Ditulis oleh Umarul Faruq ( Wakil Presiden BEM Unisvet, Fungsionaris Lembaga Pers Mahasiswa Islam)
Perjalanan Mencari Keadilan
Pada Senin 9 Januari 2023, Bidang Pemberdayaan dan
perlindungan Perempuan (PPP) BEM Univetsitas Ivet Semarang (Unisvet)
menyelenggarakan seminar yang bertemakan "Pentingnya Keadian Bagi Korban
Kekerasan Seksual”. Seminar ini diadakan
sebagai respon atas maraknya desas-desus kasus kekerasan seksual di kampus. Seminar
tersbut diisi oleh uraian secara komprehensif mengenai kekerasan seksual,
perbuatan apa yang termasuk dalam kekerasan seksual, hingga alur hukum yang jelas
bagi korban. Pokok dari seminar yang dibawakan oleh para pemateri adalah
melahirkan kesadaran dan keberanian dari korban untuk bersuara dan mengubah
paradigma atau cara pandang korban agar berani bersuara melawan fenomena
kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Dan benar saja, ketika diskusi seminar tengah berlangsung,
banyak audiens yang merupakan mahasiswa Unisvet berani untuk bertanya. Mereka
bertanya tanpa secara eksplisit mengatakan bahwa ‘bisa jadi’ merekalah subjek dalam cerita
atau pertanyaan yang diajukan. Pasca seminar, kami melakukan pendalaman atau
pun tidak lanjut dalam bentuk evaluasi dan bincang-bincang dengan kawan-kawan
yang ‘kemungkinan’ menjadi korban kekerasan seksual. Bentuk bincang-bincang
tersebut ternyata berhasil menggunggah emosi kawan-kawan kami untuk bercerita
mengenai pengalaman mereka sebagai korban kekerasan seksual dari seorang
birokrat kampus. Awalanya hanya satu dua orang saja yang berani untuk bersuara,
tapi kemudian angkanya membesar seperti sebuah efek domino.
Setelah kami mendengar laporan secara verbal dari
kawan-kawan yang menjadi korban, kami mendiskusikan langkah teknis guna
mengusut kasus ini dan mencari keadilan bagi para korban. Kami tahu bahwa
seringkali, gerakan mahasiswa melawan kekerasan seksual harus terhenti karena
kurangnya kematangan taktik maupun intervensi dan intimidasi dari birokrasi.
Oleh karena itu, kami meminta masukan dan arahan dari praktisi dan ahli hukum
dari LBH Semarang. Pertanyaan kami seputar langkah-langkah teknis guna
menyelesaikan persoalan ini. Langkah teknis yang kami ambil dibagi menjadi dua
langkah. Pertama kami membuka kanal aduan secara online. Kanal aduan ini kami
buka dalam bentuk google form sehingga privasi korban masih kami jaga. Dalam
kanal tersebut kami memuat pengalaman serta bukti-bukti kuat mengenai kekerasan
seksual yang dilakukan oleh seorang birokrat kampus yang berinisial S. Kedua,
konten yang terdapat dalam kanal laporan online tersebut kami jadikan bahan
untuk melapor kepada satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS)
di Unisvet.
Pada 12 Januari 2023, data dari kanal aduan kami bawa
sebagai laporan kepada satgas PPKS. Mulanya,
satgas PPKS merespon positif aduan yang kami ajukan. Mereka berjanji bahwa mereka akan menangani persoalan ini. Pada 16 Januari 2023, Satgas PPKS memanggil para
korban untuk dimintai keterangan sekaligus menvalidasi kebenaran konten dalam
kanal aduan yang kami buat. Selama beberapa hari, kasus ini sudah kami
limpahkan sepenuhnya kepada Satgas PPKS untuk mengusutnya. Pada 20 Januari
2023, Ketua Satgas PPKS Unisvet mengabari kami mengenai hasil rapat dengan birokrasi
kampus menetapkan bahwa tersangka berinisial S akan segera diberhentikan
sebagai pegawai di kampus.
Pada 30 Januari 2023, kami menghubungi Wakil Rektor II untuk
meminta SK pemberhentian sebagai bukti valid dan legal bahwa pelaku benar-benat
sudah tidak lagi menjadi pegawai di Unisvet. Kemudian beliau menjanjikan bahwa
SK tersebut akan segera keluar pada 6 Februari 2023. Akan tetapi, beliau
ingkar, karena pada tanggal tersebut SK pemberhentian Pak S belum juga
dikeluarkan. Beliau berdalih bahwa masih ada rapat lanjutan dengan internal
yayasan dan baru akan ada keputusan bulat pada 9 Februari 2023. Pada tanggal
tersebut kami diundang oleh Satgas PPKS. Di hari tersebut ada rasa haru dan
bahagia yang menyelimuti kami, karena di hari itulah buah perjuangan kami yang
mencari keadilan untuk kawan-kawan. Pertemuan diselenggarakan di salah satu rungan
gedung rektorat, lantai 3. Saat itu di dalam ruang ada perwakilan BEM, dua
korban, ketua satgas PPKS, pegawai yayasan, dan seseorang yang berpakain seperti
ulama.
Jujur pertemuan tersebut sangat melenceng dari agenda awal. Bukanya mendapatkan SK pemberhentian, kami malah diajak berdebat. Kami berdebat karena dalam pertemuan tersebut justru birokrasi kampus mencoba untuk membujuk korban agar memaafkan S sebagai pelaku. Bahkan agama mereka coba jadikan alat sebagai upaya untuk membujuk korban. Dia mengatakan bahwa Tuhan itu maha pemaaf. Agama melarang untuk menyimpan dendam dan beragam narasi lainya. Agama yang mulanya mulia, yang menjadi kompas untuk menjalani hidup pada kebenaran justru mereka pakai untuk melindungi seorang pelaku kekerasan seksual. Dan sekalipun Tuhan maha pemaaf, kawan kami yang menjadi korban bukanlah tuhan. Sekalipun dimaafkan, bukan berarti maaf tersebut tidak diikuti oleh sebuah konsekuensi. Harus tetap ada sebuah bentuk pertanggungjawabanya di dunia sebelum kita melibatkannya menurut sanksi agama. Ada hak dan keadilan yang belum terpenuhi bagi para korban jika sekiranya kita harus memaafkan pelaku dengan dalih agama. Belum lagi kita hidup sebagai warga negara yang diatur oleh hukum, maka dia juga harus dihukum sebagai pertanggungjawaban atas perbuatanya. Singkatnya, dimaafkan maupun tidak, harus tetap ada sanksi bagi seorang pelaku kekerasan seksual. Sebab, tidak ada jaminan bahwa pelaku tidak lagi mengulangi perbuatanya.
Ada dua narasi lagi yang menurut kami sangat konyol untuk diucapkan oleh birokrasi kampus. Pertama, saat kami meminta SK pemberhentian, dia berdalih bahwa SK tersebut tidak boleh diumbar. Jika kami ingin melihat SK tersebut, maka kami harus mendapat izin dari pak S sebagai orang namanya tercantung dalam SK pemberhentian. Kedua, mereka mengatakan jika kampus memecat Pak S sebagai pegawai maka sama halnya kami memotong pintu rejekinya. Mari kita bedah satu persatu narasi-narasi konyol pembelaan mereka. Pertama terkait SK yang tidak boleh kami lihat. Sependek pengetahuan kami, tidak ada larangan pada persoalan publikasi SK pemberhentian. Selain itu, yang menuntut agar Pak S dikeluarkan dari kampus adalah kami. Maka sebagai legalitas valid bahwa pak S sudah tidak lagi di kampus adalah terbitnya SK tersebut. Apalagi birokrasi kampus juga mengatakan, bukti bahwa Pak S dipecat adalah tidak terlihatnya Pak S di kampus. Jadi analogi yang dipakai birokrasi kampus seolah-olah, Pak S tidak berada di kampus adalah bukti dia sudah dipecat. Sungguh sebuah pembuktian yang sangat bodoh. Premisnya, ada di kampus berarti masih berstatus pegawai aktif, tidak terlihat dikampus berarti bukan pegawai. Jika kita luruskan, kira-kira apa beda seseorang yang gila misalnya dengan seseorang yang berpakain rapi yang sama-sama setiap hari berada di kampus? Apakah seorang gila bisa kita katakan sebagai dosen, mahasiswa, atau satpam hanya karena setiap hari datang ke kampus? Bagaimanapun, syarat atau unsur yang menjadi pembeda adalah validitas sah berupa adiministrasi. Jadi sekalipun orang gila setiap hari berada di kampus, dia bukanlah seorang dosen, satpam atau mahasiswa, karena secara administrasi dia tidak terdaftar sebagai di antara ketiganya. Sama halnya, seandainya Pak S sudah tidak terlihat di kampus akhir-akhir ini, bukan berarti dia sudah bukan lagi pegawai. Karena bukti yang paling kuat bahwa pak S telah dikeluarkan adalah namanya di hapus secara administratif sebagai karyawan di Unisvet. Dalam hal ini, kami meminta harus ada SK bahwa dia telah dipecat, bukan lagi soal ada Pak S atau tidak di kampus.
Lalu persoalan menghukum penjahat yang mereka anggap memutus pintu rejeki. Sangat konyol analogi seperti ini diucapkan oleh seseorang yang berpendidikan tinggi. Seorang yang melaukan tindak kriminal harus dimaafkan karena rasa kasihan. Bisakah seorang pembunuh dimaafakan setelah membunuh, kan kasihan jika dipenjara maka tidak ada lagi yang menafkahi keluarganya. Iya itu benar, kasihan. Tapi bagaimana dengan keluarga orang yang dibunuh tadi? Dan yang dibunuh merupakan seorang kepala rumah tangga. Anak dan istrinya harus kelaparan karena bapak dan suami mereka sudah mati. Oleh karena itu, orang yang bersalah harus dihukum sebagai bentuk keadilan bagi hak-haknya yang direnggut. Begitupun dengan kekerasan seksual, buang jauh-jauh narasi kasihan dan lain sebagainya. Selain itu, jika prihatin dengan nasib Pak S, apakah kalian tidak prihatin dengan nasib kawan-kawan kami yang hak hidup nyamanya direnggut oleh tindakan Amoral dari Pak S? Prihatin dan setia kawan mungkin sikap yang baik, tapi perlu dipertimbangankan dalam konteks apa perasaan tersebut lahir. Sangat memprihatikan jika rasa prihatin tersebut diberikan pada orang yang merenggut hak ruang kampus yang nyaman bagi kawan-kawan kami.
Di hari yang sama (9/02/2023), sore harinya terduga pelaku KS mendatangi seorang fungsionaris BEM Unisvet yang dikenal vokal dalam mengawal isu ini, sebut saja namanya Rama. Pokok tujuan dari Pak S untuk bertemu langusung tersebut adalah membujuk agar menghentikan pengusutan isu yang diperbuatnya. Pak S mengakui bahwa dia bersalah dan hendak meminta maaf secara langsung dengan para korbanya. Lalu dia juga berusaha merayu Rama untuk diam dengan pendekatan materi. Rama dijanjikan kuliahnya dibiayai sampai lulus, termasuk uang untuk kebutuhan hidup di Semarang. Tentu jika kita analisis, upaya mendatangi langsung bahkan upaya menyogok adalah simbol ketakutan atas perbuatan bejat yang telah dia lakukan. Tapi, tetap saja bagi kami, uang adalah nomor kesekian setelah moral dan kesetiakawanan. Tidak berhenti di sana, Pak S bahkan medatangi salah satu korbanya. Niat awalnya ingin meminta maaf, namun ketika permohonaan maafnya ditolak, Pak S mengancam dengan kalimat kurang lebih "kalo saya (pelaku) keluar (dipecat), maka korban juga keluar (DO)".
Sampai Kapan Kampus Melindungi Predator Kekerasan Seksual?
Jalan panjang telah kami tempuh untuk mencari keadilan bagi kawan-kawan kami yang menjadi korban kekerasan seksual. Bukti-bukti konkret sudah ada. Baik bukti jejak digital maupun bukti psikologis sudah bisa kami lihat. Akan tetapi kampus tetap seolah-olah berupaya untuk membela pelaku. Bukti paling nyata bahwa kampus berpihak pada pelaku terletak pada belum keluarnya SK pemberhentian sampai hari ini. Sudah lama kami dijanjikan bahwa SK akan dikeluarkan. Sikap yang lambat atas penanganan masalah ini secara tidak langsung merupakan sebuah bentuk belum berpihaknya kampus pada korban. Kampus seperti masih menganggap kekerasan seksual sebagai masalah kecil. kampus belum menjadi wadah yang mampu menaungi korban. Sudut pandangannya juga masih berpihak pada pelaku, alih-alih pada korban. Kadang kala, keadilan bagi korban masih disandingkan dengan nama baik kampus. Demi nama baik kampus, kejahatan seksual mereka sembunyikan dengan sangat bersih.
Tapi mau sampai kapan Unisvet akan seperti ini? Iming-iming dan janji yang mereka tawarkan pada kami saat penerimaan mahasiswa baru nampaknya hanyalah bualan kosong. Kampus yang harusnya gudang ilmu pengetahuan, pemikir dan ladang intelektual yang mengedapankan kemanusian ternyata dibuat busuk olah segelintir orang yang tidak memiliki hati nurani. Usaha-usaha kami untuk menjujung tinggi keadilan dan kebenaran justru tidak mendapat tanggapan positif dari birokrasi kampus. Jika kondisinya sudah seperti ini, maka perlu eskalasi dukungan publik dari khalayak umum untuk memberikan pendidikan moral bagi birokrasi kampus yang cabul. Kami sudah muak dengan janji bahwa persoalan ini cukup diselesaikan secara internal kampus. Silakan jaga dan makan nama baik kampus itu untuk kalian. Kami tidak perlu mendapat predikat yang baik jika isinya buruk. Telan dan simpan nama baik itu untuk kalian sendiri dan kami ingin mencari keadilan bagi kawan-kawan kami. Jika kampus tidak bisa mewadahi, maka kami siap untuk bergerak sendiri.