Ditulis oleh Samsul Bakri
Perlukah kepala desa diperpanjang masa jabatan dan
periodenya? Untuk memberikan sebuah justifikasi atau penilaian terhadap suatu
perkara, maka perlu untuk diurai alasan-alasan mengapa perlu dan tidak perlunya
perkara tersebut. Ulasan yang disampaikan dalam bentuk narasi maupun tertulis
hanya layak dinegasikan apabila narasi tersebut telah kita telaah. Setelah itu
tercitaplah sebuah dialektika yang berangkat dari wacana yang saling
menegasikan—dalam bahasa lain, negasi ke negasi adalah syarat yang melahirkan
dialektika—.Atau jika mengukuti alur berpikir dialektika Hegel, lawan bicara
pertama yang menyusun wacana adalah subjek yang melahirkan tesis, lalu penanggap dalam bentuk penolakan sebagai antithesis, output atau keluaran dari
keduanya akan melahirkan sebuah sintesis
atau penyusunan kembali untuk memunculkan pergerakan dinamis menuju perubahan
yang lebih baik. Alur tulisan ini akan seperti itu. Pertama saya akan mengurai
sebab-sebab dibalik munculnya wacana penambahan masa jabatan kepala desa dari 6
tahun menjadi 9 tahun. Kedua, adalah uraian saya dalam posisi menolak
alasan-alasan dibalik munculnya wacana tersebut. Dan ketiga diakhiri dengan menelaah
enigma (teka-teki) mengenai hubungan antara wacana tersebut dengan Pemilu 2024,
peran para oligark dan sedikit merumuskan langkah seperti apa yang sebaiknya
harus kita tempuh untuk mengatasi dampak negatifnya.
Alasan Megapa UU Desa
Perlu direvisi
Secara garis besar, dasar utama dibalik wacana atau tuntutan
terhadap penambahan masa jabatan kades berangkat dari asumsi yang sangat
sederhana dan sudah umum. Asumsi yng dipakai adalah ketidakefektifian sistem
pemerintahan desa karena sibuk pada urusan stabilisasi politik dan konsolidasi
politik. Stabilisasi poitik dimaksudkan pada pasca pemilihan kepala desa, sulit
bagi pihak yang kalah untuk legowo menerima
hasil pilkades yang memenangkan kandidat lawan. Ukuran waktu yang dipakai oleh
beberapa elit PDI-P adalah dua tahun pasca pilkades. Pada waktu itu, pemerintah
desa hanya disibukan dengan urusan sentimen, ujaran kebencian, hingga kekerasan
yang dilakukan oleh pihak kalah terhadap yang menang. Kemudian konsolidasi
politik dimaksudkan upaya dari kepala desa untuk melanggengkan masa jabatanya.
Menurut elit PDI-P, dua tahun menjelang pilkades, pemerintah desa disibukan
dengan membangun citra di masyarakat. Jika diakumulasikan, maka total
stabilisasi politik dan konsolidasi politik mengahabiskan masa jabatan selama
empat tahun pemerintahan desa. Dengan masa jabatan desa yang hanya enam tahun,
berarti hanya dua tahun pemerintah desa bekerja secara efektif, meningat empat
tahun sisanya dipakai untuk stabilisasi dan konsolidasi. Gejala yang seperti
itu tentu sangat buruk, mengingat banyak anggaran APBN yang dialokasikan
langsung ke desa. Jika kita rata-ratakan saja dana desa tiap tahunnya 70 triliun,
maka selama empat tahun, ada anggaran negara yang tidak efektif untuk
pembangunan sebesar 280 triliun. Maka menurut logika elit PDIP, sangat mendesak
agar segera di sahkanya revisi Undang-Undang Desa sebagai syarat memajukan negara
melalui pertikel ekstekutif yang palig dasar yaitu pemerintah desa. Dengan
bertambahnya masa jabatan menjadi 9 tahun maka ada waktu bagi pemerintah desa
untuk bekerja secara efektif selama 5 tahun, dengan asumsi 4 tahun sisanya
dipakai untuk konsolidasi dan stabilisasi politik.
Mengutip keterangan tertulis Sekretaris Jenderal PDIP Hasto
Kristiyanto dalam tempo.co (27/1/2023) revisi
UU Desa akan berdampak pada "
kualitas pemerintahan bisa ditingkatkan, dan stabilitas politik pun
meningkat," Lebih lanjut,
Hasto menyebut PDIP dalam sikap politiknya pada Kongres V Partai menegaskan
pentingnya membangun dari desa. Termasuk, menjadikan desa sebagai pusat
pertumbuhan kemajuan, desa pusat kebudayaan, di mana kearifan lokal hidup dan
penuh dengan tradisi kehidupan gotong royong. “Atas dasar hal tersebut, PDI
Perjuangan menegaskan pentingnya stabilitas pemerintahan desa”. Tidak berbeda
dengan itu, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal juga mengafirmasi
bahwa revisi UU Desa merupakan sebuah tuntutan dari akar rumput. "Pada
saat kunjungan kerja di berbagai daerah dan desa, muncul aspirasi bahwa untuk
menjaga kesinambungan pembangunan desa, para kepala desa membutuhkan waktu
tambahan jabatan karena masa enam tahun dinilai tidak efektif”
Bantahan Terhadap Alasan
Irasional
Mari kita membedah satu per satu alasan-alasan yang
dikemukakan tadi. Pertama adalah logika penambahan masa jabatan untuk
meningkatkan kualitas pemerintahan desa. Jika yang membaca premis ini adalah
mereka yang punya pikiran untuk menyusun logika, barang pasti ia akan tertawa
terbahak-bahak, atau pun mungkin miris hingga gemez. Mengapa demikian? Mari kita telaah premis tadi dalam logika
umum ke khusus. Pemerintahan desa tidak efektif karena banyak masa jabatan
habis untuk stabilisasi dan konsolidasi politik (sebagai premis mayor).
Indonesia memiliki banyak pemerintahan desa yang tidak efektif (sebagai premis
minor). Maka, perlu menambah masa jabatan agar pemerintah desa efektif
(konklusi/kesimpulan). Jika kita cermati, tidak ada pola berpikir runtut dalam
susunan premis umum-khusus ini. Tidak ada korelasi antara premis mayor dan
konklusi. Alur berpikir logis menyaratkan keeratan hubungan antara tiap-tiap
susunan premis atau pernyataanya. Masalah yang diangkat pada premis pertama
adalah banyaknya waktu menjabat yang terbuang percuma, sedangkan konklusinya
adalah menambah waktu menjabat. Pengambilan kesimpulan yang seperti tidak
melahirkan sebuah solusi, karena tawaran alternatif yang diberikan tidak
memiliki hubungan dengan substansi masalah. Sebab yang menjadi masalah bukan
pada persoalan durasi lama dan singkatnya masa jabatan, tapi ketidakdewasaan
dalam berpolitik. Solusi menambah masa jabatan hanya akan logis jika premis
awalanya adalah masa jabatan kepala desa masih dirasa singkat.
Saya ingin memberikan sebuah analogi yang kira-kira serupa
dengan alur berpikir elit PDI-P. Motor Y tidak bagus karena mesinya boros
mengonsumsi bahan bakar (sebagai premis mayor). Perusaahan Z memproduksi banyak
motor Y (premis minor). Maka, perusahaan Z menganjurkan konsumenya untuk
menambah alokasi pengeluaran mereka untuk bensin jika ingin memiliki motor Y (sebagai
konklusi). Percaya saja, perusahaan Y akan bangkrut dalam hitungan hari. Rumusan
masalahnya ada pada motor yang boros, maka konklusi yang benar harusnya adalah
berinovasi dalam menciptakan motor yang irit bahan bakar. Untuk mengoreksi alur
berpikir elit PDI-P tadi, maka akan berkesinambungan antara premis mayor dan
konklusi jika konklusi yang dihasilkan adalah memperbaiki faktor-faktor yang
membuat pemerintahan desa menjadi tidak efektifi. Dalam hal ini, premis
konklusi harus berfokus pada dua masalah, yakni pada tataran bagaimana
menstabilkan politik desa pasca pilkades dan konsolidasi politik yang tidak
memakan masa menjabat.
Dapat dikatakan juga bahwa menambah masa jabatan juga bukan
alternatif yang bijak—melainkan ‘bodoh’—sebab ditambah masa menjabatnya pun
tidak serta merta menghilang masalah substansi yang ada. Hitungan menjabat 9
tahun tidak menghilangkan 4 tahun ketidkstabilan politik. Memang secara
kalkulasi stabilnya politik bertambah menjadi 5 tahun, namun konotasi negatif 4
tahun tidak mengalami perubahan. Entah periodisasinya ditambah 100 atau pun
100000 tahun, ketidakstabilan politik dan konsolidasi politik akan tetap
mewarni demokrasi prosedural di desa. Maka sekali lagi, seharusnya fokus pada
perbaikan yang empat tahun tadi.
Anggapan pemerintah desa yang tidak bisa mengurusi urusan
internal pemerintahanya barangkali didasari oleh sentimen dan stigma
‘orang-orang desa kurang terdidik’. Ketika wacana ini dilempar, publik atau
masyarakat tidak perlu kajian mendalam untuk meyakininya. Fenomena ini, setahu
saya, berkorelasi dengan sifat dasar manusia yang sangat bias komfirmasi. Suatu
pernyataan akan diterima sebagai kebenaran, jika informasi itu selaras dengan
apa yang sudah diyakininya sejak awal. Dengan kata lain, jika kita sepakat
dengan wacana yang digulirkan segelintik elit partai terkait UU Desa, kita
mengonfirmasi anggapan orang desa sebagai subjek yang tidak terdidik dalam
politik. Dan saya juga lebih miris dengan beberapa kepala desa yang melakukan
demostrasi di Senayan beberapa hari lalu. Tanpa disadari, mereka sebenarnya
telah dihina oleh segelintir elit. Dasar revisi dan tuntutan mereka didasari
oleh anggapan desa yang tidak pandai politik, dan mereka bersuara lantang
mendukung revisi tersebut. Mereka yang menuntut UU Desa segera direvisi, secara
impilisit berteriak “kami menang tidak pandai berpolitik, kami bodoh!” Dan
tentu saja mungkin mereka sadar akan hinaan dan sikap menghina diri sendiri
tersebut, hanya saja, potensi berkuasa selama tiga tahun terlalu mahal hanya
untuk ditukar dengan harga diri. Mungkin.
Kekuasaan Panjang
Cenderung Otoriter dan Koruptif
Wacana penambahan masa jabatan sebagai jalan menciptkan
pemerintahan yang efektif adalah bukti pengabaian dan ketidaktahuan Hasto
terhadap fakta sejarah. Kekuasan yang panjang sebagian besar diiringi pula
dengan tindak korupsi. Korupsi dan kekuasaan memang ibarat dua sisi dari satu
mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya
kekuasaan merupakan "pintu masuk" bagi tindak korupsi. Inilah hakikat
dari pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge,
Inggris, yang hidup di abad ke 19. Dengan adagium-nya yang terkenal ia menyatakan:
"Power tends to corrupt, and
absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan
kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut). Pasca orde baru yang
sistem ekonominya sangat sentralistik, pola korupsinya juga bersifat sentral di
lingkaran kekuasan pusat, dalam hal ini Suharto and the geng. Reformasi yang melepaskan sistem terpusat melahirkan
bentuk pemerintah desentralisasi dalam bentuk otonomi daerah. Namun
desentralisasi tidak mengubah sikap koruptif pejabat lembaga negara. Korupsi
tetap ada dengan sifat yang desentran pula, dari tingkat atas sampai bawah
berlomba-lomba untuk korupsi. Dalam hal kasus tindak pidana korupsi yang
terjadi di tingkat desa, hingga tahun 2022 terdapat 686 kades yang terjerat
korupsi dana desa. Hal ini menunjukan bahwa dengan rentang masa jabatan yang
saat ini berlaku sepanjang 6 tahun sudah tercipta perilaku koruptif, dan
potensinya akan semakin tinggi jika masa jabatan diperpanjang. Sebenarnya, saya
kira tidak perlu menampilkan data statistik dan kajian yang selalu menampilkan
Indonesia sebagai negara paling korup di dunia. Sebab membuka mata saja, kita
sudah melihat dimana pun pasti ada perilku korup.
Dan sejauh ini, argumen yang dilontarkan oleh Hasto terkait
hubungan antara penambahan masa jabatan dan kualitas pemerintahan juga belum
mendapat legitimasi sejarah dan ilmiah.
Tentu kita ingat dua masa kepemimpinan negera kita di zaman orde lama
dan orde baru. Di masa orde lama, watak otoritarian Sukarno tercermin dalam
Demokrasi Terpimpin. Lawan politik diteror, DPR di bubarkan lalu membentuk DPR
Gotong Royong yang diisi oleh orang-orang yang loyal kepadanya. Sikap politik
patronase ini membawa konsekuensi jauh, bukan sekedar mengganti seorang anggota
dewan, tapi lebih dari itu, akan melemahkan fungsi kontrol legislatif. Jatuhnya kontrol yang kuat lembaga eksekutif
terhadap lembaga legislatif sama halnya mengubah negara demokrasi menjadi
negara monarki yang otoriter. Sebab negara demokrasi menyaratkan kontrol
kekuasaan eksekutif oleh legislatif. Demokrasi harus erat dengan daulat rakyat,
sebab legitimasi untuk berkuasa didapat dari kehendak rakyat yang mengangkat
mereka menjadi penguasa. Simbol yang menjadi bentuk pengawasan dan
pertanggungjawaban penguasa terhadap rakyat terletak pada legislatif, tapi
ketika legislatif diangkat secara serampangan dengan dasar loyal kepada
penguasa, maka mustahil mengharapkan suara mereka di Senayan sebagai suara
rakyat. Akhirnya, dengan itu suara Sukarno hampir tidak memperoleh perlawanan
dalam setiap kebijakan yang dia buat.
Watak pemerintahan yang
tidak terkontrol dan monopoli definisi
terhadap ‘baik dan buruk’ dalam kebijakan publik sebenarnya
mengembalikan bentuk kenegaraan kita kembali ke masa Eropa abad pertengahan
atau ekuivalen pula dengan masa mataram kuno. Pasca hilangnya tradisi Yunani
klasik yang lekat dengan metode logis dan rasional, bentuk pemerintahan di
negara kerajaan Eropa didominasi oleh dogma yang berbasis teologi. Dalam urusan
kerajaan, seorang raja disejajarkan dengan ‘tuhan’ di Bumi. Tindakan dan keputusan
yang dipilih raja untuk urusan publik dianggap keinginan tuhan, sehingga siapa
pun yang menentang akan dilabeli melawan kehendak tuhan. Walaupun kita paham
bahwa bukan agama yang salah, tapi monopoli tafsirlah sumber penyelewenagn atas
nama agama. Padahal, selama yang berbeda adalah tafsir, maka itu sebenarnya
bukan jadi masalah. Karena tafsir bagaimana pun juga hanyalah buah pikiran
manusia yang terbatas untuk menginteprestsikan kalimat yang terkadung dalam
kitab suci. Ketika tafsir satu pihak dia klaim paling benar, maka sama halnya
dia menganggap bahwa dialah yang mewakili pikiran tuhan. Seperti itulah yang
terjadi di negara-negara kerajaan Eropa abad pertengahan, sehingga tidak
mungkin ada mekanisme check and balance
di sana. Tidak jauh berbeda dengan itu, di masa Mataram Kuno, bentuk
pemerintahnya menganut paham raja yang bersumber dari adiduniawi. Artinya raja
dianggap bukan berasal dari bumi, melainkan titisan atau perwujudan dewa-dewa
yang ada dalam keyakinan hindu maupun budha. Rakyat yang melawan kehendak raja
juga dianggap sama halnya dengan melawan kehendak dewa. Jika bencana alam
terjadi, ada musibah kelaparan dan kondisi buruk lainya terjadi, raja tidak
berhak untuk disalahkan, karena nasib malang tersebut dianggap sebagai
kemurkaan dewa terhadap suatu kaum. Dan sebaliknya ketika ada berkah yang
mengahimpiri suatu daerah, seperti panen yang melimpah, kesehatan penduduk
membaik, tidak ada wabah penyakit dll, seorang raja tidak mendapat perlakuan
yang teramat istimewa. Karena mereka meyakini bahwa peruntungan baik tersebut
datang dari kebaikan hati dewa-dewa. Tidak heran ketika terjadi musibah buruk
maupun baik, bentuk penyelesaian masalah dan bentuk rasa syukur oleh rakyat
adalah mengadakan sesembahan dan ritual-ritual kepada dewa, bukan mendatangi
istana raja dan DPR.
Maksud dari uraian saya mengenai dua bentuk pemerintahan di
atas adalah sekedar menunjukan bahwa Demokrasi Terpimpin dari Sukarno secara
asas telah melenceng dari semangat demokrasi. Ketika pilar-pilar demokrasi
telah disatukan dalam satu kuasa eksekutif, ini sama halnya dengan membawa demokrasi sama dengan apa yang
terjadi pada negera kerajaan pra modern. Satu kisah dari bapak pendiri bangsa
kita setidaknya memberi sedikit gambaran bahwa masa berkuasa yang panjang
berpotensi untuk melakukan tindakan yang melawan konstitusi termasuk menjadi
otoritarian demi melanggengkan kekuasaanya. Dalam lingkup kuasa seorang kepala
desa, barangkali cakupanya kekuasan materilnya terlalu kecil untuk bertindak
sejauh apa yang pernah dilakukan oleh Sukarno di era Demokrasi Terpimpin. Tapi
potensi untuk otoriter dan melanggengkan kekuasaan bisa dijalankan dengan
menempatkan keluarga atau orang yang memiliki kedekatan emosional denganya.
Jadi sekalipun masa menjabatnya telah selesai, dia masih memiliki kontrol yang
bersifat implisit. Kontrol atas orang-orang yang masuk dalam struktur
pemerintahan desa bisa jadi berasal dari kekuasan materi yang dia pupuk selama
27 tahun. Tumpukan materi tadi berpotensi mengubah hukum atau mungkin melawan
hukum yang dibuat oleh otoritas negara. Asalkan hukum yang belum dilegalisasi
oleh otoritas negara tersebut sudah mendapat pengakuan dari masyarakat lokal
desa Dalam pengertian itu, menarik untuk menelaah tulisan Jurgen Habermas yang menegaskan bahwa legitimasi negara hukum
tidak hanya berasal dari prosedur hukum tetapi juga dari masyarakat. Baginya, orang
harus tunduk pada aturan hukum sejauh mereka telah berpartisipasi dalam
penciptaan hukum yang mereka akui tersebut. Sebagai rangkuman, legitimasi
adalah dasar di mana warga negara mengesahkan otoritas. Ini adalah substansi
yang memvalidasi kekuasaan. Otoritas dan kekuasaan dapat dijalankan tanpa
legitimasi. Namun, dalam hal kualitas dan efisiensi substansial, itu akan kalah
dengan yang berasal dari otoritas yang sah disertai prosedur yang benar.
Meskipun abstrak, tersebar, dan bahkan kontradiktif, rakyat adalah sumber
legitimasi utama dan setiap tindakan publik harus diarahkan kepada mereka.
Mungkin pembaca akan berpikiran bahwa ini tidak akan
berdampak signifikan bagi Indonesia toh desa itu cakupanya kecil. Tapi jika
kita berpikir secara mekanik, sebuah entitas yang besar pasti tersusun atas
partikel-partikel kecil. Entitas besar seperti negara bangsa Indonesia, jika
kita telah telaah pasti tersusun atas ribuan desa. Jika desa sebagai partikel
kecil mengalami kerusakan, barang pasti secara agregat, entitas besar yang
tersusun oleh mereka akan rusak pula. Perumpaan yang paling serupa mengenai
relasi antara desa dan negara mungkin bisa kita temukan dalam hubungan antara
baut-baut kecil pada rantai motor dan motor. Meskipun kecil, jika satu saja
baut itu terlepas dari rantai, maka motor tersebut akan kehilangan esensinya
untuk bergerak.
Sebuah Anomali
(Penyimpangan)
Saya setidak-tidaknya pernah terlibat dalam gerakan
demonstrasi. Setiap gerakan di jalan pastilah berangkat dari telaah dan kajian
panjang. Terkadang satu isu yang akan diangkat sebelum dibawa untuk diteriakan
di depan wakil rakyat memerlukan masa kajian isu hingga berhari-hari lamanya.
Jika masa kajian isu hingga hari gerakan turun ke jalan saya bagi, maka
terdapat tiga tahap di dalamnya. Pertama adalah kajian isu, yang seringkali
juga disebut sebagai masa konsolidasi. Pada tahap ini, delegasi dari berbagai
kalangan datang untuk memberikan pandangan. Buruh, mahasiswa, dan berbagai
elemen lainya diberikan ruang yang sama untuk berpendapat. Setelah
masing-masing dari delegasi memberikan pandangan yang selaras dengan bidang
keilmuannya, garis-garis besar gagasan lalu dikerucutkan dalam poin-poin
tuntutan. Tapi tentu alurnya tidak semudah itu. Seringkali perlu kajian isu
yang panjang, entah karena masa yang mengahadiri konsolidasi masih sedikit
maupun buntunya diskusi karena perbedaan terhadap respon isu yang dikaji. Tak
ayal, kajian isu bukan hanya persolan membahas masalah kebijakan publik, tapi
juga persoalan mengajak masa dan menyamakan frekuensi dari berbagai golongan.
Jika dua unsur tersebut sudah dipenuhi, kajian isu bisa dilanjutkan hingga
melahirkan poin tuntutan. Pasca poin-poin tuntutan sudah ada, mekanisme
selanjutnya adalah dikenal dengan akronim teklap (teknis lapangan). Pokok ini
mendiskusikan dua hal besar, perangkat aksi dan sasaran aksi. Perangkat aksi
berbicara mengenai struktur insidental pada satu gerakan, seperti menentuk kordinanator
lapanngan, tim medis dan lain sebagainya. Sedangkan sasaran aksi mau dikemanakan
poin-poin tuntutan yang dibahas dalam konsolidasi hendak dibawa. Setelah
Teklap, maka unsur-unsur untuk turun ke jalan sudah cukup. Berjam-jam
demonstran berteriak, berdiri, menahan panas dan letih demi menyampaikan
aspirasinya. Bukan hanya letif fisik, materi pun harus dikuras. Perlengkapan
aksi dari kebutuhan bersama hingga kebutuhan pribadi selalu menggunakan uang
pribadi.
Namun jalan panjang dalam proses demonstrasi tersebut tidak
pernah didengar oleh yang kami tuntut. Entah sudah berapa isu, mulai dari isu minyak
goreng, BBM, KUHP hingga Revisi Undang-undang KPK. Konflik kepentingan antara
tuntuan massa dan kepentingan orang-orang yang diuntungkan dibalik sebuah
kebijakan publik selalu dimenangkan oleh golongan di balik layar. Asas suara
rakyat sebagai suara tuhan digantikan menjadi suara oligark adalah suara
pemerintah. Legitimasi otoritas negara bukan lagi berlandasakan kehendak
publik, tapi kehendak segelintir. Tidak pernah saya melihat, masa menuntut atas
perubahan satu kebijakan lalu direspon positif oleh pemerintah serta DPR untuk menyetujui
tuntutan tersebut. Malah, dengan cara yang sangat halus, niat baik demonstrasi
dibentuk menjadi sebuah citra negatif di masyarakat. Misalnya saja, pasca
demonstrasi yang seringkali diangkat media adalah persoalan taman yang rusak
diinjak masa demonstran, kemacetan, hingga sampah yang berserakan. Tapi media
jarang mengangkat narasi dibalik kenapa demostrasi itu lahir. Seandainya
aktivitas media arus utama juga turut mengabarkan dampak kenaikan harga BBM
terhadap nasib nelayan kecil, tukang ojek dan pekerjaan informal lainya yang
mengandalkan BBM sebagai bahan dasar pekerjaanya, saya yakin akan ada narasi
berimbang di publik dalam menyikapi fenomena demonstrasi. Paradigma publik akan
terbawa pada dua arus, jalan raya macet untuk beberapa jam atau orang-orang yang
menggantungkan hidupnya pada BBM bersubsidi kelaparan? Dalam pertimbangan biaya
peluang, saya yakin mayoritas akan cenderung memilih untuk jalan raya macet dua
sampai tiga jam daripada opsi yang satunya. Sayangya narasi publik tidak
seperti itu. Tidak heran jika akhir-akhir ini demonstrasi dianggap sebagai
keonaran di masyarakat yang hidup hanya untuk sekedar mencari makan.
Anomali pada relasi antara demonstran, pemerintah dan DPR
terjadi pada kasus demontrasi yang dilakukan oleh kepala desa di Senayan 17
Januari 2023 lalu. Dengan cepat, pemerintah merespon bahkan menjanjikan bahwa
tuntutan terhadap Revisi Undang-Undang Desa (RUUD) akan segera disahkan. Watak
pemerintah dan DPR yang biasanya tuli terhadap aspirasi rakyat seketika terbuka
lebar. Bahkan, jika saya cermati, dalam website dpr.go id., serta website resmi
Kementrian Desa PDTT memuat narasi-narasi postif yang mendukung disegerakanya
RUUD. Mereka ingin membentuk pandangan sebagai pendengar yang baik atas
keinginan desa. Alurnya seolah-olah tuntutan atas revisi berasal dari rakyat.
Anomali ini meninggalkan bau busuk yang bisa tercium dengan mudah. Analisis
siapa yang diuntungan bisa dinilai secara kasat rasio. Asasnya pemerintah
hampir tidak pernah mengakomodir satu keingian yang datang dari kelas bawah,
lalu mengapa tuntun RUUD bak jalan tol yang diakomodir tanpa pertimbangan
panjang? Selain itu, bagaimana bisa mereka yang terlibat dalam demonstrasi
mengonsolidasikan massa secara cepat dan masif?
Bau Busuk Yang
Tercium
Anomali pada contoh tuntutan RUUD perlu ditelaah secara
kritis. Saya yakin, peristiwa ini terkait erat dengan kepentingan golongan
tertentu dalam menyongsong Pemilu 2024 nanti. Mereka ingin mempraktikan kembali
metode yang dipakai Golkar untuk melanggengkan kekuasan di masa Orde Baru. Ada
poltik balas budi yang coba dimainkan. Kepala desa diberi kekuasan lebih selama
27 tahun, lalu sebagai imbal balas budi, mereka harus memilih partai yang
memberikan mereka kekuasaan tersebut. Dalam sejarah bangsa kita, ini juga
dipakai oleh Suharto. Di masa Orde Baru, Korpri dan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI) menjadi komponen penting pendukung Golkar. Kepada
semua pegawai negeri, pemerintah menanamkan bahwa tiada pilihan kecuali Golkar
dalam Pemilu. Siapapun pegawai negeri yang tidak memilih Golkar, maka “azab”
dari pemerintah akan perih baginya. Banyak cerita sedih soal PNS yang diketahui
memilih selain Golkar. Hukuman mereka biasanya dimutasi ke “daerah buangan.” Biasanya
tidak hanya para PNS, tapi juga anggota keluarga mereka. Pada 1993 jumlah PNS
sekitar 3,95 juta personel. Maka bayangkanlah seberapa besar perolehan suara
Golkar jika tiap PNS bisa menarik 2 hingga 6 pemilih ketika Pemilu; entah dari
istri, anak, orang tua, maupun kerabatnya. Pada zaman itu banyak keluarga PNS
dan ABRI yang percaya bahwa Golkar lah yang memberi makan mereka. Bahkan di
masa itu, misalnya, ada istilah Beras Golkar di kalangan keluarga PNS dan ABRI.
Dengan pola pikir sama, bayangkan bagaimana besar pengaruh kepala desa jika
dia, keluarga, dan orang-orang dipengaruhinya memilih satu partai yang sama? Tentu
akan sangat masif. Hal ini akan membawa kita pada potensi berkuasa yang
dihegemoni oleh satu partai. Meskipun kita menganut sistem multi partai, jika RUUD
ini dilanjutkan, ada kemungkinan kita akan sama seperti sistem yang ada di
negara-negara satu partai, yang biasanya hanya berlalku di negara komunis.
Persoalan lain yang penting untuk ditelaah adalah, siapa
yang menggerakan kepala desa sebanyak itu? Dan bagaimana pola konsolidasinya? Menginggat
masa yang sangat beragam dari pelosok Indonesia, tentu perlu biaya yang besar
pula untuk terbang ke Jakarta. Untuk menjawab itu, ada potensi oligark dan elit
yang bermain. Jeffrey A. Winters dalam magnus opus-nya yang berjudul Oligarchy memaparkan bahwa oligarki
memiliki potensi untuk mendesain wacana publik dengan menggerakan massa. Masa
yang digerakan tidak lain untuk mendukung satu kebijaka publik yang mampu
menguntungkan mereka. Bahkan dalam satu wawancara dengan seorang oligark di
Indonesia dia mengatakan tidak sulit untuk menggerakan ratusan ribu masa untuk mendukung
atau menentang suatu kebijakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Kekuasan
materil yang besar dari para oligark memiliki efek pada tataran kemampuan
memobilisasi individu dan masyarakat yang kekuasan materinya lebih kecil.
Mobilisasi massa tersebut dalam konteks demontrasi sama halnya membeli hak
politik warga negara. Karena persoalan kebijakan publik dalam tataran politis
tidak lagi lahir dari pandangan pribadinya melainkan didesain oleh kuasa materi
dari para oligark. Dengan demikian, pemahaman atas oligark dan oligarki bermula
dengan pengamatan bahwa ketidaksetaraan material ekstrem menghasilkan
ketidaksetaraan politik ekstrem. Dua hal tersebut merupakan temuan bahwa negara
demokrasi tidak akan benar-benar menjadi negara demokratis jika terdapat
ketimpangan material yang ekstrem.
Sebagaima juga, pada 1878, de Laveyel menulis bahwa “para filsuf dan
pembuat hukum zama dulu tahu benar, berdasarkan pengalaman, bahwa kemerdekaan
dan kesetaraan politik hanya bisa ada ketika didukung kesetaraan kondisi”.
Tidak mengherankan jika oligarki banyak ditemui di negara yang ketimpangan
ekonominya tinggi, seperti di Indonesia saat ini.
Watak oligarki didorong oleh satu motivasi, yang dalam
bahasa Winters disebut dengan “teori mempertahankan kekayaan”. Ringkasnya
tindakan yang dilakukan oligarki didorong oleh semangat menguasai dan
mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk
mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosialnya secara
eksklusif. Kita bisa menarik konklusi bahwa ketika demonstrasi sudah disokong
oleh oligark, kemungkinan besar, demonstarasi tersebut secara substansial mampu
mempertahankan kekayaan mereka. Menjawab pertanyaan pada awal tulisan ini, maka
sebaikanya RUUD tidak perlu dilakukan. Secara jelas saya uraikan, bahwa tidak
ada dasar logis dan rasional untuk merevisi Undang-Undang Desa. Sekalipun di
revisi yang diuntungkan bukanlah masyarakat desa, tapi hanya perangkat desa
yang diperalat oleh ellit partai dan para oligark.
Yang Harus kita
Lakukan
Sebagai kader Himpunan Mahasiswa Islam, yang sudah dilantik
untuk memegang nilai-nilai keislaman-keindonesian, dan juga kemahasiswaan sudah
tentu menjad tanggung jawab moral untuk ikut terlibat menyumbangkan suaranya.
RUUD, bagi saya pribadi sangat bertentangan dengan ketiga asas yang dipegang
oleh kader HMI. Tulisan sederhana dengan alur yang mungkin ‘belepotan’ ini hanyalah pemantik awal
bahwa banyak kebijakan publik yang perlu kita telaah, karena bertengan dengan
asas ideologi yang kita pegang sebagai kader. Sebagai pengingat kembali, bahwa
harapan satu-satunya dari Lafran Pane dari HMI adalah melahirkan intelektual
muslim yan peka terhadap kondisi sekitarnya. Tujuan berHMI bukan untuk menjadi
Ketum PB, BPL, Cabang, maupun Komisariat. Jabatan struktural hanyalah alat
dalam ber HMI, bukan tujuan. Adapun tujuannya dalam praktik yang paling kecil
bisa kita implementasikan dengan menampilkan sosok kita yang vokal dan
berpengetahuan untuk membedah realita, apakah realita dan ideal terdapat
kesesuaian. Jika realita sudah tidak lagi berkesuaian dengan asas keindonesian
dan keislaman, di sanalah wujud kader kita tampilkan dengan memberikan
sumbangsih sekecil apa pun itu. Entah dengan tulisan, diskusi dan yang paling
konkret demonstrasi. Jika kita terus diam seperti ini, maka baiknya HMI
dibubarkan saja, seperti apa yang disampaikan oleh Lafran Pane. Sebelum
meninggal, ia menulis ketika ketidadilan ada dimana-mana, dan kader HMI sudah
tidak peduli, maka tidak ada alasan lagi untuk tidak membubarkan HMI. Saya lupa
kalimat persisnya, tapi kurang lebih seperti itulah kalimat yang disampaikan oleh
Bapak ideologis kita.