Ditulis oleh Billy Al-Sabil
Secara umum pelecehan seksual adalah tindakan yang merendahkan
harkat dan martabat manusia Gerakan hastag di era teknologi ini menjadi efektif
untuk mengampanyekan bahaya akan tindakan pelecehan seksual. Metode gerakan
hastag di era teknologi sudah lama di
lakukan oleh aktivis perempuan di amerika serikat di tahun 2006. Digagas oleh
aktivis yang bernama Burke, gerakan ini dimulai dari kebencian terhadap
laki-laki predator yang melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap ibunya.
Gagasan #metoo menarik simpatik para pemerhati media sosial di amerika serikat,
lebih-lebih korban yang jauh-jauh hari terbungkam. #metoo menjadi simbol
perjuangan para korban yang sudah berani berbicara secara serentak di media
sosial. Diawali dengan terjadi pelecehan seksual di dunia perfilman amerika
serikat, puluhan artis yang mengaku dirinya di lecehkan oleh para predator
perfilman, kemudian mereka mencurahkan pengalamannya di media sosial Twitter,
dan di ikuti oleh para followernya untuk dibagikan. Akibatnya, terjadi booming di media sosial twitter, dan
mempengaruhi aparat penegak hukum di Amerika Serikat, serta mempengaruhi kebijakan
politik di negara tersebut.
Hastag metoo cepat merambat di tiap negara, baik negara maju
maupun negara berkembang, Jepang, Kanada, Pakistan, Italia dll. Di Pakistan
90% perempuan menjadi korban pelecehan seksual, baik di instansi militer dan
eksekutif. Yang paling parah yakni pelecehan seksual dilakukan oleh petinggi
militer terhadap perempuan pakistan. Perempuan yang menjadi korban bungkam dan
tidak berani bersuara di media sosial, lapor di pihak penegak hukum tidak di
layani secara serius, dan menganggap pelecehan seksual tersebut di sebabkan
ulah perempuan itu sendiri. Di lain hal ada relasi kuat kekuasaan petinggi
militer terhadap aparat penegak hukum Pakistan. Negara Pakistan sama dengan
indonesia, yang dimana masih menganggap sepele berkaitan dengan pelecehan
seksual, bagi saya peduli terhadap manusia itu tidak diam meminjam kata rene
Descartes aku berpikir maka aku ada, dan saya mengatakan aku share maka aku ada
dan bersolidaritas.
Gerakan metoo belum terlalu dikenal luas di Indonesia,
karena dipengaruhi oleh cara pandang menganggap enteng pelecehan seksual.
Masyarakat kita masih mengucilkan korban, dilihat dari segi pakaian, dilihat
dari lingkungan, orang yang tertutup secara pakaian pun hari ini rentan menjadi
korban pelecehan seksual. Kondisi objektif di lembaga-lembaga agama hari ini,
marak terjadi pencabulan, pemerkosaan, itu membantah bagi yang mempunyai cara
pandang berdasarkan pakaian.
Garakan metoo menjadi metode efektif dan teruji secara
penerapan di media sosial dengan syarat bersolidaritas dan saling mendukung
satu sama lain, dan terhindar dengan penyakit apatis. Pelecahan seksual bukan
perkara privat tapi perkara publik, dalam cara pandang hukum pun pelecehan
seksual ialah perkara hukum publik, bukan perkara hukum privat. Niscaya harus
di-publish untuk menunjukan bahwa di
lingkungan tersebut atau pun lembaga tersebut telah terjadi kejahatan
kemanusiaan. Lebih-lebih di perguruan tinggi, mahasiswa tidak boleh berlagak sok tidak tau terhadap kedudukan
pelecehan seksual, karena mereka rentan menjadi korban pelecehan seksual. Maka
dari itu perlu untuk dipelajari dan dikaji oleh mahasiswa, karena mereka banyak
waktu luang dan kesempatan untuk belajar, berdiskusi, dan bergerak aksi.
UUTPS Belum Efektif
Indonesia sudah mempunyai payung hukum berwujud
Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS) dan memakai sudut
pandang korban, ditekan untuk melindungi korban. Sebelum hadirnya UUTPKS,
korban pelecehan seksual tidak mempunyai payung hukum untuk menjadi dasar mereka
dalam melapor para predator. Meskipun demikian, akhir-akhir ini pelecehan
seksual tetap marak terjadi di kalangan perguruan tinggi. Hal ini tentu kontradiktif dengan cita
pendidikan, baik di tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Saya rasa hal
ini tidak mengagetkan, karena masih kuatnya pola pikir relasi kuasa antara guru
dan murid, birokrasi dengan mahasiswa(budak vs tuan). Di berbagai lembaga dibentuk
untuk menunjang pemberlakuan uutpks, guna efektif pemberlakuan di kalangan
masyarakat, bahkan di lembaga yang kita anggap mereka ialah orang yang cakap
dan menguasai UUTPKS. Syarat akan kompromis dan cenderung merugikan korban,
yang akhirnya serampangan dalam praktek, hal ini di karenakan bukan perkara
mudah dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual.
Guna mengatasi persoalan tersebut, maka perlu memakai cara pandang interdisipliner, artinya bisa ditinjau secara psikologis, biologis, tidak bisa hanya memakai cara pandang yang
tunggal sebagai paradigma berpikir. Lebih-lebih Corak berpikir feodalisme di
dunia pendidikan sangat kuat dan menjamur di birokrasi kampus, tidak jarang
memakai cara intimidasi terhadap korban guna membungkam kejahatan yang
merendahkan harkat dan martabat sebagai manusia. Pihak aparat penegak hukum pun
kebanyakan tidak paham kedudukan UUTPKS sebagai undang-undang khusus. Hal ini
dikarenakan kurangnya sosialisasi di dunia perguruan tinggi oleh pihak legislatif
maupun eksekutif dan dana operasionalnya banyak dikorupsi, akhirnya mandek
dalam pelaksanaannya.