Ditulis Oleh Samsul Bakri
Pada hari Minggu
(27/11/22) saya mengikuti sebuah kegiatan diskusi yang diselenggarakan oleh
Forum Perantara. Kegiatannya berlangsung di sebuah kafe sekitar Universitas
Negeri Semarang. Diskusinya berlangsung sangat cair, sangat jauh dari kesan
diskusi formal dan kaku. Pemateri menyampaikan materinya, saya sebagai audience bisa menyimak sembari menyeruput
kopi hitam.
Tema yang diangkat
dalam kegiatan diskusi tersebut adalah Refleksi Nusantara. Jujur saya tidak
terlalu paham dengan konsep yang hendak diangkat oleh panitia hingga akhirnya
memilih tema besar itu. Tapi, jika seandainya penjelasan mengenai apa itu
Refleksi Nusantara adalah apa yang disampaikan oleh para pemateri, maka makna
dari Refleksi Nusantara sebagaiman tema
dalam diskusi tersebut kurang lebih bisa saya maknai seperti ini
Refleksi Nusantara
adalah bentuk mengingat kembali keberagaman Indonesia. Bentuk mengingat kembali kebergaman Indonesia
berarti mengakui kejamakan Indonesia. Bentukk jamak yang dispesifikan dalam
konteks ini adalah beragamanya etnis di Indonesia. Keberagaman etnis pada
akhirnya melahirkan berbagai macam kebudayaan. Ada berbagai macam kebudayaan
berarti ada perbedaan di tiap budaya yang hidup dalam satu kelompok masyarakat.
Untuk memahami dia berbeda maka sekelompok masyrakat tersebut harus memahami dirinya terlebih dahulu. Dalam arti ini, mereka harus memahami budayanya terlebih dahulu sebelum mengatakan bahwa mereka berbeda. Jika kalimat ini terlalu abstarak, biarakan saya memberikan satu ilustrasi sederhana tentang itu. Saya akan mengakui bahwa kopi dan susu berbeda karena saya sudah memahami karateristik dari keduanya. Kopi berwana hitam sedang susu lazimnya berwarna putih
Dalam konteks budaya,
saya akan mampu mengatakan apa perbedaan budaya suku Muna dan Jawa jika saya
seminimal mungkin sudah memetakan karatersitik budaya Muna sebelum mengatakan
di mana letak pebedaan-perbedaannya. Jika saya memaknai budaya sebagai konvensi
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, kemudian dijadikan kebiasan
sehari-hari, maka perbedaan pertama yang akan saya katakan tentang budaya,
misalnya , adalah di adat perkawinan. Dalam suku Muna, nilai mahar yang
diberikan oleh Pria kepada Wanita diatur dalam satuan hitung (boka). Besaran boka yang diatur dalam
adat Muna terbagi menjadi beberapa golongan. Misalnya seorang pria keturunan kaomu (bangsawan) menikahi wanita dari
golongan walaka (golongan adat hukum)
maka adat mensyaratkan nilai maharnya 20 boka.
Untuk memunculkan satu
paradigman keberagaman antara budaya penikahan Muna dan Jawa, tidak cukup jika
saya hanya mengetahui satu budaya pernikahan saja. Seperti analogi kopi dan
susu tadi, jika saya ingin menjustifikasi perbedaan keduanya saya harus
mengetahui keduanya. Dalam upaya untuk
memenuhi pemahaman atas satu budaya lain, maka syarat mutlak yang harus
dipenuhi adalah interaksi budaya diluar kebudayaanya. Interaksi memungkinkan
terjadinya komunikasi, yang kemudian melahirkan pengetahuan baru tentang budaya
lain.
Forum Perantara, sejauh
penangkapan saya, menjadi semacam upaya agar wadah syarat interaksi tadi
tercipta. Karena itulah beragam organisasi daerah masuk menjadi anggota dalam
forum perantara. Agar mereka saling mengenal dan memperkenalkan budayanya
masing-masing. Namun, seperti pada premis yang saya bangun sebelumnya, bahwa
interaksi yang bertujuan untuk memperkenalkan satu kebudayaan tidak akan
terjadi jika satu kelompok masyarakat itu belum memahami budayanya sendiri
terlebih dahulu.
Refleksi nusantara
untuk memahami keberagaman Indonesia pada akhirnya akan tercapai jika manusia
satu kebudayaan punya pengetahuan akan budayanya. Interaksi yang menghasilkan
pertukaran pengetahuan tentang budaya
hanya mungkin ada jika subjek-subjek yang terlibat dalam interksi sudah selesai
dengan kesadaran makna dari budanya. Jika mengutip beberapa keluhan dalam
diskusi tadi, ada yang mengatakan bahwa hari ini kegiatan yang di bidang
kebudayaan tidak lagi diminati banyak kelompok masyarakat. Kegiatan-kegiatan
yang mewadahi agar tiap daerah menampilkan dan memperkenalkan daerahnya tidak
lagi menarik minat anak-anak daerah.
Dalam setiap
permasalahan, kita selalu pasti akan bertanya “kenapa”? Kenapa bentuk-bentuk
kegiatan kebudayaan seperti itu tidak dimininati? Berdasarkan premis yang saya
susun sebelumnya, maka masalahnya kemungkinan besar terletak pada ketidaktahuan
mereka pada budaya mereka sendiri. Sebab apa yang hendak diperkenalkan jika
tidak ada yang mereka ketahui tentang budaya mereka. Saya tidak akan mungkin
bisa menampilkan teatrikal drama ‘Kenta-kenta
wandudui’ (cerita rakyat Muna tentang ikan setengah manusia). Begitupun dalam budaya Seni, saya tidak akan
mungkin memperkenalkan lagu-lagu daerah yang sarat akan pesan-pesan moral lokal
jika saya tidak memiliki ketertarikan memahami lagu dan kesenian lokal.
Salah Paham Kita Tentang Positivisme
Jawaban atas pertanyaan ‘kenapa’ yang sebelumnya masih memilki pertanyaan ‘kenapa’ yang selanjutnya. Kenapa banyak dari kita yang tidak tertarik lagi pada budaya-budaya lokal yang mengandung unsur mistik? Untuk pertanyaan ini, saya memilki tesis tentang salah paham kita tentang positivisme. Positifis hanya mempercayai kebenaran jika teruji secara ilmiah. Uji pencarian kebenaran melalui metode ilmiah hanya berlaku pada ilmu pengetahuan. Artinya positivisme secara ontologi (hakikat apanya) terbatas pada ilmu pengetahuan. Masalah kita hari ini adalah kita belum memahami konspesi dan hubungan antara pengetahuan, ilmu, budaya, agama dan seni. Pengetahuan pada hakekatnya segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu pengetahuan, pengetahuan budaya, pengetahuan seni, pengetahuan agama dll.
Hubungan antara pengetahuan
bisa maknai pada gambar diatas. Jadi ilmu merupakan hanya satu dari beragam
pengetahuan lainya yang diketahui oleh manusia disamping pengetahuan seni,
agama, budaya, seni dan lain-lain. Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya
menjawab jenis perntanyaan tertentu yang diajukan. Dan juga setiap jenis
pengetahuan memiliki ciri-ciri spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana
(epistimologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga
landasan ini disusun saling terkait satu sama lain.
Ilmu atau pengetahuan
ilmiah mempelajari alam sebagaimana adanya dan terbatas pada lingkup
pengetahuan manusia. Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk
menjawab permasalahan kehidupan sehari-hari manusia, termasuk menawarkan
berbagai kemudahan. Pemecahan masalah tersebut pada dasarnya adalah dengan meramalkan
dan mengendalikan gejala alam. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa dengan
ilmu manusia mencoba memanipulasi dan menguasai alam.
Secara epistimologi
(cara untuk mecari pengetahuan), ilmu pengetahuan diperoleh lewat metode
ilmiah. Seperti diketahui bahwa berpikir adalah kegiatan mental yang
menghasilkan pengetahuan. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja
pikiran. Dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan memiliki
karakteristik tertentu yang dituntut oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional
dan teruji secara empiris yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusun merupakan
pengetahuan yang dapat diandalkan. Atau dalam bahasa lain, pencarian kebeneran
menurut metode ilmiah, seringkali kita menggunakan tahap perkembangan
masyarakat menurut konsepsi Aguste Comte, yakni masyakarat positivis. Yakni
klain mengenai benar dan salahnya fenomena alam harus dipelajari melalui uji
empiris yang sesuai dengan kaidah ilmiah.
Hari ini masyarakat
kita, khususnya kalangan muda, sudah berpikir kearah positivisme. Namun yang
menjdi masalah, mereka masih mencampur adukan epistimologi ilmiah untuk menguji
kebenaran pengetahuan lain. Padahal, seperti yang saya singgung sebelumnya,
tiap-tiap pengetahuan memilki karateristiknya masing-masing. Kita tidak akan
menguji kebenaran sebuah pengetahuan seni menggunakan metode ilmiah. Bayangkan
saja, seandainya saya mahir bermain gitar, lalu apakah kemampuan bermain gitar
saya adalah ilmu? Jika diuji menggunakan epistimologi ilmiah, kemampuan bermain
gitar saya tidak akan menjadi sebuah ilmu pengetahuan. Karena tidak ada jaminan bahwa gaya bermain
gitar yang sama persis dengan saya akan melahirkan melodi yang sama persisi
dengan orang lain.
Sedangkan kebenaran ilmiah
harus minimal memilki dua syarat, dia harus memiliki sifat koherensi (konsisten) dan mengammbarkan realita apa adaanya (korespondensi). Artinya kebenaran
ilmu pengetahuan yang berupa teori harus konsisten secara universal dan
impersonal. Apabila suatu teori mengatakan bahwa air terdiri atas unsur Oksigen
dan Hidrogen, maka syarat agar teori tersebut dianggap benar adalah, dimana pun
itu, selama dia air, maka unsur senyawa kimianya harus tetap terdiri dari
oksigen dan hidrogen. Dengan demikian unsur koherensi atau syarat konsisten
terpenuhi. Jika teori ilmiah mengatakan air selalu mengalir dari tempat tinggi
ke wadah yang lebih rendah, maka dimana pun itu, ketika kita melihat air, maka
sifatnya selalu mengalir ke bawah. Inilah syarat kebenaran korespndensi, karena
pada faknya kita melihat air selalu mengalir ke suatu tempat yang lebih rendah.
Tidak mungkin
pengetahuan tentang gitar tadi kemudian harus saya uji melalui syarat koherensi
dan korespondensi agar saya mengklaim bahwa skill bermain gitar saya sebagai
pengetahuan. Karena tidak ada satu cara tertentu yang universal untuk diikuti
agar seseorang mampu bermain gitar. Seni, menurut Mochtar Lubis, merupakan
produk dari daya inspirasi dan daya cipta manusia yang bebas dari cengkraman
dan belenggu berbagai ikatan. Pada dasranya, sekali lagi, ontologi, epistimologi,
dan aksiologi pengetahuan seni dan ilmu tidak sama. Kita tidak akan bisa
menguji dua kebenaran dengan epistimologi yang sama jika secara hakikat (apa)
dan aksiologi (mamfaat) mereka berbeda. Inilah kesalahan kita hari ini,
seringkali kita memutlakan kebenaran pengetahuan dengan pengujian ilmiah.
Apabila pengetahuan A tidak bisa dinalar dengan metode ilmiah maka A pasti
salah atau tidak bisa dianngap sebagai kebenaran. Fenomena ini saya anggap sebagai
upaya untuk memonopoli kebenaran yang berangkat dari ketidaktahuan.
Ada satu contoh lain
yang ingin saya berikan, dimana sebuah pengetahuan kearifan lokal harus mati di
masyarakat karena dibenturkan dengan pengetahuan lain.
Dalam masyarakat Muna,
terdapat ritual ‘kaago-ago’, yang
secara harfiah bisa kita maknai sebagai pengobatan. Ritual kaago-ago, di masa
lalu dipraktikan pada saat masyarakat Muna akan berpindah ladang untuk
berkebun. Sebelum meninggalkan ladang telah dipakai, masyarakat Muna pada zaman
dahulu percaya, bahwa mereka harus mengobati tanah yang telah dipakai. Bentuk
pengobatan dilakukan dengan menanam kembali lahan yang telah digarap disertai
beberapa sesembahan dan ritual mistik. Barang siapa yang tidak melakukan ritual
ini, akan ada makhluk supranatural yang mampu membawa malapetaka, bahkan hingga
menyebabkan gagal panen saat musim tanam.
Sayangnya, hari ini,
ritual kaago-ago sudah ditinggalkan. Ritual kaago-ago sebagai pengetahuan
budaya yang termanifasi sebagai kearifan lokal dibenturkan dengan
pengetahuan ilmiah dan pengetahuan agama. Secara ilmiah, mereka berteriak bahwa
baik, buruknya hasil panen tergantung pada kualitas tanah dan pupuk yang
dipakai. Tanaman cabai akan menghasilkan buah yang baik tergantung pada
perawatanya, bukan karena kekuatan non ilmiah mistik atau pun kekuatan
supranatural. Di sini mereka ingin menguji kebenaran kepercayaan yang bersifat transendental (di luar batas pengalaman
manusia) dalam uji kaku laboratorium ilmiah. Pengetahun yang bersifat diluar
pengalaman manusia tidak patut kita uji dengan pola pikir positvisme, karena
ontologi (apa) yang dikaji sudah jauh berbeda. Selain itu kearifan lokal juga
ditinggalkan karena dianggap melanggar nilai-nilai agama islam.
Saya bisa memberikan
ribuan gambaran, bagaimana kacaunya pola pikir kita yang hanya menguji realita
hanya pada batas pengalaman manusia dan rasionalisasi melalui penalaran kita
yang sangat terbatas ini. Realita ini tentu sangat mengkhawatirkan, bisa jadi kita
akan mengarah pada pandangan yang membunuh pengetahuan-pengetahuan lain dengan
dalih mayarakat berpola pikir maju ala kaum positivisme. Tiap-tiap pengetahuan
secara aksiologi memiliki peranya masing-masing.
Tidak dapat kita
bayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan-pengetahuan lain itu
tidak ada, karena pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan
yang muncul dalam kehidupan. Apa yang harus kita lakukan apabila anak kita demam
dan menderita kejang-kejang? Disinilah fungsi ilmu pengetahuan ilmiah dengan
produk kedokteran dan obat-obatnya. Lagu nina-bobo apa yang kita nyanyikan agar
dia tertidur lelap? Pengetahun seni bisa menjawab ini dengan alunan musik yang
merdu. Sekiranya anak yang kita cintai meninggalkan kita selamanya, kemana kita
mesti berpaling dari kemelut kesedihan? Di sini kita butuh pengetahuan agama.
Tidak semua persoalan hidup kita diselesaikan dalam kerangka ilmiah, jadi
jangan menolak pengetahuan lain, hanya karena tidak ilmiah. Ilmiah hanya satu
dari beragam pengetahuan lain.