Oleh Samsul Bakri
Sekitar di pertengahan
Agustus 2022, saya mengikuti kegiatan pelepasan beasiswa di Bogor. Seluruh
mahasiswa dari berbagai kampus yang bermitra dengan lembaga pemberi beasiswa
diundang untuk turut berpatisipasi. Kegiatanya berlangsung kurang lebih tiga
hari. Selama tiga hari itu, aktivitas forum banyak diisi dengan seminar-seminar
dan motivasi dari para alumni. Saya tidak terlalu tertarik dengan hal-hal yang
seperti itu.
Karena saya sudah
kenyang dengan kampanye dan kata-kata bijak. Seperti dalam hukum ekonomi
bilang, kalau sudah terlalu banyak makan, kepuasan kita bukanya bertambah justu jadi makin
berkurang, bahkan bisa muntah juga. Digigitan pertama mungkin enak. Tapi di
gigitan ke 1000 justru menyiksa diri. Kira-kira seperti itulah analogi saya
pada seminar cara sukses dan kata-kata bijak. Saya sudah kenyang dengan itu,
sekalipun mendengarkan, mungkin hanya singgah di telinga kiri lalu keluar di
telinga kanan. Bahkan tidak sempat transit informasi itu dalam memori jangka
sangat pendek saya.
Karena tidak terlau
tertarik dengan seminar-seminar itu, saya seringkali menyelinap keluar forum.
Saya lebih memilih untuk bersembunyi di belakang kamar penginapan untuk
menyelesaikan novel terbaru Andera Hirata yang berjudul Brianna and Bottowise, dan
buku Feminisme Kritis Nancy Fraser. Rupanya, tindak laku yang sering hilang
dari forum disadari oleh teman sekamar saya. Dia orang Sumatera Barat. Suatu
ketika dia mendapati saya sedang duduk bersila membaca buku di belakang kamar.
Reaksinya tentu sudah dapat saya duga, dia menyanjung saya, tapi saya rasa itu
sebenarnya ejekan. Seperti mahasiswa lain pada umumnya, kegiatan membaca
dianggap sebagai satu hal yang langka dan dilabelisasi sebagai sok intelektual
(sindiran).
Mungkin ingin
mengakrabkan diri, dia menghampiri saya. Pada satu pertanyaan, dia menanyakan
buku yang pernah saya baca. Karena tahu bahwa dia dari Sumatera Barat, saya
langusung menyebut bapak bangsa yang satu daerah denganya, Tan Malaka.
Harapanku, membuat dia bangga secara primodial, bahwa Sumatera Barat melahirkan
pejuang revolusioner. Sayangnya tidak demikian, dia tidak tahu-menahu sedikit
pun mengenai Tan Malaka. Tentu saya sedikit terheran, sosok yang yang pertama
kali menulis republik dan Indonesia dalam satu kesatuan Republik Indonesia
justru tidak ditahu oleh mereka yang satu daerah denganya.
Saya yang kebingungan
akhirnya mencoba untuk meneliisik lebih dalam. Kenapa anak ini,
setidak-tidaknya, pernah mendengar nama Tan Malaka? Apakah mungkin karena nama
Tan Malaka kalah pamor dengan nama-nama mainstream
yang sudah sering kita dengar. Rupanya tidak seperti itu juga. Nama-nama
yang menurut saya sangat umum disebut ternyata tidak ditahu juga. Sepertinya
masalahnya satu, memang dia tidak tertarik pada sejarah atau karena dia tidak
mau tahu apa pun. Fenomena seperti ini bukanlah hal yang baru. Minat kita pada
sejarah sangat kecil karena dianggap tidak penting. Kita lebih menyukai
aktivtas yang mampu membuat kita disanjung oleh lingkungan tempat kita
bersosialisasi.
Pengetahuan tentang
sejarah sulit dijadikan alat untuk mendapat pengakuan. Karena di ruang kuliah
kita tidak mendapat nilai tambah jika mampu menceritakan sejarah pergerakan
kemerdekan Indonesia. Apalagi di ruang tongkrongan, kita tidak akan
membicarakan sejarah jika yang bermakna bagi kita adalah game, alkohol dan sex. Menghancurkan
base musuh dalam mobile lejen; bisa menghabiskan berbotol-botol minum alkhol
dalam sekali duduk; dan pernah tidur dengan beberapa wanita: itulah presatasi yang dinilai berharga jika ingin diakui dalam sebagian
besar lingkaran mahasiswa hari ini. Asasnya
sederhana; kebutuhan kita yang sangat dasar adalah untuk mendapat pengakuan
atas aktivitas yang sering dilakukan di dalam kelompok. Di kelompok pemburu,
hasrat akan pengakuan diaktualisasikan dengan jumlah hasil buruan. Semakin
banyak burung dan rusa bisa dia kumpulkan, semakin besar pengakuan kelompoknya
bahwa dia adalah pemburu ulung. Dan seterusnya, tergantung pada akvitas yang digeluti oleh kelompok itu
sendiri.
Mungkin kalian akan
membantah saya, bukankah berarti tidak ada beda antara bangga kuat minum
alkohol dengan mengetahui sejarah Tan Malaka? Karena bagi kalian, mengetahui
sejarah juga karena ingin mendapat pengakuan di lingkaran yang kebetulan
aktivitasnya adalah berbincang soal sejarah. Untuk beberapa hal, itu bisa
dibenarkan. Tapi jika berbicara nilai baik dan buruk, mengetahui sejarah bisa
memberi nilai baik. Nilai baik dalam hal mampu membawa mamfaat bagi keseluruhan, bukan hanya kepentingan mendapat pengakuan di dalam
komunitasnya.
Bagi saya, nilai baik
dari sejarah itu seperti ini:Sejarah membentuk cara pandang dan cara hidup kita
hari ini. Masa kelam lalu yang kita anggap sebagai sejarah, tentu tidak ingin
terulang di masa kini dan di masa depan. Demikian juga sebaliknya. Kejayaan sejarah
masa lalu akan dijadikan indikator untuk masa kini dan di waktu mendatang.
Amerika Serikat memilki
sejarah panjang dalam perbudakan pada orang-orang kulit hitam. Ini adalah
produk dari cara pandang masa lalu yang menilai orang kulit hitam bukan sebagai
manusia, melainkan seperti benda yang bebas diperlakukan jika sudah dibeli oleh
tuanya. Sejarah mengajarkan kita bahwa diskriminasi rasial tersebut melahirkan
beragam kekejaman. Nyawa dan hak hidup dianggap tidak ada bagi kaum kulit
hitam. Perkembangan pemikiran nilai-nilai hak manusia pada akhirnya mengatakan
bahwa manusia pada hakikatnya setara. Kesadaran akan hak asasi manusia
membentuk cara pandang kita hari ini bahwa bentuk perbudakan harus diakhiri,
baik di masa kini maupun masa depan.
Di masa lalu, ekonomi
dinasti Han di Cina adalah negara adikuasa dalam berbagi bidang. Kejayaan masa
lalu itu mereka peroleh lewat penguasan mereka atas Jalur Sutra. Jalur perdagangan
strategis yang menghubungkan Cina dengan dengan Asia dan Eropa. Beberapa ratus tahun setelah kejayaan dinasti Han, Cina
modern hari ini kembali berupaya menghidupkan jalur sutra tersebut sebagai model
pembangunan ekonomi mereka. Xi Ji Ping sebagai kaisar Cina modern belajar dari
sejarah zaman Han untuk kebijakan ekonomi negerinya hari ini dan di masa depan.
Cerita kesetaraan hak
di Amerika dan kebijakan mengaktifkan kembali jalur sutra di Cina tadi saya
pakai untuk memberi penjelasan bahwa sejarah pada dasarnya mempengaruhi cara
pandang dan kesadaran kita di lintas zaman.
Sehingga menjadi teranglah maksud saya, pentingnya memahami sejarah bukan
hanya sebatas pada mendapat pengakuan di lingkaran pertemanan, jika
sekiranya kebetulan mereka komunitas yang hobi belajar sejarah, tapi membawa
nilai lebih dalam perbaikan moral dan hidup kita. Dalam konteks sejarah Tan
Malaka, kita bisa juga belajar banyak dari gagasanya yang mungkin sangat
kontekstual untuk menyikapi masalah-masalah masa kini dan masa depan. Tapi saya
tidak ingin mengurai pemikiran Tan Malaka yang bisa kita jadikan jawab atas
persolan kontemporer Indonesia. Saya hanya ingin menunjukan pentingnya belajar
sejarah sebagai antitesa bagi orang-orang yang menganggap sejarah Tan Malaka
sebagai objek yang tidak berguna.
Saya sudah memberi alasan kenapa sejarah itu
penting, tapi saya lebih terarik kembali untuk mengetahui sebab-sebab Tan
Malaka yang kurang populer di masyarakat kita. Kawan Sumatera Barat saya tadi
kemudian saya ceritakan sedikit mengenai sosok Tan Malaka. Pada awalnya saya menceritakan
pokok-pokok karya paling masyhur dari Tan Malaka, yaitu Madilog. Saya sedikit menguraikan argumen Tan Malaka dalam
Madilog yang melihat kemajuan umat manusia harus melalui tiga tahap : Dari
"logika mistika" lewat "filsafat" ke "ilmu
pengetahuan" (Sains). Dan bagi Tan Malaka, selama bangsa Indonesia masih
terkungkung oleh "logika mistika" itu, tak mungkin ia menjadi bangsa
yang merdeka dan maju. Madilog merupakan sumbangsih pemikiran dari Tan Malaka
sebagai jalan keluar dari "logika mistika" dan imbauan seorang
nasionalis sejati buat bangsanya untuk keluar dari keterbelakangan dan
ketertinggalan.
Pada isi Madilog, kawan saya itu, seperti kagum pada
Tan Malaka. Tapi pandangan soal Tan Malaka berubah 180 derajat ketika saya
ceritakan keterlibatannya dalam Partai Komunis. “Komunis!” katanya, dengan
intonasi kaget. Berarti Tan Malaka adalah seorang ateis? Berarti dia juga
terlibat dalam pemberontakan G30-S? Berarti Tan Malaka anti Pancasila? Dan rentetang
pertanyaan aneh lainya terus dia lontorkan ketika mendengar kata ‘komunis’. Ah,
pikirku, ternyata dia juga sama dengan mayoritas masyaraka Indonesia. Dia
terjebak pada simplifikasi yang mengaitkan komunis, PKI, anti pancasila. Kalau
Tan Malaka komunis berarti dia anti pancasila, bengis, pemberontak dan
pembantai ulama.
Doktrinasi anti komunis yang dikampanyekan orde baru
ternyata melekat hingga generasi saat ini. PKI dan komunis digambarkan oleh
orde sebagai setan yang wajib diperangi. Berbagai kebohongan dengan media tv,
patung dll ternyata berhasil mencuci otak lintas generasi. Mereka tidak bisa
membedakan komunis sebagai ideologi dan PKI sebagai partai politik. Itupun soal dalang
siapa dibalik G30-S setahuku sampai sekarang masih kabur. Satu-satunya yang
terang dengan G30S adalah rentetan pembantaian pasca gestapu. Dan sejarah masa lalu kita meninggalkan luka
menganga pada kasus pelanggaran HAM orde baru dengan dalih memberantas PKI.
Jutaan orang dibantai tanpa pengadilan. Benar-benar tidak sesuai dengan asas
negara hukum. Belum lagi asas yang dikenakan oleh orde baru dalam pengenaan
sanski G30S adalah asas kolektivitas. Jika PKI dituduh terlibat dalam
pemberontakan maka seluruh kader PKI dianggap terlibat dan dinyatakan bersalah.
Dengan logika yang sama, apakah hari ini saya bisa memenjarakan seluruh kader
partai Golkar dengan alasan beberapa
petinggi mereka melakukan korupsi?
Sebenarnya sudah banyak literatur yang bisa kita
baca untuk menjernihkan simplifikasi berpikir mengenai Tan Malaka dan komunis.
Tapi masalahnya, kita sudah malas belajar sejarah, ditambah malas baca, jadi
sekalipun setan yang bicara mungkin kita percayai. Lalu jika saya ingat-ingat
kembali, memang nama Tan Malaka sengaja
dikubur oleh bangsanya sendiri. Sejak di bangku SD sampai SMA saya tidak pernah
membaca ataupun mendengar nama Tan Malaka dalam kurikulum kita. Kasihan!
Padahal 20 tahun dia hidup miskin dalam pelarian, diburu oleh 11 negara dari
dua benua demi perjunganya bagi bangsanya. Berkali-kali dia dipenjara dan
disiksa, tapi suaranya untuk kemerdekaan Indonesia seperti tak bisa dipadamkan.
Dia bahkan menjadi kuli, demi membeli buku referensi bagi pendidikan kaum
proletariat Indonesia.
Jangankan dikenang jasanya, dikenal oleh bangsanya
pun tidak. Jangakan berterimkasih atas sumbangsih pikiran dan dedikasinya, ia
justru difitnah dan mati dengan anggapan sebagai pengkhianat negara. Sejauh ini
pikirku, pada pokoknya, kurang pedulinya kita pada sejarah, salah paham dengan
komunis dan tidak diberinya pengajaran bagi siswa mengenai Tan Malaka, pada
akhirnya membuat nama Tan Malaka jadi kurang populer, bahkan difitnah dan
mendapat citra negatif.