Dalam kurun waktu tujuh hari terakhir ini, Kota Semarang
menjadi salah satu episentrum liputan media. Bukan karena Ganjar Pranowo yang
diisukan bertengkar dengan elit PDI-P. Bukan juga karena survei bayaran yang
menampilkan Pak Ganjar sebagai sosok yang paling diinginkan publik sebagai
Presiden 2024 nanti. Pemberitaan media tentang Semarang justru banyak
menampilkan bencana alam banjir.
Bagi Kota Semarang sendiri, kuhusnya wilayah utara kota ini,
banjir sudah seperti ritual tahunan. Selalu
datang menjumpai. Tentu jika banjir adalah masalah: kenapa sampai sekarang
belum bisa diselesaikan? Orang bijak bilang “pengalaman adalah guru terbaik.”
Maknanya, kita bisa belajar dari kesalahan masa lalu agar di esok hari tidak
terjadi kesalahan yang sama. Jika saya terlambat masuk kuliah karena tidur
larut malam, maka esoknya saya akan tidur lebih awal agar masuk kelas tepat
waktu. Jika hari ini ada banjir, maka kita akan belajar agar esok banjir tidak
lagi ada.
Kota Semarang seperti tidak mengamini quote bijak tersebut. Sebab, puluhan tahun silam ada banjir, hari
masih juga tetap ada banjir. Mengapa demikian? Tentu anggapan bahwa banjir
bukan sebagai masalah tidak layak djadikan tesis, sebab banjir memang masalah. Ada
banyak alternatif dan kajian teknis yang bisa menjelaskan sebab-sebab banjir yang
tak kunjung hilang di Kota Semarag. Sebab-sebab yang sudah diketahui harusnya
sudah ada cara-cara teknis untuk menyelesaikanya.
Faktnya memang demikian, bahwa sebab dan caranya sudah
tersedia. Namun suara-suara tersebut lari dari perbincangan publik. Yang
menyuarakanya adalah minoritas dalam publik. Mereka adalah intelektual yang
masih jujur dalam pendirian keilmuanya. Orang seperti itu tidak mendapat tempat
yang cukup dari media arus utama untuk berbicara. Media nasional cenderung
lebih banyak mengutip pendapat pemerintah sebagai sumber informasinya. Karya
jurnalis tersebut menjadi sangat bias opini pemerintah daripada melahirkan
diskusi publik yang sehat.
Informasi yang dikonsumsi publik memiliki efek yang besar
dalam mempengaruhi kesadaran masa. Sebab asasnya: pengetahuan akan melahirkan
kesadaran. Sedangkan kesadaran akan melahirkan tindakan. Maka, ketika informasi
publik sudah dipenuhi oleh opini pemerintah, tindakan yang diilhami masyarakat
akan selaras dengannya. Pemerintah yang memiliki tanggung jawab untuk
menyediakan ruang publik yang bebas dari banjir, memiliki kecendurungan melepas
tangan atas masalah tersebut. Pemerintah, dalam berbagi siaran publik selalu berdalih bahwa banjir
merupakan determinisme alam, bukan karena salah tata kelola bangunan, atau pun error teknis lainya.
Tulisan ini berupaya untuk menelaah bagaimana opini publik
dari media main stream yang
didominasi oleh opini pemerintah mengenai bencana banjir dan tawaran dari
penulis.
Bingkai Media:
Determinisme Alam Sebagai Penyebab Banjir
Narasi media di Indonesia cenderung menempatkan banjir
sebagai bagian dari bencana yang disebabkan oleh alam. Pemberitaan yang
membingkai banjir sebagai akibat dari perilaku manusia seperti pembalakan
hutan, tata kelola ruang yang buruk, pemanasan global akibat produksi gas rumah
kaca tidak mendapatkan porsi yang cukup memadai. Hal yang mengkhawatirkan
adalah masyarakat sebagai khalayak media tidak mempunyai informasi yang memadai
untuk memahami banjir, sehingga langkah yang harus dilakukan masyarakat dalam
merespons banjir jadi sulit terbayangkan
Sebuah penelitian yang dilakukan peneliti dari Universitas Padjajaran memeriksa bagaimana media daring di Indonesia membingkai banjir pada periode 2020 hingga pertengahan 2021. Mereka memeriksa empat banjir besar pada periode tersebut yaitu: banjir Jabodetabek, Lebak, Banten, Luwu Sulawesi Selatan, dan banjir bandang Kalimantan Selatan. Pada hari puncak pemberitaan banjir Jabodetabek di tahun 2020 (2 Januari 2020), 51% dari total 415 pemberitaan menyebutkan alam sebagai penyebab utama terjadinya banjir. Curah hujan tinggi, perubahan iklim dan/atau narasi terkait hidrometeorologi cenderung menjadi narasi dominan. Hanya 14% dari pemberitaan menyebutkan bahwa banjir Jabodetabek merupakan dampak perilaku manusia. Sebagian berita memang membingkai banjir dengan dua variabel penyebab sekaligus, namun jumlahnya tidak besar. Mayoritas pemberitaan mengabaikan problem tata guna lahan, absennya kawasan resapan, hingga kebijakan pemerintah yang semestinya dioptimalkan sebelum banjir.
Untuk di Kota Semarang, menurut riset kecil-kecilan yang
saya lakukan, mayoritas media juga masih menganggap bahwa banjir disebabkan
oleh faktor alam. Misalnya tempo.co (2023)
yang mengutip Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG Stasiun
Meteorologi Ahmad Yani Semarang menyebutkan, “banjir disebabkan oleh hujan
deras di wilayah Kota Semarang yang terjadi pada Jum'at hingga Sabtu”.
Adanya bingkai dalam pemberitaan merupakan konsekuensi logis
dari keterbatasan media saat menampilkan realitas. Bingkai merupakan
manifestasi dari sudut pandang jurnalis dan media. Bingkai juga berpotensi
mempengaruhi bagaimana publik mencerna pemberitaan dan menyimpulkan suatu
masalah
Hidrometerologi
sebagai Wahana opini Pemerintah mejadi Opini Publik
Salah satu contoh bagaimana bingkai pemberitaan memiliki
potensi dampak yang signifikan terhadap khalayak adalah ketika peristiwa banjir
dibingkai media dengan istilah sangat teknis yaitu “bencana hidrometeorologi”.
Istilah bencana hidrometeorologi sendiri telah digunakan
sejak tahun 2013 oleh BNPB untuk menyebut bencana akibat iklim yang ekstrem.
Namun, istilah ini mulai digunakan sebagai narasi media pada bulan Oktober
2020. Pada bulan tersebut, tercatat kepala BMKG, Kepala BNPB, Gubernur Jawa
Timur, dan bahkan Presiden Joko Widodo berulang kali menggunakan terminologi
“bencana hidrometeorologi” untuk mengidentifikasi fenomena merugikan dan
disebabkan oleh peristiwa meteorologi dan iklim yang ekstrem, membawa bahaya
seperti banjir, kekeringan, angin topan, tornado, atau tanah longsor ke tempat
kejadian (Wu dkk, (2016). Dalam konteks
ini, media cenderung hanya menjadi corong dan penyambung istilah dari
pemerintah.
Penggunaan istilah “bencana hidrometeorologi” yang cenderung
teknis berimplikasi pada produksi narasi bencana yang terbatas. Istilah ini
mengasingkan banjir dari diskusi publik lebih luas dan menjauhkan perbincangan
dari ulasan mengenai dampak perubahan iklim serta ulah manusia.
Dalam kausus banjir di Semarang, terlihat bahwa pemberitaan
yang menggunakan istilah “bencana hidrometeorologi” akan memiliki sentimen
pemberitaan yang cenderung lebih positif. Bukan hanya karena narator utama
istilah tersebut merupakan narasumber dari pihak pemerintah, namun juga karena
istilah tersebut cenderung menutup kemungkinan perbincangan atas
penyebab-penyebab lain banjir. Pun, dari studi-studi sebelumnya dapat terlihat
bagaimana media-media daring kita cenderung hanya menggunakan satu-dua
narasumber saja dalam memberitakan peristiwa
Dominannya berita yang mengatributkan alam sebagai penyebab
peristiwa banjir menjadi problematik karena seolah-olah respons yang bisa kita
lakukan sekadar bersiap menghadapi serangkaian bencana yang akan muncul dari
tahun ke tahun. Berbeda halnya bila media dapat mengungkap apa saja dan
bagaimana andil manusia dalam terjadinya banjir yang terus mendera
wilayah-wilayah Indonesia. Pada akhirnya, pemberitaan terkait banjir akan
memiliki konsekuensi dan berada dalam dimensi politik. Dengan demikian,
selanjutnya perlu dibicarakan apa upaya yang dapat dilakukan secara kolektif
dan terstruktur untuk menanggulangi banjir.
Terdapat dua bingkai pemberitaan dalam lingkup isu politik
menurut Iyengar (1996): (1) bingkai episodik, yaitu ketika peristiwa difokuskan
pada permasalahan tunggal yang tidak dihubungkan dengan permasalahan lainnya;
(2) bingkai tematik, yaitu ketika peristiwa digambarkan sebagai permasalahan
umum yang berhubungan dengan satu dan lain hal (sistematik) yang berkembang.
Pada pemberitaan banjir akhir-akhir ini, bingkai yang paling dominan diproduksi
oleh media daring kita adalah bingkai episodik. Banjir diposisikan sebagai
sebuah peristiwa tunggal tanpa penjelasan yang cukup berarti tentang penyebab
peristiwa tersebut.
Media daring di Indonesia sangat minim menampilkan
pemberitaan dengan bingkai tematik, bingkai yang potensial memberikan pemahaman
lebih luas terhadap penyebab peristiwa banjir. Dominannya bingkai episodik
berpotensi membuat khalayak tidak memahami peristiwa banjir secara sistematis
dan hanya memaknai banjir sebagai sebuah peristiwa tunggal.
Media semestinya dapat memainkan peran signifikan dalam
penyadaran khalayak untuk merespons peristiwa banjir. Tidak hanya dalam lingkup
pemahaman terhadap isu lingkungan seperti banjir, media juga dapat mempengaruhi
persepsi dan bahkan tindakan. Studi Bengston (1999), misalnya, menunjukkan
bagaimana bingkai yang diproduksi oleh media cetak AS sejalan dengan opini
publik terkait kebijakan Hutan Nasional. Begitupun dengan studi Delshad dan
Raymond (2013) yang menemukan bahwa perubahan bingkai media terkait biofuels
(dari positif ke negatif) mempengaruhi perilaku publik, dari yang awalnya
mendukung menjadi cenderung menentang.
Bingkai media juga membentuk persepsi penyebab masalah
tertentu yang berkaitan dengan kebijakan makro dan efikasi atas solusi dari
masalah bencana (Tewksbury dkk., 2000). Walhasil, pada konteks banjir, bingkai
media dapat menggeser diskusi publik dari kebijakan terkait pencegahan banjir
ke arah kebijakan yang dapat mengubah tatanan perilaku manusia seperti alih
teknologi menjadi ramah lingkungan maupun kegagalan kebijakan yang menjadi penyebab
banjir.
Politisi acap menyuarakan bahwa bencana tidak layak
dipolitisasi pada momen-momen krusial bencana. Namun, studi Olshanky dan Chang
(2009) menunjukkan bahwa diskursus publik terkait bencana dapat mengubah
kebijakan karena perhatian publik jadi terfokus pada peristiwa tersebut. Pada
kasus Jakarta misalnya, perhatian besar publik terhadap sumur resapan yang
gagal di Jakarta membuat anggaran pembangunan sumur resapan untuk tahun 2022
dicoret (Mantalean, 2021). Selama berbasis data yang kuat, politisasi bencana
juga dapat menajamkan diskusi sehingga menghasilkan pemecahan masalah yang
lebih efektif dan efisien.
Perlunya Media
Alternatif
Pembingkaian banjir sebagai bencana alam lewat bingkai
episodik tentu tak dapat diterima begitu saja. Dapat kita ketahui bahwa pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan politisi menjadi
narasumber dominan dalam pemberitaan selain juga BNPB dan BMKG. Suara dari
akademisi dan LSM di daerah yang juga memiliki peran vital dalam isu lingkungan
di daerah maupun nasional tidak mendapatkan porsi yang layak. Hal ini
mencerminkan kecenderungan media di Indonesia dalam meliput suatu peristiwa di
mana pemerintah dan politisi acap diposisikan sebagai narasumber utama
pemberitaan. Bingkai sempit narasi bencana kita karenanya tak lepas juga dari
dominannya narasi pengambil kebijakan dan tak adanya narasi tandingan yang
cukup layak.
Pada konteks ini, jurnalis dan media harus lebih berani
dalam mewartakan bencana. Pun, tidak cukup hanya itu. Media bahkan harus bisa
mempolitisasi bencana untuk kepentingan publik. Media harus berani memosisikan
akademisi dan aktivis lingkungan untuk berbicara lantang terkait bencana banjir
serta menampilkan serangkaian data untuk meyakinkan publik bahwa ada langkah
yang harus diambil. Pemahaman dan tindakan publik diharapkan dapat mendorong
pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan penanganan banjir dan kebijakan
lingkungan yang lain.
Di luar itu, saya memahami bahwa terdapat banyak tantangan
dalam upaya mendorong perubahan yang lebih jauh, khususnya bila ingin berangkat
dari media. Menilik teori hierarki pengaruh yang dijelaskan oleh Shoemaker dan
Reese (2014), terdapat berbagai lapisan variabel yang potensial mempengaruhi
bagaimana suatu peristiwa dibingkai dalam berita. Selain faktor individu
jurnalis terdapat lapisan lain yaitu rutinitas media, pola organisasi media, institusi
sosial lain yang bertaut dengan media dan sistem sosial kita yang mempengaruhi
mengapa media memiliki pola tertentu dalam memproduksi pesan terkait bencana.
Tentu kita tidak dapat menutup mata bahwa selama ini rutinitas lapangan
jurnalis serta hubungan yang tidak sehat antara media dengan kekuasaan membuat
narasi pemerintah menjadi sangat dominan dalam perbincangan terkait
kebencanaan.
Pada akhirnya, kita harus memahami bagaimana media bekerja,
dan berupaya keras mengubah arah pena redaksi untuk mengarusutamakan isu
lingkungan dan memberikan porsi yang lebih banyak bagi akademisi dan aktivis
lingkungan. Bila media arus utama sulit
untuk meminjamkan penanya dalam perlawanan terhadap perubahan iklim, maka saat
ini adalah momen yang paling tepat untuk kita membesarkan media alternatif yang
lebih independen dalam menyuarakan kerentanan manusia di hadapan krisis.
Daftar Referensi
Adiprasetio. (2020). Under the shadow of the state:
Media framing of attacks on West Papuan students on Indonesian online media. Pacific
Journalism Review, 242-260.
Adiprasetio, J. (2022, Februari 20). Politisasi
banjir selama ini cuma buat kepentingan politik parsial. Saatnya kepentingan
publik diutamakan. Diambil kembali dari remotivi.or.id:
https://www.remotivi.or.id/amatan/736/bingkai-bencana-dan-media-perlunya-mempolitisasi-banjir-demi-kepentingan-publik
Iyengar, S. 1996. Framing responsibility for political
issues. The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science 546
(1): 59-70.
Olshanky, R. B. & Chang, S. 2009. Planning for disaster
recovery: Emerging research needs and challenges. Progress in Planning 72
(4):200-209.
Shoemaker, P. J. & Reese, S. D. 2014. Mediating the
message in the 21st century: a media sociology perspective. Routledge: New
York.
tempo.co. (2023, Januari 2). 4 Fakta Tentang Banjir
Semarang. Diambil kembali dari tempo.com: https://nasional.tempo.co/read/1674889/4-fakta-tentang-banjir-semarang
Tewksbury D., Jones J., Peske M. W., Raymond A., Vig W.
2000. The Interaction of news and advocate frames: manipulating audience
perceptions of a local public policy issue. Journalism & Mass Communication
Quarterly 77 (4): 804-829.
Wu,
H., Huang, M., Tang, Q., Kirschbaum, D. B., Ward, P. 2016. Hydro-meteorological
hazards: monitoring, forecasting, risk
assessment, and socio-economic responses. Advances in Meteorology, 1–3.