Ditulis oleh Billy Al Sabil (Kader HMI Cabang Semarang Komisariat Untag)
Dasar Pikiran
Mengingat bahwa organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi perkaderan, perjuangan dan kemahasiswaan. Merujuk kepada tulisan karya kakanda (Prof. Dr. H. Agusalim Sitompul) yang berjudul 44 indikator kemunduran HMI suatu kritik dan koreksi untuk kebangkitan kembali HMI, bisa disingkat menjadi tiga pokok permasalahan yakni masalah internal, eksternal dan perkaderan. Oleh karena demikian melihat secara objektif permasalahan Himpunan Mahasiswa Islam Cabang semarang dalam periode terakhir ini mengalami kemunduran, dapat dirumuskan dalam tiga rumusan masalahan yakni masalah internal, eksternal dan perkaderan.
Masalah Internal HMI Cabang Semarang
Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Semarang sangatlah amburadul di internalnya itu sendiri. Faktor pertama disebabkan oleh keamburadulan di internal HMI cabnag semarang. Sedangkan kecatatan internal sendirinya dipengaruhi oleh faktor politik, faktor ketidaktauan dan faktor ketidakcakapan pengurus dalam menjalankan roda kepengurusan HMI cabang semarang. Dibawah ini saya akan mengurai ketiga faktor tersebut.
Faktor politik
Faktor politik menjadi pengertian bersama ialah (Gerbong) didalam kontestasi konfercab, hal ini setelah kemenangan ataupun terpilih sebagai formatuer dan mide formatuer, olehnya yang dapat menjadi personalia kepengurusan ialah yang kader-kader yang mendukung maupun menjadi tim kemenangan dalam kentestasi konfercab. Kenyataan yang terjadi ialah menjadikan kader sebagai pengurus tanpa dilihat dari kapasitas dan kapabilitas, menjadi dampak buruknya bagi kepengurusan ialah tidak jalannya program yang dirancang serta tidak mempunyai rasa tanggung jawabnya terhadap kepengurusan, karena menilai personalia pengurus ialah yang ber-hak masuk adalah kader yang mempunyai kontribusi dalam pemenang calon (deal-deal-an politik struktural).
Minimnya pengetahuan anggota pengurus terhadap fungsi cabang dan fungsi struktural
Semangat belajar kader HMI cabang semarang bisa diukur hanya dalam momentum formal saja. Artinya formalitas agenda yang ada akan melahirkan personalia kader yang minim pengetahuan akan sesuatu. Dalam hal ini, personalia dalam kepengurusan HMI cabang semarang kebanyakan tidak memahami dan mengetahui kedudukan dan fungsinya menjadi personalia pengurus HMI cabang semarang. Kondisi objektif di HMI cabang semarang periode akhir ini melihat personalia pengurus cabang semarang (bisa dikatakan bobrok) secara pemahamannya atas tugas dan fungsinya serta kebanyakan apologia (pembenaran), dan pada akhirnya akan berdampak buruk dalam kepengurusan dalam hal ini (vacum)
Ketidakcakapan pengurus HMI Cabang Semarang
Arah gerakan dan agenda HMI cabang semarang tidak mempunyai orientasi kepada perkembangan HMI cabang semarang begitupun dengan internal dan eksternal HMI cabang semarang. Dalam segi gerakan, bisa diukur totalitas pengurus HMI cabang semarang dalam membersamai gerakan di kota semarang. Entah itu dalam rangka merespon isu nasional maupun isu regional, bisa kita saksikan dalam konsolidasi besar-besaran di kota semarang, yang pastinya HMI cabang semarang selalu alpa di momentum konsolidasi.
Kondisi ini disebabkan oleh ketidakcakapan personalia pengurus, karena pengurus HMI cabang semarang tidak menempatkan dan diorientasikan serta dimaksimalkan antara kedudukan KABID yang domainnya di EKSTERNAL dan domain KABID yang bergerak di INTERNAL HMI cabang semarang, kondisi objektif yang terlihat ialah compang-camping. Terkadang kabid eksternal mengurus internal serta kabid internal mengurus eksternal. Oleh karena demikian pula tidak adanya kedewasaan dalam berkomunikasi sehingga dampak yang lebih buruk ialah saling BAPER antara pengurus.
Masalah Eksternal HMI Cabang Semarang
Masalah eksternal HMI cabang semarang ialah bisa didirumuskan pada tiga hal. Yakni tidak partisipatif dalam gerakan, tidak responsif terhadap pengkajian isu nasional dan isu regional serta tidak memiliki inisiatif dalam melebarkan sayap di perguruan tinggi yang belum ada kader HMI (bergening posisi HMI di perguruan tinggi).
Partisipatif dalam gerakan mahasiswa
Pergerakan HMI cabang semarang di lingkup kota semarang sangatlah kurang atas partisipasi dan keterlibatan secara langsung dalam konsolidasi maupun dalam membangun sebuah gerakan di kota semarang, beragam masalah yang terjadi di Kota Semarang yang banyak tidak disentuh oleh HMI cabang semarang. Sedangkan menjadi tugas dan fungsinya menurut Lafran Pane, HMI harus melahirkan kader yang punya kepekaan sosial. Dalam konteks Kota Semarang, HMI Cabang Semarang tidak memiliki kepekaan dan rasa empati untuk terlibat aktif menyelsaikan masalah sosial, entah masalah penggusuran maupun masalah perampasan ruang hidup.
Pengurus HMI cabang semarang tepatnya fungsi dan tugasnya KABID PTKP sebagai komposisi pengurus EKSTERNAL untuk mengoperasikan dan mendialogkan masalah yang ada di lingkup perguruan tinggi maupun di kalangan sosial dalam hal ini (Kota Semarang). Menjadi kewajiban penuh sehingga kita bisa mengekspos informasi berkaitan dengan keterbukaan data kepemirintahan serta bisa terlibat secara langsung dalam menyelesaikan masalah yang ada di Kota Semarang. Minimnya pengetahuan pengurus HMI cabang semarang serta kurangnya kepekaan sosial sehingga masalah yang berlarut dan cabang semarang tidak ikut andil.
Seharusnya kabid EKSTERNAL dalam hal ini yang berfokus kepada gerakan, pertama-tama langkah awal yang harus diambil ialah mengkaji dalam sudut pandang akademik. Karena HMI cabang semarang mempunyai jejarig alumni yang sangat banyak menjadi akademisi. Dalam hal ini menjadikan langkah awal sehingga dalam sudut pandang akademik jelas dan teruji secara teori, dengan demikian keterlibatan dalam konsolidasi dengan BEM SERA maupun di wadah GERAM, HMI cabang semarang mempunyai tawaran kongkrit dalam hal ini hasil kajian internal cabang.
Dampak positif untuk HMI Cabang Semarang ialah. Dipandang tidak remeh-temeh akan tetapi mempunyai kualitas. Keniscayaan framing yang terbangun di mahasiswa Kota Semarang ialah HMI Cabang Semarang mempunyai strategi dan taktik yang konkret dalam membangun sebuah gerakan.
Wacana gerakan HMI Cabang Semarang harus secara terus menerus didiaologkan entah di forum training maupun di luar forum training. Pentingnya kemassifan dalam membangun diskusi wacana gerakan baru HMI cabang semarang adalah upaya agar kader di lingkup HMI Cabang Semarang mempunyai pandangan umum mengenai arah gerakan dan harapannya keikutsertaan kader dalam sebuah gerakan (partisipatif).
Pengkajian Isu nasional maupun regional
Dalam melaksanakan gerakan sosial niscaya ditopang oleh paradigma yang komperehensif terhadap objek kajian. Kajian isu tidak di ukur dengan nilai kultural intelektual di HMI cabang semarang. Banyak anggota pengurus HMI Cabang Semarang yang tidak paham dengan problematika ummat terakhir ini. Baik di skala regional (Wadas) dan nasional yankni: RKUHP, naiknya harga BBM maupun masalah pelanggaran HAM lainnya.
Gerakan yang dibangun selama kepengurusan HMI cabang semarang periode 2022-2023 bisa dikatakan gerakan mengikuti pantat massa, karena pengurus HMI cabang semarang tidak mempunyai inisiatif dalam melaksanakan kajian isu sebelum melakukan pergerakan. Disisi lain penggurus HMI Cabang Semarang buta akan sumber daya manusia yakni KAHMI, baik yang berprofesi sebagai akademisi, harus dimintai pandangannya terhadap kondisi daerah dan negara saat ini. Melimpahnya sumber daya manuisa yang ada di KAHMI itu di abaikan oleh pengurus HMI cabang semarang
Masalah perkaderan.
Organisasi HMI berfungsi sebagai organisasi kader, kita bukan hanya saja berhenti di tataran definisi, kader itu apa? Dari bahasa apa? Akan tetapi lebih dari itu yakni makna sebagai kader itu apa sebenarnya? sering disampaikan oleh para senior di HMI, Kader HMI itu tidak ada kata TUMPUL, karena memang yang terjadi di HMI tidak ada yang mustahil, baik itu berpikir maupun merakit strategi, terlepas dari caranya baik ataupun buruk.
Perkaderan HMI harus dibicarakan kembali di tingkat Cabang Semarang, entah itu orientasinya kemana, dan tujuannya apa, yang terpampang di MMT di tiap perkaderahn HMI ialah orientasinya kepada (kesadaran) kader umat dan kader bangsa. Tipelogi mahasiswa sekarang sangatlah beragam dan harus ditelaah lebih dalam. Setiap manusia yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, tentu mempunyai motivasi yang berbeda-beda. Ditambah lagi arus hedonisme yang sangat deras, setidaknya harus menjadi semacam panduan khusus yang komperehensif sebagai pegangan tiap pengurus cabang maupun komisariat.
Upaya ada satu pandangan yang sama berkaitan dengan perkaderan HMI Cabang Semarang. Menurut penulis, perkaderan di HMI bukan otoritas penuh BPL, ia hanya mengelola latihan yang ada di dalam forum. Perkaderan adakah tanggung jawab moral tiap pengurus baik di cabang maupun komisariat. Bicara perkaderan bukan hanya saja bicara mengenai pengelolaan forum, namun harus ditunjukan sejak tahap pra latihan, contoh, memasifkan diskusi di lingkup kampus, baik itu diskusi ide maupun isu. Saya rasa, dalam upaya penjaringan, terlalu sektarian cara pandang kita kalau hanya tunggu di undang, semua harus terlibat, HMI back to campus.
Bukan hanya momentum politik saja, seharusnya kader yang akan diusung di setiap momentum politik kampus, ialah kader yang berkualitas, kepekaan sosialnya tinggi, masif dalam melakukan gerakan. Kesannya para kader HMI yang mendapatkan posisi di internal kampus kesannya hanya politik semata, tidak berdampak terhadap keseluruhan mahasiswa, apalagi kultur Dominasi secara kuantittas dalam struktur internal, corak praktik demikian sudah niscaya pandangan teoritisnya ialah, kuasai dulu baru bisa dikendalikan, masuk banyak-banyak dulu, baru nanti bisa kita atur mainnya. Kesannya hanya politis semata, praktik demikian niscaya tidak disepakati kebanyakan mahasiswa.
Tidak lebih penulis mengatakan, menjadi mahasiswa itu kewajibannya demo, diskusi dan baca, apakah setelah orang berkader di HMI itu, hanya kembalikan ke diri masing-masing? Entah itu aktif dan tidaknya, apakah itu hukum alam? Terlalu naif jika kita salahkan alam, penulis rasa tidak demikian, menjadi kader HMI wajib baca buku dan diskusi serta aksi. Orientasi perkaderan harus mengarah kepada perjuangan dan pergerakan (peka sosial), gerak tanpa di suruh itulah ciri kemerdekaan kader HMI.
Tanggung jawab individu ialah akdemis, karena bukan saja tanggung jawab terhadap HMI, melainkan juag tanggung jawab terhadap orang tua , HMI hanya memberikan apa yang mahasiswa tidak dapat di ruangan kelasnya, yakni pandangan lain terhadap jurusannya menjadikan pembanding terhadap teori yang mapan diajarkan oleh dosen, cara berpkir kader HMI sekarang bukan hanya berhenti terhadap benar namun juga harus tepat.
Niscaya tugas pengurus HMI sekarang ialah baca, diskusi dan aksi. Kampanyekan baca, ajak diskusia mahasiswa lainnya tanpa kita memandang dia dari latar belakang extra mana dan agama mana, saya rasa itu semua sudah di ajarkan oleh Cak Nur, perbedaan ialah anugrah Tuhan. Setiap pengurus baik itu komisariat maupun cabang, harus kembali meramaikan lingkup kampus yang hari-harinya di landa kesunyian, karena tidak adanya dialektika para pemuda dan mahasiswa, HMI hadir di rungan kampus, bukan di café, diskotik, ataupun PONDOK.
Internalisasi nilai yang ada di HMI terhadap kader bisa dikatakan terputus, dikarenakan tidak ada kemauan, malas membaca, malas berdiskusi. Hal demikian berdampak buruk bagi kepengurusan HMI cabang semarang hari ini. Menurut penulis tidak terlalu berlebihan mengatakan, seorang kader HMI menjadi personalia pengurus cabang ialah bukan ajang patantang-petenteng sana sini, namun ada mandat sejarah yang harus dilanjukan perjuangannnya.
Refleksi perjuangan di masa konsolidasi spritual, perjuangan ayahanda Lafran pane sangatlah membekas, karena menawarkan sebuah gagasan berupaya mendirikan organisasi, di masa berdirinya HMI pada tahun 1947, tidak kurang pula organisasi Islam di masa itu, baik itu PII dan kelompok islam lainnya seperti muhammdiyah dan nahdatul ulama. Saat ini pula tidak jarang pula oraganisasi islam, baik itu oraganisasi maupun komunitas.
Malapetaka bagi HMI Cabang Semarang jikalau tidak dikoreksi maupun di evaluasi total oleh para kader maupun alunmi. Mendialogkan tantangn HMI baik internal maupun eksternal, dan merasakan detak arah kemajuan dan kemunduran dalam berbangsa dan berislam hari ini, evaluasi total dilakuan guna mengoreksi internal HMI cabang semarang dalam membahas tiga hal yakni: internal HMI, politik perkaderan, dan gerakan. Kerana dalam membidik masalah yang telah menjalar di tubuh HMI cabang semrang hari ini, bukan hanya berhenti pada sebatas untuk menginterprestasikan masalah, melainkan harus merubah, perubahan akan terjadi syarat akan gerak, hukum sejarah. HMI ialah harus terus bergerak, amanah leluhur yang harus dilanjutkan, membahas sejarah bukan hanya saja menceritakan yang terjadi di masa lampau, namun harus lebih ditinjau dalam tiga dimensi yakni: masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang, dari mana kita, kita disini dan akan kemana.
Tidak jarang para alumni HMI yang menyarankan HMi untuk di bubarkan saja, kritikan itu datang dari tokoh sekaliber Nrcholis Madjid. Itu menjadi kritikan pedas yang harus ditanggapi dengan serius, penulis menangakap dari himbauan itu, hanya untuk mengoreksi total kader secara personalia, personalia kepengurusan HMI dan orientasi perjuangan HMI, mau kemana kita?, Mulai dari mana? Untuk menjawab partanyaan itu, terlebih dahulu kita harus buang rasa ego yang ada dalam diri pribadi kader. Karena itu adalah awal dari agenda koreksi dan evaluasi total HMI, tahap kedua ialah kita melacak dari mana sumber masaalah, kemudian dirumuskan dan memberikan solusi yang mutlak harus dijalankan, baik di tingkat pengurus cabang dan komisariat.
Masalah yang terjadi tidak mungkin hadir dengan sendirinya, namun ada penyebab yang punya keselarasan terhadap akibat yang nampak sampai hari ini, apakah masih penting HMI ada? Apa yang di punyai HMI? apa yang harus dilakuan oleh HMI hari ini? mau kemana HMI? kemana arah perjuangan HMI? apa masalah yang mau diselesaikan oleh HMI? sejauh mana HMI mengoreksi internalnya?. Semua pertanyaan itu mutlak harus dijawab dan diskusiakan secara terus menerus dan terus berbenah diri. Buang cara elitis dan superioritas, karena itu tidak menggabarkan ciri kader HMI, seperti apa yang dicontohkan oleh pendiri HMI, kesederhanaan panutan hidup, dan punya pendirian yang kokoh tampa ada komprmis. Sikap itu yang harus di contoh oleh seluruh kader HMI, karena bagi penulis, sebelum kita jauh dalam mencari nilai di HMI, mutlak harus di baca karya Hariqo Wibawa Satria, yang berjudul Lafran Pane. Di buku itu di tulis biografi lafran pane, pemikiran dan perjuangannya, lafran pane mecirikan kegigihan dalam perjuangan, sikap yang independen, baik itu secara etis maun organisatoris. Bagi penulis, wajib bagi seseorang yang baru berHMI untuk membacanya dan cara berpikir yang feodal ialah dasarnya melihat dari jabatan sesesorang sehingga mengungkung kebebasan berpikir dan berpendapat, dan itu niscaya menghambat kemajuan cara berpikir maupun peradaban.
Bagi penulis berproses di HMI ialah dengan modal semangat kemahasiswaan, kesilamaan dan keindonesiaan serta mempunyai motifasi yang kuat menjadi pegangan dalam menempuh sebuah proses, bukan hanya sekedar komitmen namun harus disertakan konsistensi. Mari kembali membuka mata dan membuka hati untuk HMI untuk kedepannya, baik dari tataran struktural maupun yang non struktural, bukan sesuatu yang mustahil untuk tidak bisa di rubah apa yang terjadi di HMI cabang semarang hari ini, di tangan kader HMI bisa dapat di rubah, maka perlu di-crosschek setiap personalia kader maupun mempertanyakan pada diri sendiri, apakah pantas kita mengakui diri sebagai kader HMI?
Mari kita membuka kembali buku-buku yang sudah usang menjadikan spirit perjuangan HMI saat ini, mari kita membuka kembali buku yang menceritakan biografi Lafran Pane. Mari kita membuka kembali buku yang menuangkan gagasan Lafran Pane. Mari kita membaca kembali gagasan yang di bangun oleh Cak Nur, penulis mengingat kata-kata dari tokoh pemikir jerman yang seolah-olah di kutuk oleh zaman yakni Karl Marx, “KETIDAK TAHUAN TIDAK AKAN MENYELAMATKAN SIAPAPUN” Iqro, bacalah, amatailah, pahamilah, yang terjadi di sekitaran kita, baik di tubuh HMI maupun di lingkup kampus.
Tulisan ini hanyalah sebuah keresahan penulis semata, atas kondisi yang terjadi hari ini di lingkaran para kader HMI cabang semarang, baik di lingkup komisariat maupun di tataran cabang, baik struktural maupun kultural. Tulisan ini tidak terlalu sistematis dan tulisan ini terkesan subjektif. Terlepas dari itu, penulis mengamati kondisi hari ini sangatlah berbanding terbalik dengan gagasan idealisme yang selalu di ajarkan di dalam training formal HMI. Tulisan ini mulai terbesit untuk dipublikasi pada saat atmosfer konfercab HMI cabang Semarang sedang memanas. Sebenarnya sebagai dasar pikiran salah satu calon, untuk menjalankan organisasi dengan dasar pikiran yang selalu didiskusikan tiap malam ketika waktu itu, jatuhnya hanya menjadi eksistensi keresahan semata. Semoga HMI cabang semarang kedepannya melahirkan para pemikir keislaman dan keindonesiaan serta kemahasiswaan yang sesuai dengan konteks zamannya, teruslah berbenah diri.
YAKUSA
Wassalam
Al SABIL
Editor: Samsul Bakri