Ditulis Oleh Samsul Bakri (Direktur LAPMI Semarang)
Bukan yang pertama kali, sudah sekian kalinya pemerintah di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo mengambil berbagai kebijakan buruk yang tidak memihak rakyat. Di saat rakyat miskin kota, buruh, petani dan nelayan tengah berupaya untuk bangkit berdiri pasca pandemi covid-19, pemerintah justru mencekik leher rakyat dengan menaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Berbagai alasan irasional dan narasi pembodohan publik dijadikan legitiomator atas keputusan menaikan harga BBM. Pembodohan yang pertama adalah terkait angka subsidi BBM yang sudah mencapai 502 triliun. Padahal faktnya adalah, angka 502 triliun tersebut bukan hanya subsidi untuk BBM, melainkan untuk seluruh subsidi energi. Bahkan, katanya, apabila harga yang berlaku saat ini dipertahankan, maka beban APBN untuk membiayai subsidi bisa mencapai 700 trilun lebih.
Untuk mendapatkan legitimasi masyarakat atas narasi subsidi sebagai beban negara tersebut, saya melihat berbagai media masa mainstream menjadi jalur transmisinya. Media massa menjadi legitimator atas narasi sesat yang dibangun oleh pemerintah. Bisa kita saksikan, banyak ekonom yang dimintai pandanganya mengenai pencapatan subsidi memiliki pandangan linear dengan pemerintah. Para ekonom itu sepakat jika harga BBM memang harus naik.
Saya tahu bahwa para ekonom itu tidak lebih dari humas pemerintah. Seorang yang katanya ekonom, sebut saja namanya Kapitra bahkan mengatakan bahwa rakyat Indonesia jangan dimanja dengan subsidi. Narasi yang konyol dan tidak tahu diri dari Kapitra adalah bentuk ketidaktahuanya pada siapa sebenarnya negara 'memanjakan'.
Barangkali dia tidak tahu, sebenarnya yang dimanja oleh negara hari ini adalah pejabat dan wakil rakyat yang katanya bekerja untuk kepentingan rakyat. Mereka sudah dibayar mahal dan diiberikan fasilitas mewah menggunakan uang negara tanpa menghasilkan suatu kerja yang bermafaat untuk bangsa ini.
Bahkan bagi saya, pemulung yang mendaur ulang sampah memiliki hasil kerja yang lebih kongkret daripada mereka. Jasa mereka besar untuk mengurai sampah plastik. Tapi pemulung-pemulung itu tidak pernah meminta uang negara untuk makan keluarganya. Mereka tidak pernah meminta gerobak sampah untuk didanai APBN. Mereka lebih suka jendela terbuka lebar, agar udara segar masuk daripada harus mengusulkan uang 90 juta hanya untuk selembar kain gorden.
Anggota dewan bahkan memperoleh tunjangn untuk semua aktivitas mereka, termasuk tunjangan pulsa dan biaya internet untuk menelpon gadis-gadis muda peliharaannya. Tidak cukup dengan beragam kemanjaan itu, mereka bahkan mengajukan dana pensiun bagi setiap anggota DPR meskipun masa baktinya hanya lima tahun.
Sangat tidak adil bagi pemulung, mereka sudah berkontribusi untuk mendaur berton-ton sampah dalam masa bakti seumur hidupnya, tidak pernah menerima dana pensiun sebagai imbal atas jasa mereka. Pemulung juga mungkin tidak mengenal istilah pensiun dalam kerja mereka. Karena masa baktinya adalah seumur hidup untuk mengumpulkan barang bekas, dan mati adalah pensiunya.
Ketika mengharap kehadiran pemerintah dengan sedikit subsidi BBM, pejabat yang bernama Kapitra itu, dengan bahasa lembut, elegan dan tersenyum manis, tipikal gaya bahasa orang "berpendidikan" mengatakan bahwa rakyat jangan mau dimanja dengan subsidi. Subsidi adalah beban bagi anggaran negara.
Kemudian bagi saya, narasi yang secara eksplisit disampaikan bahwa subsidi BBM sebagai beban anggaran negara adalah bentuk penghianatan terhadap rakyat, karena sejatinya, APBN memang dialokasikan untuk rakyat. Lalu jika melihat komparasinya, di saat yang bersamaan anggaran negara ratusan triliun dianggarkan untuk proyek IKN dan kereta cepat. Jika melihat skala peruntukanya, disaat yang sulit pasca pandemi, rakyat lebih membutuhkan energi bahan bakar yang terjangkau daripada dua proyek tersebut.
Oleh karena itu, ketika pemerintah lebih memprioritaskan APBN untuk membiayai IKN dan kereta cepat daripada subsidi BBM, sama artinya pemerintah belum menempatkan kebutuhan rakyat sebagai prioritas dalam pengalokasian anggaran negara.
Saya juga melihat bahwa bantuan langsung senilai Rp150.000/ bulan yang dirancang pemerintah untuk melindungi kelompok masyarakat yang paling terdampak tidak efektif dan tidak menutup kenaikan harga pasca pencabutan BBM bersubsidi. Asumsi yang dipakai bahwa pertambahan inflasi sebagai dampak dari kenaikan BBM bersubsidi sebesar 1-2% adalah sebuah kenaifan.
Sangat naif jika asumsi Rp 150.000 akan meningkatkan daya beli masyarakat. Katanya, nominal uang bantuan itu setara dengan 6% dari total anggaran belanja masyarakat selama sebulan. Jadi asumsi menurut pemerintah bahwa inflasi yang bertambah 2% bisa ditutup dengan bantuan bahkan daya beli masyarakat miskin penerima bantuan masih surplus 4%.
Bagaimana pun ini adalah sebuah pandangan sesat dan menyederhanakan realita. Karena asumsi 1-2% tersebut merupakan rata-rata dalam puluhan katogeri barang dan jasa. Dalam ukuran parsial, komoditas pangan yang merupakan porsi pendapatan masyarakat belanjakan, perubahan harganya sudah lebih dari 10%. Sehingga insentif fiskal yang diberikan oleh pemerintah tidak menutup selisih pengeluaran konsumsi rakyat kecil.
Lalu mengingat juga bahwa perekonomiam makro Indonesia belum pulih sempurna pasca pandemi covid-19, kebijkan menaikan BBM ini akan mengakibatkan terjadinya inflasi yang berasal dari kenaikan biaya produksi atau cost push inflation. Inflasi yang dimaknai sebagai turunya nilai rupiah terhadap suatu komoditas akan menurunkan daya beli masyarakat.
Daya beli yang berkurang kemudian akan berdampak pada turunya skala produksi. Jika produksi turun, akan berdampak pada pengurangan penggunaan variabel input produksi, dalam hal ini, ada potensi besar PHK tenaga kerja. Sehingga saya memandang bahwa, kenaikan BBM ini akan selain menimbulkan inflasi, juga berpotensi meningkatkan jumlah pengangguran yang pada giliranya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional dan meningkatkan angka kemiskinan