Walaupun memiliki privilege, mahasiswa KIP-K tetaplah mahasiswa normal pada umumnya, mereka mengikuti pembelajaran, menaati peraturan, menikmati fasilitas, dan sebagainya. Selain itu ada juga hak mahasiswa KIP-K yang tidak boleh di ganggu gugat oleh siapapun, yaitu hak mengeluarkan pendapat, karena itu merupakan hak asasi manusia, atau hak mendasar yang melekat pada setiap diri manusia dan tidak boleh di renggut oleh siapapun. Bahkan hal tersebut di atur dalam UUD 1945 Pasal 28E Ayat 3 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Di masa diagungkannya kebebasan berpendapat ini, masih terdengar ketakutan dari banyak orang dalam mengemukakan pendapatnya. Ironis, padahal hal tersebut menjadi sesuatu yang menempel dan haram hukumnya lepas dari diri kita. Ketakutan tersebut tidak tiba-tiba muncul, ada asap pasti ada api. Melansir dari media suaraindonesia.com Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kota Banjarmasin, Nurdin Ardalepa dan pihaknya bersama organisasi yang bernaung di Cipayung, melakukan penelusuran, dan ditemukan di Kalsel terdapat dua kampus yang secara jelas melakukan intervensi dan mengancam mencabut beasiswa KIP-K mahasiswanya yang melakukan demonstrasi.
Ketakutan tersebut di tebarkan oleh kekuasaan demi sebuah status quo. Yang perlu diketahui secara bersama adalah kekuasaan akan bertahan selama kita menghamba pada ketakutan. Ingat, lawan kita bukan seekor siput, melainkan serigala yang siap menerkam kapanpun diamanpun, untuk menghadapi serigala kita harus menjadi eksistensi yang lebih ganas dari serigala pula. Eksistensi tersebut termanifestasikan dalam jiwa-jiwa yang tidak mudah percaya pada janji-janji manis yang diberikan kekuasaan demi memberi ketenangan semu, jiwa yang paham akan realitas yang sedang terjadi di sekitarnya, khususnya kondisi irasional yang harusnya tidak terjadi, kondisi yang keluar dari batas-batas moral, kondisi-kondisi non-akuntabilitas. Tidak berhenti disitu, eksistensi tersebut harus termanifestasikan dalam bentuk jiwa yang siap berjuang dengan segala cara dan siap menerima konsekuensi yang ada. Perjuangan tidak dalam bentuk mengeluh dan membeo di belakang, namun perjuangan perlu tetesan keringat, pekikan suara, dan dentuman kata-kata.
Semua berhak berbicara, semua berhak menuangkan pendapat dari pikiran waras dalam bentuk lisan maupun tulisan. Itu juga di atur dalam UUD kita. Dalam hukum ada asas yang berbunyi lex superior derogate legi inferiori, artinya hukum yang secara hierarki posisinya lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan hukum yang posisinya lebih tinggi. Sehingga UU; Perpres; Permen; Perda; dan lain sebagainya haram hukumnya bertentangan dengan UUD 1945. Termasuk haram juga hukumnya kampus dan negara menebarkan ketakutan kepada para demonstran yang sesuai alur. Disini artinya, mahasiswa KIP-K sekalipun berhak menyampaikan pendapat, bahkan di muka umum, seperti yang biasanya demonstran lakukan. Hal tersebut di legitimasi oleh UU Nomor 9 Tahun 1998.
Jadi, barang siapa yang melarang orang demo, apalagi mengancamnya, berarti dia sedang mengabaikan hukum, atau mungkin tidak paham hukum. Kalo ditanya "kenapa demo?" Jawab aja "KAMU NEANYA? KAMU BERTANYA-TANYA?". Baca noh undang-undang.