Ditulis Oleh Samsul Bakri (Direktur LAPMI Semarang)
Tulisan ini merupakan bagian pertama dari rangkain tulisan mengenai "Benarkah PKI Dalang di Balik G 30 S?" Menemukan satu jawaban tunggal atas pertanyaan "Benarkah PKI Dalang di Balik G 30 S?" adalah sesuatu yang sukar. Bukan karena saya khawatir akan dipenjarakan karena mencoba melawan narasi negara yang menganggap PKI sebagai pengkhianat pancasila.
Lebih dari itu, saya lebih takut bahwa artikel ini barangkali akan membawa sebuah informasi yang tidak benar. Ketimbang siksa fisik karena melawan negara, saya lebih takut apabila tulisan dari artikel ini justru menyesatkan banyak orang. Bukan karena apa saya berkata demikian, karena memang untuk menjawab pertanyaan siapa dalang di balik momen bersejarah beralihnya orde lama ke orde baru ini, saya harus memilah dua sumber pengetahun.
Yang pertama adalah datang dari pengalaman pengetahuan yang saya yakini semenjak duduk di bangku sekolah dasar hingga menengah atas. Dalam berbagai muatan sejarah Indonesia yang pernah saya baca, jika merujuk pada kurikulum sejarah di masa saya sekolah, saya menerima doktrinasi bahwa dahulu, ada penghianat bangsa yang mencoba untuk menggulingkan kekuasan negara, yaitu PKI. Gambaran-gambaran perbuatan keji yang dilakukan PKI dalam upaya kudeta dapat saya temui dalam berbagai buku sejarah dan film.
Setiap tahun, di kampung, saya diajak dan dianjurkan untuk menonton film "Pengkhianatan G 30 S PKI." Film ini menggambarkan masa menjelang kudeta dan beberapa hari setelahnya. Dalam kala kekacauan ekonomi, enam jenderal diculik dan dibunuh oleh PKI dan Pasukan Cakrabirawa konon untuk memulai kudeta terhadap Presiden Soekarno.
Film ini menggambarkan gerakan G30S sebagai gerakan kejam yang telah merencanakan "setiap langkah dengan terperinci", menggambarkan sukacita dalam penggunaan kekerasan yang berlebihan dan penyiksaan terhadap para jenderal, penggambaran yang telah dianggap menggambarkan bahwa "musuh negara adalah bukanlah manusia"
Dalam buku-buku teks sekolah yang pernah saya baca menggiring pemahaman tunggal negatif tentang PKI. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mata pelajaran Sejarah SMA kelas XII IPS Semester 1 pada Kompetensi Dasar 1.3. berbunyi: Menganalisis perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dari ancaman disintegrasi bangsa terutama dalam bentuk pergolakan dan pemberontakan (antara lain: PKI Madiun 1948, DI/TII, Andi Azis, RMS, PRRI, Permesta, dan G30S/PKI).
Rumusan senada juga dijumpai kembali dalam Kurikulum 2013 mata pelajaran Sejarah Indonesia (wajib) Kelas XII pada Kompetensi Dasar 3.3. berbunyi: Menganalisis upaya bangsa Indonesia dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa terutama dalam bentuk pergolakan dan pemberontakan (antara lain: PKI Madiun 1948, DI/TII, APRA, Andi Azis, RMS, PRRI, Permesta, dan G30S/PKI).
Untuk mata pelajaran Sejarah Kelas XII Peminatan Ilmu Sosial, Kompetensi Dasar 3.3. berbunyi: Mengevaluasi secara kritis hubungan kausalitas peristiwa-peristiwa pergolakan politik dan pemberontakan antara lain: PKI Madiun 1948, DI/TII, APRA, Andi Azis, RMS, PRRI, Permesta, dan G30S/PKI 1965.
Penyajian kompetensi dasar pada dua kurikulum tersebut perlu dicermati. Memang tampaknya sepele, namun pemberian tambahan istilah PKI pada G30S memberikan perspektif tertentu bahwa G30S adalah sama dengan PKI. Minimal memberi klaim bahwa PKI adalah dalang sekaligus pelaku tunggal dari gerakan tersebut.
Cara pandang saya terhadap PKI sebagai segala bentuk negatif yang menyertainya sedikit demi sedikit terurai pasca saya memasuki dunia perkuliahan. Saya mulai mengenal beragam buku yang tidak lagi menempatkan PKI sebagai objek tunggal yang patut dipersalahkan atas tragedi kemanusian 30 September 1965.Ada beberapa buku yang sudah saya baca yang kemudian akan saya coba pakai untuk menjernikan pandangan sejarah kita sayang sudah dikaburkan oleh rezim orde baru. Yang pertama saya akan mengurai beberapa kebohongan yang termuat dalam film Penghiatan PKI.
Adegan yang memampilkan sosok-sosok peremuan telanjang dalam pembuangan mayat ke dalam lubang buaya adalah kepalsuan sebagai perang urat saraf. Sebab Jika merujuk pada buku Tempo yang diterbitkan KPG berjudul AIDIT Dua Wajah Dipa Nusantara; lalu buku John Roosa yang berjudul Dalih Pembunuhan Masal; dan Buku Letkol Untung dan Cakrabirawa, tidak ada satupun dalam buku tersebut menceritakan sosok penari telanjang dalam G 30 S.
Lalu tentang penyiksaan dengan cara menyayat dan mengiris-iris tubuh jendral menggunakan silet terhadap pada jenderal dalam film Penghiatan PKI juga meragukan kebenarannya. Visum et repertum dokter yang memeriksa jenazah para jenderal setelah dikeluarkan dari sumur tua tidak menyebutkan adanya penyiksaan keji. PKI digambarkan menikmati kekerasan, dengan film ini sangat menampilkan adegan "perempuan yang mencungkil mata dan tubuh yang membusuk dan disiksa".
Para jenderal diculik, dan dalam beberapa kasus tewas dibunuh di depan keluarga mereka; kemudian jenderal yang ditangkap disiksa saat komunis menari di sekitar api unggun. Sosiolog Adrian Vickers berpendapat bahwa kekerasan film ini dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa "musuh-musuh negara ada di luar alam manusia", mirip dengan monster dalam sebuah film horor. Anggota gerakan perempuan sayap kiri Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) disajikan film ini sebagai bagian dari Partai Komunis yang "gila", menari telanjang dan memotong penis jenderal yang diculik. Namun, penggambaran ini sangat ambigu dan menunjukkan bahwa pemerintahan Orde Baru diizinkan memonopoli kekerasan demi tujuan politik praktis.
Selain melalui film dan buku, rezim orde baru juga coba untuk melakukan dokrinasi dengan mendirikan monumen-monumen yang menceritakan kekejaman PKI, salah satunya moneumen pancasila. Di samping Monumen Pancasila Sakti rezim Suharto membangun Museum Pengkhianatan PKI pada 1990. Hampir semua dari 42 diorama di dalam museum itu, yang kaca-kacanya dipasang rendah agar anak-anak sekolah yang berkunjung dapat melihatnya, menggambarkan babak-babak kekejaman PKI dari 1945 sampai 1965.
Apa yang dipelajari para pengunjung museum adalah pelajaran moral sederhana: bahwa sejak kemerdekaan dan masa-masa selanjutnya, PKI bersifat antinasional, antiagama, agresif, haus darah, dan sadis. Museum itu tidak menawarkan penjelasan tentang komunisme sebagai ideologi yang menentang kepemilikan pribadi dan kapitalisme; tidak ada sejarah mengenai sumbangan PKI dalam perjuangan nasional melawan kolonialisme Belanda, atau kegiatan partai dalam mengorganisasi buruh dan tani secara damai. Adegan-adegan kekerasan dirancang untuk meyakinkan pengunjung tentang kemustahilan memberi toleransi terhadap PKI di tengah kehidupan berbangsa Rezim Orde Baru menciptakan musuh bersama dengan ancaman-ancaman konflik yang selalu menghantui perjalanan hidup bangsa Indonesia. Orde Baru menekankan adanya kerapuhan persatuan nasional apabila Pancasila tidak dilaksanakan dengan benar.
Konflik antara kekuatan pro Pancasila dan anti Pancasila (komunis) pada kurun waktu 1965-1966 diakhiri dengan keluarnya Surat Perintah Maret yang dijadikan alat untuk melarang PKI. Puncaknya yaitu lahir era baru yang bertekad menegakkan dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Meskipun pada kenyataannya tekad tersebut hanyalah kamuflase belaka karena yang terjadi kemudian justru kemunculan rezim otoriter yang berhasil mendikte versi sejarah demi melanggengkan kekuasaannya. Rezim orde baru terus mempertahankan "bahaya laten komunisme" dan menyandera Indonesia dalam keadaan darurat terus-menerus. Seperti dikatakan Ariel Heryanto, komunisme tidak pernah mati di Indonesia-nya Suharto. Rezim Suharto tidak dapat membiarkan komunisme mati, karena ia menetapkan dirinya dalam hubungan dialektis dengan komunisme, atau lebih tepat, dengan citra khayali (simulacrum) 'komunisme'.
Bagi saya G-30-S menandai adanya "pemutusan imanen" dengan (meminjam istilah filsuf Prancis Alain Badiou) "pengetahuan yang telah dilembagakan," dan "meyakinkan" orang-orang yang akan menjadi setia kepada kebenaran gerakan tersebut.Seperti dinyatakan Badiou, "Bersetia kepada suatu peristiwa adalah bergerak dalam situasi yang disodorkan peristiwa tersebut dengan berpikir ... [tentang] situasi tersebut sesuai dengan 'peristiwa' itu."
Rezim Suharto menampilkan diri sebagai wahana, yang dapat digunakan bangsa Indonesia agar tetap setia kepada kebenaran peristiwa 1 Oktober 1965. Kebenaran yang dinyatakan peristiwa itu ialah bahwa PKI jahat dan pengkhianat yang tak dapat disadarkan lagi. Rezim Suharto akan tampak sebagai semacam "proses kebenaran" jika kebenaran dirumuskan sesuai dengan cara Badiou merumuskannya, yaitu "suatu proses nyata tentang kesetiaan kepada suatu peristiwa." Maka semua pejabat negara harus mengucapkan sumpah setia kepada Pancasila dan bersumpah bahwa mereka (serta keluarga masing-masing) bersih dari kaitan apa pun dengan PKI dan G-30-S.
Namun, jika kita menggunakan kerangka berpikir Badiou dalam berpikir tentang G-30-S, kita akan menemukan bahwa G-30-S bukanlah "suatu peristiwa" menurut pengertian Badiou karena peristiwa itu sedikit banyak merupakan hasil rekayasa ex post facto (dari sesuatu yang sudah terjadi). Dengan operasi-operasi perang urat syaraf rezim Suharto berdusta tentang cara bagaimana enam orang jenderal tersebut dibunuh (menciptakan kisah-kisah tentang penyiksaan dan mutilasi) dan tentang identitas para pelaku yang bertanggung jawab (menuduh setiap anggota PKI bersalah).
Gerakan 30 September tidak sama dengan revolusi Indonesia 1945- 1949, yang merupakan "peristiwa-kebenaran" (truth-event) bagi Sukarno. Revolusi itu bersifat terbuka dan umum. Jutaan orang mengambil bagian di dalamnya (sebagai gerilyawan, kurir, juru rawat, dermawan, dll.). Untuk menghancurkan prinsip rasial yang menjadi tumpuan pemerintah kolonial Belanda, revolusi tampil membela prinsip-prinsip universal pembebasan umat manusia. Sebaliknya, G-30-S adalah kejadian yang berlangsung cepat, berskala kecil, bersifat tertutup, dan masyarakat umum hampir tidak mempunyai pengetahuan langsung mengenainya. Hanya rezim Suharto saja yang mengaku mampu melihat kebenaran peristiwa tersebut. Dengan demikian rezim itu setia kepada sesuatu yang bukan peristiwa, kepada suatu fantasi yang dibuatnya sendiri.
"Kesetiaan kepada citra khayali [simulacrum]" tulis Badiou, "meniru sebuah proses kebenaran yang aktual," namun memutarbalikkan aspirasi universal tentang "peristiwa kebenaran" yang sejati. Ia hanya mengakui sekumpulan orang tertentu (misalnya orang-orang nonkomunis) sebagai peserta dalam kebenaran suatu peristiwa dan menciptakan "perang dan pembantaian" sebagai upaya membasmi siapa pun yang berada di luar kumpulan yang telah diakui tersebut.
Namun barangkali kita akan bertanya, apa pentingya mengulik kembali masa lampau? Bagi saya menjernihkan pemahaman kita pada sejarah bangsa sangatlah penting. Paulo Freire sebagaimana yang disitir oleh Hariyono dalam makalahnya yang berjudul "Kontroversi Sejarah Indonesia Distorsi Komunikasi yang Sistemik, bahawa ketika Sebuah Dialektika Tanpa Sintesa akan melahirkan historical anesthesia, masyarakat telah terbius dan tidak akan merasa ikut bertanggung jawab pada proses sejarah bangsanya.