Penulis : Umarul Faruq (Kader HMI)
Dany adalah mahasiswa semester dua fakultas ekonomi, dia adalah seorang mahasiswa yang memiliki semangat tinggi dalam menjalani kehidupan perkuliahan. Di saat matahari mencoba menunjukkan dirinya dengan malu-malu di pagi hari, Dany sudah melangkahkan kakinya keluar rumah untuk berburu ilmu pengetahuan di kampusnya. Saat itu juga senyum sumringah terlukis di wajah ibu Dany -- tidak sulit bagi pria baik memainkan kuasnya dalam menciptakan lukisan kebahagiaan -- melihat anaknya penuh semangat dalam mencari ilmu, lukisan senyum tersebut memanifestasikan kebahagiaan dan harapan yang besar pada anaknya.
Malam sebelum Dany berangkat ke kampus dia belajar dengan dipenuhi energi semangat. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, lembar demi lembar dalam bukunya dia santap dengan lahap. Otak dani bekerja bak layaknya seperti mesin yang berputar hingga mengeluarkan asap tebal. Dany belajar karena dia tidak ingin seperti babi, karena Buya hamka bernah berkata "kalo hidup sekedar hidup babi pun hidup, kalo bekerja sekedar bekerja kera pun bekerja". Dalam konteks mahasiswa jelas bahwa, kuliah jangan sekedar kuliah, ya walaupun babi dan kera tidak kuliah.
Perjalanan ke kampus yang cukup menguras waktu dan tenaga Dany lalui, tetapi sesampainya di kampus, bangunan semangat tersebut runtuh seketika saat diterjang informasi dosen tidak berangkat mengajar. Amarah memenuhi diri Dany, darah naik ke ubun-ubun karena perjuangannya seakan dihianati begitu saja, tapi untung saja Dany pria baik, sehingga dia tidak mendobrak pintu ruangan dosen dan jempolnya tidak digunakan untuk mengetik umpatan-umpatan yang bersifat demagogis. Pengalaman tersebut tidak hanya dirasakan sekali dua kali oleh dany. Setengah tahun dany kuliah sudah cukup memberikan gambaran betapa tidak seriusnya sebagian dosen dalam melaksanakan kewajibannya - malang sekali nasib pria baik ini.
Sebuah Pengakuan
Wahai pembaca yang budiman, sekarang saya mau jujur bahwa saya tidak kenal dengan Dany, saya tidak kenal juga dengan ibunya, saya tidak tau juga dia kuliah dimana, semester berapa, fakultas apa. Wahai pembaca, saya berdusta kepada anda semua, saya pembohong. Tapi, pembohong yang menulis cerita fiktif ini dengan mudah bisa memberikan kebenaran atas cerita bohong yang telah dibuat.
Saya mengenal mahasiswa yang jarak tempuh antara kampus dan rumahnya 2 jam, yang mengharuskan dia berangkat sedari gelap. Saya mengenal mahasiswa dengan kelas perekonomian menengah kebawah yang harus merogoh sakunya cukup dalam untuk ongkos bolak-balik kampus. Saya mengenal mahasiswa yang rela bergadang demi menunaikan tugasnya sebagai mahasiswa untuk belajar. Saya mengenal mahasiswa yang harus menyebrangi lautan demi mendapatkan pendidikan.
Kolaborasi
Jika kita menengok ke lapangan langsung, kita akan melihat bagaimana sebuah pola yang terintegrasi untuk menciptakan generasi bodoh. Dosen malas yang bisa di hitung dengan jari seberapa sering menginjakkan kakinya di kampus untuk mengajar seringkali didukung oleh mahasiswanya. Tidak jarang mahasiswa justru senang jika dosen tidak berangkat, biasanya kalimat "alhamdulillah" tumpah dari mulut mereka ketika mendengar dosen tidak masuk.
Sungguh variatif alasan yang dibuat dosen malas untuk melarikan diri dari tanggung jawab mengajarnya, misalnya rumah jauh, saya tidak habis pikir dengan alasan demikian, bukankah ketika anda memutuskan untuk menjadi tenaga pengajar di suatu universitas, anda mempertimbangkan jarak rumah anda dengan kampus? Hei, liat itu loh jarak rumah anda tidak seberapa dibandingkan dengan teman saya yang menempuh waktu 2 jam untuk ke kampus. Ada juga yang beralasan karena ada kegiatan di luar, ya boleh lah kalau sekali duakali tidak mengajar karena ada keperluan, tapi jangan terlalu sering juga. Tapi, ada juga yang lebih parah, tidak berangkat mengajar tetapi tidak mengemukakan alasannya, astaghfirullah.....logika saya gak nyampe.
Bentuk tingkah laku konyol oknum dosen itu tidak hanya meninggalkan tugas mengajarnya, tetapi ada juga yang membayar tugas mengajarnya dengan cara kuliah daring. Jika kita berfikir sedikit lebih jauh lagi, sejauh mana sih efektifitas kegiatan belajar mengajar dengan media daring? tidak usah saya jelaskan panjang lebar lah ya, kita semua tahu memang tidak efektif. Pembelajaran dengan media daring (apalagi di kondisi normal) tidak memberikan otoritas kepada dosen untuk mengontrol jalannya pembelajaran, sekalipun di wajibkan menyalakan kamera tetap saja, dosen tisak bisa tahu apa saja yang dilakukan mahasiswanya di balik layar. Selain itu, kegiatan belajar mengajar tidak sesempit transfer ilmu dari dosen ke mahasiswa, tetapi lebih dari itu, harus terbang sebuah chemistry antara kedua belah pihak, karena bagaimana cara mewujudkan prinsip Ing ngarsa sung tulada jika tidak terjalin hubungan emosional. Karena tidak mungkin saya menjadikan orang yang saya tidak kenal sebagai teladan.
Selanjutnya ada juga dosen yang acapkali hanya mengirim materi mata kuliah, lalu mahasiswa hanya mengisi daftar hadir. Metode seperti itulah yang saya pikir hanya akan menjadikan universitas sebagai pabrik pencetak sarjana bodoh yang tidak berkontribusi pada negara. Cara kerja otak manusia adalah dengan mengingat apa yang berkesan dan membuang segala sesuatu yang tidak memberikan goresan kesan, tidak heran jika kita selalu ingat pada peristiwa belasan bahkan puluhan tahun yang lalu, saat kita belajar naik sepeda dan tercebur ke selokan misal. Dan tidak heran juga jika kita lupa dengan materi perkuliahan yang diberikan dosen satu minggu yang lalu. Ada dua kemungkinan yang bisa menjadi faktor hal ini terjadi, yang pertama memang muridnya yang tidak serius, yang kedua metode pembelajaran yang diberikan dosen tidak mampu memberikan kesan pada pikiran mahasiswanya, apalagi metode "lempar materi".
Penutup
Pesan saya udah lah tobat, kasihan generasi muda kalian renggut semangat belajarnya dan kalian barter dengan rasa kecewa. Mahasiswa juga haram hukumnya dogmatis terhadap keputusan dosen, apalagi sampai mensupport dan berkolaborasi dalam menciptakan bad culture.