tapi dengan format yang berbeda. Mereka mempromosikannya secara terselubung. Kita hampir tidak melihat promosi proyek pembangunan bendungan di jeda pariwara saat menonton bola bukan"? Benar kataku. "Lalu bagaimana metode mereka membuat yakin publik bahwa ada dua masalah tadi" Tanyaku karena penasaran.
"Seperti ini, sob." Katanya. "Kamu pernah nonton tanyan media yang diskusi soal isi pembangunan? Jika kita cermati diskusi-diskusi seperti itulah cara yang mereka pakai untuk mendapatkan legitimasi massa. Bisanya format diskusinya diawali dengan tayangan tentang dua masalah yang telah saya sebut tadi (air dan listrik) di sekitar Jawa Tengah. Setelah itu dihadirkan beberapa ahli untuk dimintai pandanganya. Jawaban-jawaban mereka sangat teoritis. Kemudian moderator diskusi bertanya bagaimana solusi dari dua masalah tadi, apakah tat membangun bendungan di Purworejo sebagai solusinya. Secara teori tentu saja benar. Kalau tidak ada bak air, apa solusinya, ya dirikan baik air disitu. Simpel."
"Terjawab sudahlah dua syarat 'kenapa' tadi. Kalau ada bendungan, ketersediaan air sepanjang tahun selalu ada. Ada air berarti ada juga pangan sepanjang tahun. Berarti kelaparan tidak ada. Debit air di bendungan juga bisa dipakai untuk menghasilkan listrik. Ada listrik tidak ada kegalapan di malam hari. Menurut saya kurang lebih seperti itu." Lalu saya coba meringkas penjelasannya. "Berarti sama persis dengan Nodrop tadi. Ada masalah, solusi dan produk mereka sebagai untuk masalah-masalah itu"
"Persis seperti itu. Tapi, media iklan secara terselubung lebih berbahaya daripada iklan yang memang menampilkan diri apa adanya sebagai 'iklan'". "Apa maksudnya itu." Tanyaku. "Kurang lebih seperti ini, Nodrop tadi sudah kita maklumi sebagai iklan. Dalam cara pandang kita sudah tahu dan sadar bahwa tujuan iklan adalah untuk menarik pembeli. Dan kita tahu bahwa mereka terkadang melebih-lebihkan masalah. Masalah yang mereka angkat seringkali tidak ada di realita. Misalnya Nodrop tadi, selama susunan semen dan batanya bagus, jarang ada rumah yang kemasukan di musim hujan, entah dia menggunakan merek cat apa pun. Atau juga rumah itu bocor karena atapnya bukan karena merek cat yang dia pakai. Dan kita tahu soal itu. Secara psikologis akhirnya kita tidak terlalu percaya pada Nodrop, karena sudah eksplisit tujuannya yang ingin menawarkan dagangan."
"Biar saya beri pengandaian lain lagi. Bayangkan kita sekarang ada di depan Polrestabes, lalu hendak kembali ke Sampangan. Datang seorang penjual payung dan jas hujan menawari kita jualan mereka. Kata mereka, di daerah Kelud sampai Sampangan saat ini sedang hujan deras. Kita yang sudah tau tujuan mereka, tentu tidak akan langsung percaya, pasti ragu. Pertama kita tahu bahwa alasan utama dia memberi tahu kita adanya hujan hanya karena ingin barang dibeli. Lalu kedua, kita pasti berpikir bahwa hujan di daerah Kelud dan Sampangan tadi hanyalah realita yang ia buat-buat agar kita membeli payung yang dia tawarkan."
"Lalu, bayangkan seperti ini. Pagi di pagi hari kamu sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kampus. Tapi untuk berjaga-jaga, kita menyempatkan waktu untuk menonton laporan ramalan cuaca. Katanya siang hari ini akan ada potensi hujan deras disertai angin kencang. Seandainya, kebetulan hari itu kamu belum punya jas hujan, kira-kira apa yang akan kamu lakukan agar tidak kehujanan?" "Tentu saja membeli jas hujan." Jawabku. "Tepat, tapi darimana kamu tahu bahwa siang nanti akan hujan?" "Berita di televisi mengatakan itu." Apa yang membedakan ucapan pembawa acara di televisi dengan penjual jas hujan?" Bukankan dalam pengandaian kita tadi kita juga diberi tahu oleh penjual jas hujan? Saya melakukannya karena saya percaya bahwa apa yang disampaikan di TV adalah benar. Karena ada semacam kode etik yang sangat ketat, yang mengatur pemberitaan agar sesuai fakta. Mereka memberi tahu saya soal hujan bukanlah sesuatu realita yang dibuat-buat. Dan juga informasi yang mereka sampaikan demi kepentingan saya juga, bukan karena agar saya membeli jas hujan yang mungkin dijual oleh seorang presenter TV. Kira-kira seperti itu perbedaanya, dalam sudut pandangku."
"Lantas, bagaimana jika seandainya media sudah bekerja sama dengan pengusaha jas hujan?" Tanyan dia. "Maksudmu, informasi soal hujan tadi hanyalah buat-buatan media agar saya membeli jas hujan?" "Mirip-mirip seperti itu. "Tentu saja itu sangat berbahaya. Pertama mereka melanggar kode etis jurnalistik.Hak saya akan media dikesampingkan tentang hak kebenaran informasi, kualitas dan moral dari isi media Dan yang kedua, ini yang paling berimplikasi buruk bagi orang-orang yang mendapatkan pengetahuan dari televisi. Karena pengetahuan tadi akan menjadi pijakan bagaimana saya memandang suatu fenomena. Paradigma saya atas fenomena akan menentukan tindakan saya lakukan dan pilihan-pilihan yang saya buat. Jika informasi yang saya terima salah, maka tindakan-tindakan dan pilihan yang saya buat menjadi tidak tepat juga." Jawabku.
"Tepat sekali. Lantas siapa yang diuntungkan dari berita bohong tadi. Tentu saja, pengusaha jas hujan. Tadi kita telah sepakat, ternyata informasi yang salah dari media sangat berimplikasi buruk. Tapi bagaiman cara mereka mengaburkan antara iklan dan bukan iklan itulah yang berbahaya. Kita tidak bisa menelaah, kepada siapa sebenarnya suatu pesan dan perbincangan dalam televisi ditujukan." "Tapi apa hubunganya dengan Wadas? Bukankah mereka tidak perlu mendapat legitimasi kepercayaan dari kita. Mereka bisa tetap membangun bendungan tanpa harus menipu kita melalui dialog intelektual durhaka di televisi."
"Tidak. Tidak seperti itu, mereka tetap perlu legimasi publik. Tentu kamu juga menyadari bahwa sampai saat ini masih banyak warga Desa Wadas yang tidak sepakat desa mereka dijadikan lahan pertambangan batuan andesit. Mereka sadar bahwa pertambangan selalu hanya mendantangkan kerusakan alam. Janji-janji manis bahwa hidup lebih baik pasca pendirian tambang selalu berakhir dengan kekecewaan. Masyarakat lokal hanya menerima eksternalitas negatif berupa lahan bekas galian yang terbuka lebar. Tanah yang kehilangan kesuburanya. Asap hitam yang menyebabkan hujan asam. Hujan asam yang kemudian mematikan tanaman mereka. Jika sudah seperti itu, sudah tidak bisa pertanian menjadi lahan pencaharian mereka. Anak-anak mereka menderita berbagai jenis penyakit yang diakibatkan polusi dari mesing-mesin raksasa pertambangan. Anak-anak itu nantinya akan tumbuh tidak normal, mudah sakit dan tumbuh pengetahuan mereka pasti terganggu juga. Sehingga dewasa nanti, tidak banyak pilihan bagi mereka selain melanjutkan produksi kapitalis di pertambangan. Alurnya akan terus berputar ke anak mereka nantinya, lalu ke cucu mereka dann cucu mereka ke anak-anaknya. Hidup mereka akan terus seperti itu. Sedangkan para pemilik tambang hidup kaya raya diatas pengisapan kekayaan tanah dan penderitaan warga desa"
"Yang kamu sampaikan tadi benar. Tapi saya belum mendapat benang merah antara berita di TV dan Wadas." "Jadi seperti ini, tujuan mereka satu, seperti yang saya katakan tadi. Mereka ingin publik sepakat dengan pembangunan bendungan. Mereka terus mencuci otak masyarakat dengan ketakutan soal kekeringan, pangan dan listrik. Ketika apa yang mereka angkat sebagai masalah mendapat afirmasi dari masyarakat luas, mereka menghadirkan proyek bendungan sebagai sang juru penyelamat. Sama seperti orde baru mencuci otak masyarakat dengan bahaya laten PKI, kemudian Suharto lahir sebagai juru penyelamatnya. Katanya jutaan manusia Indonesia dibunuh dengan cara tidak beradap, tapi tetap dibenarkan karena yang dibunuh bukanlah manusia melainkan setan yang berjubah kader PKI. Begitu pun hari ini, media arus utama tidak berimbang dalam pemberitaanya. Mereka tidak mengabarkan kepada masyarakat mengenai sisi negatif pembangunan bendungan yang merampas ruang hidup masyarakat Wadas. Dan tentu mereka tidak akan melakukan itu, seperti seorang penjual coca cola yang tidak pernah mengiklankan produknya sebagai penyebab diabetes."
Oleh karena itu, jangan heran jika tidak ada masyarakat simpati terhadap perjuangan warga Wadas. Sebab, bagaimana mungkin untuk bersimpati jika mereka tidak tahu apa yang dialami warga disana. Ini salah media yang sudah menyimpang jauh dari fungsinya sebagai pilar demokrasi. Alih-alih menghasilkan karya jurnalisitik yang memihak pada golongan tertindas, mereka justru menjadi anjing jinak pelayan kapitalis. Saya tidak jarang melihat ketika seorang intelektual di TV dimintai pendapatnya mengenai penolakan warga, mereka mengatakan warga yang menolak hanya persoalan kurang sosialisasi. Artinya warga hanya perlu diberi pemahaman. Lucu bagi saya, mereka yang tidak pernah melihat persoalan secara langsung, justru mengkalaim diri sebagai yang paling tahu. Warga Wadas yang merasakan langsung bagaimana penindasan dianggap sebagai pihak yang bodoh sehingga perlu diberi pemahaman lewat sosialisasi. Itulah intelektual durhaka. Jika seandainya saja saya memilki kemampuan menulis seperti Goenawan Muhamad, Pramodeya Anantatoer, Ayu Utama dan Aenun Najib, mungkin kemampuan itu akan saya gunakan untuk mengabarkan masyarakat soal-soal penindasan itu.
Jadi maksudmu, pemberitaan yang tidak berimbang itu bertujuan memuluskan kepentingan beberapa golongan atau lebih spesifiknya mereka yang diuntungkan jika bendungan berdiri?
"Benar, Pada masa digitalisasi sekarang ini,
determinisme ekonomi, politik, teknologi
dan logika market mendoktrin media.
Sehingga media massa khususnya yang
tadinya berfungsi sebagai ruang publik dan
kontrol sosial menjadi berubah dan
mengalami dekandensi fungsi moral karena
media menjadi sebuah alat untuk
kepentingan market, teknologi, ekonomi
dan politik. Media tidak hanya dilihat dari
perspektif tunggal semata, yang artinya
bahwa media hanya dinilai satu entitas
mandiri tanpa dipengaruhi oleh pihak
manapun. Sekarang ini media terkait erat dengan industri media sebagai totalitas yang
di dalamnya ada interaksi dinamis antara
pelaku media, masyarakat dan negara. Bahkan, realitas sekarang yang dialami
industri media Indonesia masuk pada
industri hegemonik dan oligopolistik. Konsentrasi kepemilikan media,
diversifikasi media dan konglomerasi media tumbuh secara cepat. Sehingga kita diposisikan sebagai konsumen
oleh konglomerat media. Publik juga digiring oleh media melalui opini sesuai
dengan kepentingan dan ideologi pemilik
dan pasar. Maka jangan heran jika berbagai
media di Indonesia hari ini banyak
yang berorientasi dan digerakan oleh bisnis
dan mencari keuntungan"
"Oh, begitu?"
Publik juga seringkali membenturkan kepentingan umum dan warga yang menolak. Sehingga muncul anggapan-anggapan yang justru menyudutkan warga Wadas. Dalam bahasa lain mereka adalah minoritas yang perlu disadarkan. Mendengar ini saya jadi teringat dengan filsafat politik Rosseau. Tapi begitu pembahasan dilanjutkan, sang Surya sudah habis, sampoerna juga tinggal satu. Akhirnya diskusi soal filsafat Rosseau di tunda.