Media masa kita pada beberapa bulan terakhir tak henti-hentinya menyoroti perhelatan G20. Berbagai narasi-narasi positif selalu dibunyikan. Seolah-olah G20 adalah solusi dari seluruh permasalahan yang dialami oleh bangsa seluruh dunia. Wajar saja barangkali jika pikiran-pikiran yang menganggap forum ini sedemikian hebatnya. Karena jika dilihat dari anggotanya, G20 merupakan 19 negara dengan ekonomi terbesar ditambah Uni Eropa. Di dalamnya ada negara adikuasa beserta sekutunya yang ada di Eropa Barat dan Australia. Di sisi lain, ada juga negara yang bersebarangan dengan blok AS cs, Cina dan Russia. Dengan adanya dua blok yang sedang menghegemoni dua ini, harapanya mereka bisa berdialog di sana. Seperti asumsi Pak Jokowi, semua masalah bisa selesai dengan satu jalan, yaitu terbukanya ruang dialog.
Bagi saya, penyelesaian konflik dengan pendekatan dialog seperti apa yang dicitakan Jokowi adalah hal yang bagus. Karena seringkali pendekatan-pendekatan lain, unjuk kekuatan misalnya, justru merugikan masyarakat sipil biasa. Sebagai ilustrasi, jika kita mengikuti perkembangan perang Rusia dan Ukraina, kedua negara tersebut saat ini hidupnya sangat sulit. Warga Ukraina hidup dalam kondisi ketakutan. Kilang-kilang energi mereka habis diratakan oleh rudal-rudal Russia. Mereka hidup dalam kegelapan, kelaparan dan tanpa air. Agresi militer Russia benar-benar membuat hidup warga Ukraina berada di titik terndah dalam hidup mereka. Belum lagi ratusan ribu anak muda yang harusnya menikmati masa mudanya justru mati dengan tubuh terkoyak akibat rentetan peluru AK-47 menembus jantung mereka. Kondisi warga Russia pun tidak jauh berbeda. Mereka menderita beragam sanksi ekonomi oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Harga dalam negeri meroket tinggi. Banyak juga warga Russia yang akhirnya tidak mampu membeli barang-barang dasar untuk hidup. Banyak juga pemuda yang mati di medan perang. Artinya meskipun rudal Ukraina tidak menghantam pemukiman Rusia, nuklir tanpa bahan bakar bernama ekonomi tetap meledakan hidup warga Rusia.
Apa yang ingin saya sampaikan pada kasus Rusia-Ukraina di atas adalah untuk memberi gambaran bahwa konflik yang berujung pada kekuatan senjata justru menyulitkan kedua bela pihak. Dan yang lebih memprihatinkan adalah, masyarakat biasa sebagai yang paling terdampak di setiap konflik bersenjata. Sedangkan para elit politiknya, bisa tetap hidup dengan tenang, sembari tetap menyuarakan pesan-pesan patriotik diatas kursi empuknya. Dengan dialog, dampak-dampak negatif yang saya urai tadi tidak mungkin terjadi. Karena penyelesaian konflik selesai di atas meja runding. Dan G20 menyediakan ruang itu. Memang bijak sekali presiden kita ini.
Tapi bagi saya, Jokowi adalah seorang pembohong. Dia bicara banyak soal penyelesain konflik dunia melalui jalan damai. Tapi di dalam negara yang dia pimpin sendiri, banyak konflik yang justru berakhir dengan kekauatan senjata. Konflik tersebut seringkali melibatkan kekuatan yang tidak seimbang, alias konflik vertikal. Dalam konflik vertikal, dan hampir selalu pasti, yang menjadi pihak paling menderita adalah yang berada di sumbu terbawah dari suatu garis vertikal. Mereka adalah masyarakat kecil yang berhadapan dengan kekuatan modal. Mereka adalah masyarakat kecil yang berhadapan dengan kesewenang-wenangan negara. Mereka adalah masyarakat msikin yang berhadapan dengan hubungan gelap antara kekuatan modal dan keseweang-wenangan negara. Apakah ini sebatas retorika? Pertanyaan seperti ini biasanya muncul dari orang-orang yang beranggapan bahwaa dirinya adalah pusat alam semesta. Selama dirinya baik saja, berarti alam semesta pun demikian. Tapi tidak apa, saya akan memberikan beberapa kejadian yang tercium media, dimana-mana saja kejadian ketidakadlian dan penindasan dilakukan oleh negara.
Yang pertama, silakan baca laporan investigas BBC dan Walhi yang diangkat dalam artikel BBB Indonesia dengan judul "Kelapa sawit: ‘Kami sudah sering dibohongi’ - Tiga generasi Suku Anak Dalam mengaku tertipu janji perusahaan sawit". Biar saya ringkasakan bagaimana alur cerita sedih karya Jurnalisme ini. Pada tahun 1995 Suku Anak Dalam menyerahkan sejumlah tanah pada suatu perusahaan sawit, PT London Sumatera (Lonsum). Mereka dijanjikan kemakmuran di masa depan ketika perusahaan tersebut beroperasi. Saat itu, Orang Rimba mengaku memiliki lahan hutan adat seluas 2.500 hektare di Desa Tebing Tinggi - salah satu desa tertua di Sumatra Selatan yang terbentuk secara alami. Dari 2.500 hektare itu, menurut catatan mereka, sebesar 1.100 hektare akan diberikan sebagai plasma kepada kelompok transmigran dari Desa Karya Makmur. Sementara sisanya, seluas 1.400 hektare atau 10 kali kompleks Stadion Gelora Bung Karno dijanjikan akan dibangun kebun plasma yang hasilnya menjadi hak Orang Rimba. "Tujuannya, untuk kesejahteraan masyarakat," begitu janji lisan dari PT Lonsum.
Kini, pohon-pohon sawit yang ditanam PT Lonsum telah menjulang tinggi, dipanen berkali-kali. Hasilnya dibawa ke pabrik pengolahan dan menghasilkan minyak sawit bernilai jutaan dolar.Namun lebih dari seperempat abad kemudian, Suku Anak Dalam mengaku tidak pernah menerima sepeser pun keuntungan yang dijanjikan. Dari 1.400 hektare perkebunan kelapa sawit yang menurut Suku Anak Dalam dijanjikan kepada mereka, BBC memperkirakan PT Lonsum dapat menghasilkan USD $1,2 juta per tahun atau sekitar Rp17,2 miliar.Selama dua dekade konflik lahan ini, keuntungan dari kebun seluas itu kemungkinan telah melampaui USD $30 juta atau lebih dari Rp430 miliar.Bayangkan, betapa rakusnya mereka ini.
Upaya-upaya untuk mencari keadilan sudah mereka lakukan sejak 2001. Mulai dari aksi demonstari turun ke jalan hingga berdialog dengan DPRD Musi Rawas namun, tidak ada titik terang mengenai kejelasan nasib mereka. Bukti-bukti administrasi sebenarnya memperkuat kedudukan Suku Anak Dalam sebagai pemilik resmi tanah yang dikonflikan. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Musi Rawas mencatat "tidak pernah membuat atau mengeluarkan surat Keputusan Hak Guna Usaha atas lahan seluas 1.400 hektare yang terletak di Desa Tebing Tinggi Kecamatan Nibung untuk diberikan kepada PT Lonsum Tbk".
Ketika berbagai jenis tuntutan dibalas dengan kebohongan, Suku Anak Dalam melakukan awal 2017, mendirikan pondok-pondok dan memasang patok batas di atas lokasi lahan pengganti yang mereka klaim dijanjikan PT Lonsum, sebagai bentuk protes. Namun, pondok-pondok yang terbuat dari kayu dan terpal lalu dibongkar paksa. Aksi balasan dilakukan, para pengunjuk rasa menahan mobil Dam Truk Dutro milik perusahaan. Pemerintah setempat berusaha melakukan mediasi, tapi para demonstran tak mendapat jawaban pasti.
Malam hari setelah demo besar tersebut, polisi menggerebek pondok dan rumah Orang Rimba. Sekitar 45 orang dipenjara, enam di antaranya adalah perempuan. Pintu-pintu rumah mereka didobrak sampai hancur. Kemudian langsung masuk kamar untuk menangkap warga. Anak kecil yang sedang tidur juga hampir terinjak oleh sepatu laras tinggi aparat. Orang Rimba lain yang ditahan di kantor polisi juga mengaku mendapat kekerasan. Tanpa dimintai keterangan mereka dipukuli sampai berdarah-darah. Dipukuli menggunakan pentungan. Keluarga mereka pun tidak ada yang berani membesuk karena takut ditangkap.
Tindakan represif dari aparat kepolisian membawa efek trauma dan ketakuan bagi Suku Anak Dalam. Saat ini mereka sudah pasrah dengan nasib mereka. Pohon mereka sudah habis berganti menjadi sawit. Karena hidup mereka bergantung pada hutan, hutan yang hilang berarti hilang juga ruang untuk hidup mereka. Banyak anak-anak mereka yang tidak bertahan hidup lama karena tidak punya makanan. Dan pemuda-pemuda mereka tumbuh dengan kondisi memprihatinkan, mereka kekurangan gizi. Naas sekali jika kita bayangkan. Mereka, ditipu, diinjak, ditindas dan diambil hidupnya tanpa ada yang memihak mereka. Dan yang lebih mengenasknya, mereka ditindas oleh negara, yang pada asas normatif harus melindungi dan memastikan hak-hak mereka sebagai manusia
Konflik-konflik yang seperti ini bukan yang pertama di negeri kita. Ketika rakyat kecil berupaya memperthankan hak-hak mereka, penguasa dan pemilik modal tidak pernah mengakomodasi kebutuhan yang tertindas. Jika penindasan makin nyata dirasakan, naluri manusia untuk melawan diredam dalam bentukk kekerasan. Mereka dipukuli, ditembak dan dipenjarakan dengan dalih mereka mengganngu ketertiban umum. Padahal, jika ditelisik, akar masalahnya terletak pada perampasan hak-hak hidup. Maka solusinya satu, kembalikan hak-hak hidup mereka yang telah dirampas.
Mari kita ajukan pertanyaan terakhir pada Pak Jokowi? Kenapa di negeri mu sendiri, konflik diredam dengan kekerasan?
Oleh Samsul Bakri