Oleh: Samsul Bakri
Hingga hari ini, salah satu masalah utama yang masih terus menjadi pokok pembahasan kementrian keuangan adalah bagaimana cara meningkatkan penerimaan pajak dari masyarakat. Setiap tahunnya, angka dan tabel-tabel statistik pajak selalu memperlihatkan ketidaksesuain antara target dan realisasi pajak. Beragam upaya yang ditempuh untuk mengatasi masalah ini seolah angin lalu yang tidak berdampak pada signifikan pada target penerimaan pajak negara. Mulai dari pengampunan pajak hingga beragam insentif lainya belum memperlihatkan mamfaat yang berdampak pada meningkatnya kepatuhan membayar pajak masyarakat.
Paling terbaru, strategi kementrian keuangan guna meningkatkan penerimaan pajak terangkum secara komprehensif dalam UU No. 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Penulis ingin mengulas satu dari sekian banyaknya insentif bagi wajib pajak (WP) yang terdapat dalam uu tersebut. Secara subjektif, fokus yang akan penulis angkat adalah pasal 31E yang memuat bahasan terkait pengurang Pph final pada UMKM. Pada pasal tersebut, UMKM yang memiliki penghasilan bruto dibawah 500 juta rupiah tidak akan dikenai pajak. Jika penerimaanya adalah diatas 500 juta, maka penghasilan yang terhitung kena pajak hanya nominal diatas 500 juta. Jika seorang pelaku UMKM meniliki penghasilan bruto 700 juta rupaih, yang dikenai pajak hanya yang 200 juta. Itu pun, persentase kena pajak hanya 0.5%, lebih rendah 50% dari besaran sebelumnya (1%).
Jika menelisik perdebatan yang melatar belakangi lahirnya peraturan ini barangkali orang-orang dan para ahli ekonomi yang terlibat berangkat dengan asumsi pajak yang terlalu tinggi membuat UMKM enggan untuk membayar pajak. Jadi agar orang-orang pelaku UMKM mau membayar pajak, maka harga pajak harus dibuat murah. Sama seperti asumsi seorang pedang cilok ketika frustasi karena daganganya tidak laku. Sehingga agar ada yang minat membeli daganganya, maka dia akan menurunkan harganya. Secara teori ekonomi mikro, iya, alur berpikir seperti tadi sangat rasional. Harga murah akan meningkatkan permintaan.
Sayangya asumsi tersebut sangat naif jika terapkan pada pajak. Menurunkan persentase pendapatan penghasilan kena pajak pada UMKM tidak secara langsung akan meningkatkan penerimaan pajak dari mereka (pelaku UMKM). Asumsi menurunkan harga cilok sehingga permintanyaa tinggi tidak berlaku pada kasus pajak. Pajak berbeda, sangat kompleks, variabel yang berpengaruh bukan hanya persolan harga (persentase pajak), tapi ada banyak faktor x lain yang bermain.
Dukungan empiris terhadap pernytaan penulis tadi di dukung oleh studi yang dilakukan oleh Novikasari (2021) dengan objek penelitian adalah perilaku kepatuhan membayar pajak pelaku UMKM di D.I. Yogyakarta tahun 2017-2019 (sebelum dan sesudah PP No. 23 Tahun 2018). Temuanya adalah, variabel turunya tarif pajak (dari 1% menjadi 0,5%) tidak terlalu signifikan terhadap kewajiban perpajakanya. Sebab, pasca berlakunya aturan tersebut, masih ada 209.000 atau sebanyak 83,5% dari total pelaku UMKM di Yogyakarta yang belum terdaftar sebagai wajib pajak dan tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Fani Inasius (2018) memperlihtakan bahwa variabel penting yang memengaruhi kepatuhan pelaku UMKM membayar pajak justru dipengaruhi oleh pemahaman mereka tentang pajak. Pemahaman akan peran dan fungsi pajak akan melahirkan kesadaran individu WP dalam menunaikan kewajibanya (Hajawiyah, 2021). Nantra Saad (2014) juga menemukan bahwa tingkat keputuhan membayar pajak ternyata dipengaruhi oleh dua variabel penting, yaitu pengetahuan mengenai pajak dan alur administrasi pembayaran pajak yang simpel. Dua variabel ini signifikan terutama di negara yang menganut self assesment system (SAS) seperti Indonesia.
Karena penekanan besarnya terdapat pada itikad baik WP, maka penegetahuan mengenai pajak dan cara pembayaran yang tidak berbelit adalah senjata ampuh untuk meningkatkan partisipasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pajaknya (Loo, 2014). Kemudian, rendahnya kontribusi pembayaran pajak dari UMKM juga didorong oleh pembukuan keuangan yang buruk. Padahal, dengan SAS, pembukuan keungan merupakan variabel sentral yang menjadi pedoman dalam menentukan besaran pajak. Jika pembukuan buruk dan ditambah dengan perilaku menghindari pajak dari seorang WP, maka sangat sulit untuk berharap penerimaan negara dari pajak UMKM akan meningkat.
Tentunya untuk menguraikan penyebab dari rendahnya partisipasi pajak dari masyarakat, khususnya UMKM, akan ada banyak variabel yang bisa penulis masukan. Namun penulis akan fokus pada rumitnya alur administrasi pembayaran pajak dan pembukuan keuangan UMKM . Penulis memiliki gagasan yang akan ditawarkan guna mencari jalan keluar dari persoalan pelik ini.
Pertama, dalam urusan mempermudah administarsi perpajakan, pemerintah telah mengambil beberapa langkah strategis. Dalah hal ini Direktoral Jendral Pajak (DJP) telah melakukan beragam upaya, seperti e-filling, e-registrasion dan beragam langkah lainya. Namun, yang menjadi kendala adalah, sistem tersebut bergantung pada teknologi. Sedangkan objek yang menjadi sasaran tersebut adalah UMKM kecil misalnya, yang sudah menjadi pengetahun umum bahwa UMKM banyak diisi oleh masyarakat yang belum melek terhadap teknologi. Oleh karena, itu tidak heran bila beragam program online tersebut belum kita lihat dampaknya hingga hari ini. Karena antara alat yang diperdayakan dan objek sasaran tidak memiliki keserasian. Sehinga menurut penulis, strategi dan langkah taktis yang dilakukan perlu sedikit perombakan.
Dalam jangka pendek, perlu sosialisasi secara langsung terhadap pelaku UMKM. Pemerintah perlu berkabolarasi dengan asosiasi UMKM di daerah-daerah. Orientasi dari kolaborasi tersebut adalah membumikan nilai-nilai administarsi perpajakan secara online. Perwakilan dari setiap asosiasi dan pegawai pajak kemudian secara berkelanjutan dalam jangka pendek akan melakukan pendampingan intensif secara langsung pada anggota UMKM yang tergabung di tiap-tiap asosiasi di daerah. Artinya ada upaya penyebaran informasi dan teknis dari akar rumput. Dari UMKM kepada UMKM.
Langkah tersebut menurut penulis penting karena pola penyebaran informasi melalui pamflet instagram, facebook, website, televisi dan influencer kurang tepat. Sebab, seorang pedagang bakso lebih banyak menghabiskan waktunya di warung dan di pasar untuk membeli bahan-bahan membuat bakso yang enak. Ketimbang melihat postingan intagram dan facebook. Jadi agar tepat, perlu upaya untuk mengahampiri mereka (pelaku UMKM) secara langsung dalam promosi kebijkan. Yang perlu digaris bawahi adalah, penulis tidak menapik pemberdaayaan teknologi dalam mempermudah adminstrasi perpajakan, namun pemamfaatan teknologi tersebut terlebih dahulu harus diberikan pemahaman secara teknis. Agar antara kebijakan dan sasaran kebijkan memiliki keserasian.
Kemudian masalah pembukuan yang belum tertata pada umkm. Pemerintah dan Bank Indonesia sebenarnya sudah memiliki beragam sistem yang mampu mendukung UMKM untuk melakukan pencatatan keuangan secara profesional dan modern. Bank Indonesia misalanya, menghadirkan aplikasi mobile akuntansi keuangan SIAPIK yang memungkinkan UMKM untuk mencatat transaksi keuangan, sekaligus menghasilkan laporan keuangan digital secara otomatis. SIAPIK juga dilengkapi dengan Pedoman Literasi SIAPIK, sebagai modul sosialisasi, pelatihan dan pendampingan terstandar yang juga memenuhi persyaratan lembaga keuangan untuk keperluan analisis kredit. Jadi selain meningkatkan penerimaan pajak melalui pencatatan keuangan, aplikasi ini bisa dikatakan juga membantu UMKM untuk memperoleh pendanaan dari kreditur.
Namun lagi-lagi masalahnya sama dengan alur administrasi pajak tadi. Keduanya sama-sama melalui pipa teknologi. Sehingga solusinya sama, perlu sosialisasi secara langsung. Kemudian untuk meningkatkan partisipasi UMKM dalam memamfaatkan fitur-fitur pembukuan online dari pemerintah dan BI tadi, perlu ada arsitek yang mampu membuat UMKM terdaftar secara otomatis. Argumen ini penulis didorong oleh buku Nudge yang ditulis oleh Richard H. Thaler, seorang peraih nobel ekonomi. Dengan memanfaatkan bias kognitif yang ada pada manusia, Thaler berhasil menyusun teorinya dengan baik. Ia menjelaskan bagaimana sebuah rancangan desain perilaku dapat memberikan efek pada tiap keputusan seseorang. Pada suatu kasus dia menggambarkan tingkat partisipasi pekerja yang ingin mendaftar asuransi hari tua pada dua perusahaan yang berbeda. Satu perusahaan, karyawanya didaftarkan secara otomatis dan persyaratan admistarsi rumit dan lain sebagainya diatur oleh perusahaan.
Sedangkan satu perusahaan lainya, pendaftaran pada asuransi hari tua atau tidak diserahkan secara langsung pada karyawan. Pendaftaran dan lain sebagaiinya diserahkan pada karyawan. Hasilnya yang didaftarkan secara otomatis lebih banyak mendaftar asuransi hari tua. Hal ini dikarenakan bias manusia menyukai hal yang mudah dan tidak rumit. Dari buku ini, penulis merasa, dapat diaplikasian bagi para pelaku UMKM untuk terdaftar secara otomatis di sistem SIAPIK misalnya. Dengan berkoordninasi dengan Kementrian UMKM, data mereka ada di daftar secara otomatis dalam fitur tersebut.
Upaya pemerintah untuk menurunkan tarif pajak pada UMKM merupakan langkah yang baik, namun agar efektif, perlu dibarengi berbagai upaya lain yang juga mengahambat kesadaraan masyarakat dalam membayar pajak. Tujuan akhirnya adalah harapan kita bersama membangun negara melalui optimalisasi penerimaan pajak dapat tercapai