Ditulis oleh Samsul Bakri (Direktur LAPMI Semarang)
Dewasa ini, pejabat negara kita selalu memperlihatkan
tindakan amoral. Rakyat kecil yang masih tercekik perekonomianya pasca pandemi
kembali dibuat sulit oleh kebijakan pemerintah. Peran negara yang seharusnya
membantu masyarakat meraih kesejahteraan hidupnya berbalik haluan ke arah menyengsarakan
rakyat. Kesepakatan bernegara yang tercantum dalam dasar konstitusi UUD 1945
sudah tidak dijalankan secara konsekuen. Padahal, amanat dasar bernegara Indonesia jelas bahwa
tujuannya adalah memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, segala bentuk
kebijakan publik yang dipraktikan harus dengan sasaran mengurangi angka kemiskinan dan
membantu hidup masyarakat miskin.
Karena dasar kita bernegara sudah eksplisit menngupayakan kemakmuran
bagi seluruh rakyat dengan peran negara sebagi aktor pendukungnya. Negara harus
hadir untuk tercapianya hak hidup makmur bagi warga negara. Dengan kata lain, kebijakan
pemerintah yang menaikan harga bahan bakar di sutuasi sulit merupakan
pengkhiatan terhadap tujuan bernegara itu
sendiri. Dampaknya, banyak rakyat
khususnya pekerja sektor informal yang kesulitan untuk memenuhi hak dasar
mereka, hak untuk bekerja. Pada hakikatnya, hak tersebut harus dipenuhi oleh
tiap warga negara dengan sokongan pemerintah. Dalam kalimat lain, di dalam kebijakan
ekonomi, pemerintah harus memihak pada tercapainya hak-hak hidup makmur bagi
rakyat yang kesulitan secara ekonomi.
Alasan-alasan yang
tidak rasional untuk meligitimasi kebijakan menaikan harga bahan bakar
minyak harus ditolak. Menempatkan subsidi energi dan anggran pendapatan belanja
negara (APBN) dalam situasi yang saling meniadakan bukanlah tindakan yang
bijak. Karena pada hakikatnya, ada belanja negara berarti harus ada pula
subsidi untuk rakyat. Itulah dasar dari negara kesejahteraan. Bahwa yang paling
utama dalam setiap anggaran adalah untuk membantu yang lemah. Singkatnya, cara
pandang yang negasikan antara subsidi dan anggaran negara tidak sesuai dengan da
sar konstitusi Indonesia yang menganut
paham negara kesejahteraan. Di lain hal, negara justru banyak mengeluarkan
anggaran negara untuk membayar bunga utang dan pembangunan infrastruktur yang
belum terlalu mendesek ketersediaanya.
Selain persoalan ekonomi, isu krusial yang menjadi simbol
tidak adanya moral pejabat negara kita adalah pelanggaran hak yang paling dasar
bagi manusia Indonesia yakni hak untuk
hidup. Hak yang paling asali bahwa
manusia itu hidup, karena ia hidup dan bebas maka ia dikatakan manusia. Hak
untuk hidup adalah pemberian langusung dari Tuhan kepada manusia.Hak hidup tidak boleh dicabut oleh siapaun termasuk
yang memiliki hak itu sendiri. Ihwal
dasar hadirnya negara modern adalah untuk
menghormati dan melindungi hak untuk
hidup tersebut. Negara harus memastikan bahwa hak tersebut tidak diambil oleh
orang lain. Tragedi Kanjuruhan adalah gambaran yang sangat kontras dari
hubungan antara hak asasi dan peran negara. Bukannya mengormati apalagi
melindungi, negara dengan tangan kotor aparat kepolisianya justru merenggut hak
hidup 137 warga negaranya.
Atas nama keadilan, pelanggar hak asasi manusia wajib
diadili. Keadilan harus terlaksana sebagai simbol sekaligus syarat kepastian
hukum di masyarakat. Tragedi Kanjuruhan belum memenuhi syarat keadilan dan
kesetaraan manusia di mata hukum. Masih
ada pihak yang belum diadili karena kematian yang ada di dalam wewenangnya. Ketetapan
yang paling dasar adalah wewenang yang besar diikuti juga oleh tanggung jawab
yang besar. Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia
sebagai lembaga yang berwenang mengatur dan mengawasi seluruh jalanya
pertandingan sepakbola harus ikut bertanggung jawab. Dengan menggunakan logika
yang runut dan sederhana, maka ketua PSSI harus ikut diadili atas tragedi kemanusian yang terjadi di
Kanjuruhan. Kewenangan yang ia miliki tidak digunakan untuk menjamin dan
memastikan keamanan dan keselamatan. Padahal ia mengetahui dinamika proses status keamanan
di Stadion Kanjuruhan.
Berkaitan dengan masih maraknya perempuan Indonesia yang
menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual adalah bukti bahwa hak untuk hidup nyaman bagi perempuan
belum mampu dipenuhi oleh negara. Perlindungan pada korban kekerasan seksual di
Indonesia saat ini masih sangat minim. Korban kekerasan seksual masih sulit
membuktikan saat dia menjadi korban. Selain itu, proses peradilan yang lama
kerap kali menjadikan kasus ini terhambat dan tidak ditindaklanjuti. Mirisnya
lagi, ketika kasus yang diajukan oleh korban mendapat SP3 atau dinyatakan sudah
tidak dapat ditindaklanjuti, korban malah kembali dituntut oleh pelaku
kekerasan seksual dengan tuntutan pencemaran nama baik.
Kemudian, dari struktur hukumnya, di Indonesia, baik
sumber daya manusia (SDM) maupun instansi atau lembaga pemerintahan, masih
sedikit yang terlatih untuk dapat memahami korban. Masih banyak lembaga yang
kurang peduli dengan korban kekerasan seksual, dan tidak sedikit juga
masyarakat yang malah menyalahkan korban kekerasan seksual. Dan juga, budaya
hukum yang masih menerapkan budaya patriarki. Sistem peradilan yang rumit kerap
kali membuat korban kelelahan baik dari segi psikis hingga biaya, yang
menyebabkannya memilih untuk mencabut gugatannya. Hal-hal tersebut kemudian
terakumlasi menjadikan Indonesia masih menjadi surga bagi para pelaku pelecehan
seksual dan neraka bagi perempuan yang menjadi korbannya.
Rangkaian argumen tersebut menjadi dasar bagi kami yang tergabung dalam Candradimuka melawan untuk menuntut. Menuntut disini bukanlah keinginan yang berasal kehendak bebas dan tidak juga muncul dari sebuah ketidakadaan, melainkan sudah mejadi satu hak dalam negara demokrasi. Menuntut kepada penguasa adalah hak dalam negara yang mendapat mandat berkuasa atas kehendak rakyat. Legitimasi atas wewenang berkuasa yang diperoleh dari rakyat wajib untuk dipentanggungjawabkan kembali pada rakyat.
Pada tataran yang sepatutnya, dalam
negara demokrasi, bentuk pertanggung jawaban penguasa pada rakyat didelegasikan
kepada lembaga legislatif. Sayangnya, lembaga legislatif di Indonesia bukan lagi menjadi simbol
keterwakilan rakyat. Mereka akan tetap ‘se iya’ dan ‘sekata’ dengan penguasa
meskipun rakyat sudah membludak di jalan menyatakan ketidaksetujuanya pada
suatu kebijakan. Mereka sudah lupa bahwa
hakikat rakyat mendelegasikan hak mereka
tidak lain untuk mendengarkan aspirasi rakyat. Mereka terlalu rakus pada
kepentingan duniawi sehingga menjadikan mereka sebagai penampung aspirasi partai politik,
bukan rakyat.
Karena didorong oleh macetnya fungsi legislatif dan
kesewenang-wenangan pemerintah dalam setiap kebijakanya, maka kami dari
aliansi Candradimuka melawan turun ke jalan dengan membawa beberapa tuntutan
yaitu.
1. Reformasi Polri
2. Adili Ketua PSSI dalam Tragedi Kanjuruhan
3. Turunkan Harga BBM
4. Tuntaskan segala kasus pelecehan dan kekerasan seksual
5. Tersedianya sistem hukum yang memihak korban pelecehan
dan kekerasan seksual