Dalam tulisan ini saya hendak sedikit mengulas satu dari tiga konsep besar Trisakti Bung Karno, yakni gagasan mengenai Indonesia yang berdikari dalam ekonomi. Bagi mereka yang belum membaca gagasan Bung Karno, biasanya akan terjebak dan salah mengartikan makna berdikari dalam ekonomi. Salah interpresatsi itu ada dikarenakan kesempitan berpikir yang hanya mengartikan diksi berdikari secara frasa akronimnya saja. Akibat dari cara pandang seperti itu, berdiri di kaki sendiri diartikan dalam kegiatan ekonomi, Indonesia cukup sendiri saja. Indonesia tidak perlu menjalin hubungan dengan negara lain dalam perihal kerjasama di bidang ekonomi. Tentu saja penarikan kesimpulan ini tidak benar dan berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh Bung Karno.
Mahzab ekonomi yang beranggapan bahwa suatu negara bisa makmur dengan kekuatan dalam negeri sudah lama ditinggalkan. Mahzab merkantilisme namanya. Aliran ini memandang dunia sebagai zero sum-game, artinya, keuntungan suatu negara pastilah datang dari kerugian negara lain. Sudah tentu asumsi tersebut tidak relevan saat ini, sebagaimana bantahan dari Adam Smith dan David Ricardo yang datang dengan teori keunggulan absolut dan keunggulan komparatif. Ringkasnya, dua teori ini melihat bahwa keuntungan suatu negara bisa mendatangkan kemakmuran bagi bangsa lain.
Oleh karena itu, kerjasama antar negara adalah suatu hal yang postif dan mesti dilakukan. Cara pandang inilah yang diterima dalam berbagai teori ekonomi modern, sebab tidak ada satu bangsa pun yang mampu berdiri sendiri. Dan memang seperti itu pula yang dihendaki oleh Bung Karno dalam gagasanya mengenai Indonesia yang berdikari dalam ekonomi. Berdikari tidaklah diartikan menutup diri dari kerjasama ekonomi dengan negara lain.
Justru sebaliknya, berdikari menghendaki adanya kerjasama dalam jangkauan yang luas diantara negara-negara yang baru merdeka. Berdirikari dalam ekonomi juga sejalan dengan gagasan ekonomi kerakyatan yang menempatkan kemakmuran rakyat sebagai asas tertingginya. Dengan alur berpikir seperti ini, saya kira jelaslah apa makna berdikari dalam ekonomi menurut Bung Karno. Keran kerja sama ekonomi internasinal tetap dibuka dengan rakyat Indonesia sebagai penerima mamfaat paling besar dari usaha-usaha tersebut (K. Gunadi, 1959). Dari literatur yang saya pelajari, itulah makna dari berdikari.
Kemudian yang menjadi pertanyaanya adalah, sudahkan kita mengaplikasikan konsep berdikari dalam ekonomi menurut trisakti Bung Karno? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya menggunakan Indeks gini untuk mengetahui apakah pembanguan ekonomi sudah mengarah ke pemerataan atau sebaliknya. Saya tidak menggunakan variabel pertumbuhan ekonomi yang termanifesatsi dalam Produk Domestik Bruto (PDB) dan pendapatan perkapita karena dua alasan. Yang pertama, angka pertumbuhan ekonomi tidak mampu menjelaskan darimana dan siapa yang menikmati pertumbuhan ekonomi. Dan yang kedua, metode yang digunakan dalam menghitung pendapatan per kapita berangkat dengan asumsi 'one man, one dollar' (Raut, 1993). Oleh karena itu, kelemahan dari pendapatan per kapita sebagai indikator pembangunan ekonomi adalah ketidakmampuanya dalam melihat kesejahteraan secara utuh.
Jika menelisik data dari BPS, pertumbuhan ekonomi secara agregat dan pendapatan per kapita selama lima tahun terakhir cenderung mengalami pertumbuhan yang positif diatas 5% (BPS, 2021) Di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang positif dianggap sebagai keberhasilan pembangunan ekonomi. Dengan cara pandang seperti itu, orientasi dari setiap kebijakan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang dihitung secara agregat.
Namun, jika ditelisik sedikit lebih tajam, pertumbuhan ekonomi yang kosnisten tersebut belum berdampak signifikan pada pemerataan pendapatan. Data Badan Pusat Statistik menunjukan bahwa rasio indeks gini di Indonesia adalah secara rata-rata nasional adalah 0,381. Bahkan di beberapa daerah seperti D.I. Yogyakarta dan DKI Jakarta, nilai indeks gini-nya mendekati 0,5 (Katadata, 2022). Untuk diketahui, rasio gini berkisar antara 0 sampai dengan 1. Nilai yang mendekati 1 berarti ketimpangan makin tinggi.
Dengan angka indeks gini seperti itu, maka bisa kita ditarik sebuah konklusi bahwa ketimpangan pendapatan di indonesia masih cukup tinggi di tengah pertumbuhan ekonomi yang positif. Argumen ini diperkuat oleh penelitian empiris yang dilakukan oleh Khairul Amri (2019), dengan obek data panel 26 prvinisi di Indonesia. Temuan dalam penelitian tersebut adalah, dalam jangka pendek, terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan. Hubungan yang positif memberi makna jika terdapat pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan juga naik.
Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi bukan karena didorong oleh peningkatan kesejahteraan oleh semua masyarakat, tetapi hanya dari sekolompok orang saja. Jika merujuk juga pada laporan Bank Dunia (2015), dalam 20 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi hanya datang dari 20 persen masyarakat. Dampak dari hal tersebut, kemiskinan hanya akan berkurang dalam skala sedikit jika populasi yang menerima manfaat yang timbul dari pertumbuhan ekonomi dari segelintir masyarakat saja. Kondisi ini kemudian dapat membuka peluang peningkatan kemiskinan sebagai akibat dari meningkatnya ketimpangan pendapatan yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi (Hasan, 2021).
Fakta-fakta kondisi ekonomi yang saya uraikan tadi kontradiksi dengan apa yang dicita-citakan oleh Bung Karno dalam gagasanya mengenai berdikari dalam ekonomi yang mengharapkan kemandirian ekonomi menuju kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tentunya, realitas ini adalah sebuah pengingat bahwa pembangunan yang menitikberatkan pada aspek pertumbuhan dalam batas-batas tertentu akan mengabaikan aspek pemerataan. Selain itu, keberhasilan pembangunan yang ditinjau dari tolok ukur ekonomi klasik ternyata tidak mampu merefleksikan realitas kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Dan juga angka-angka pertumbuhan yang tercermin pada PDB tidak cukup representatif dalam mengungkapkan state of mind masyarakat yang sebenarnya.
Mewujudkan gagasan Bung Karno dalam menciptkan kesetaraan ekonomi butuh perubahan transformatif. Kebijakan-kebijakan dalam negeri pemerintah harus mampu mengurangi ketimpangan. Penelitian sering menekankan bahwa modal manusia sebagai salah satu faktor utama yang mempengaruhi tingkat ketimpangan pendapatan. Modal manusia, diukur dengan pencapaian pendidikan dan kesehatan yang diwujudkan dalam diri seorang pekerja, merupakan penentu utama pendapatanya (ADB, 2018).
Sebab, manusia yang berpendidikan rendah dan mudah sakit seringkali tertutup aksesenya untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Oleh karena itu, proporsi anggaran pemerintah sektor pendidikan dan kesehatan baiknya diprioritaskan. Semakin tinggi proporsi anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk kedua sektor tersebut, menunjukkan semakin tinggi pula perhatian pemerintah terkait mengenai aspek pembangunan manusianya.
Ditulis oleh Samsul Bakri (Direktur LAPMI Semarang)