Oleh: Samsul Bakri
Penandatanganan Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim pada Desember 2015 menandai tonggak sejarah untuk ekonomi global. Dikombinasikan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di tahun 2015, menunjukkan komitmen negara-negara dunia untuk mencapai masa depan yang rendah karbon dan memberi sinyal pada sebuah pergeseran universal menuju aktivitas ekonomi yang lebih peduli terhadap iklim Bumi. Sebagi perjanjian dengan lingkup global, Indonesia turut aktif mengambil peran untuk mencapai tujuan dari kedua perjanjian diatas (Paris Aggrement dan SGDs). Peran tersebut dapat kita lihat dari berbagai kebijakan yang diterbitkan. Salah satunya dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), pemerintah telah merancang target 23% di 2025 dan 31% di 2050, bauran energi nasional berasal dari sumber energi terbarukan (IRENA, 2017). Namun, ambisi besar tadi kemungkinan hanya akan jadi buaian mimpi saja. Bagaimana tidak, di tahun 2020 energi fosil masih menyuplai 85% energi nasional, sedangkan Kelompok Energi Baru dan Terbarukan (EBT) hanya menyumbang 14,71%. Masih jauh dari target yang ingin dicapai pada 2025 dan 2050.
Merespon lambatnya pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia, pemerintah membuat RUU EBT sebagai amunisi baru guna meningkatkan porposi EBT dalam bauran energi nasional. Dibandingkan dengan beberapa undang-undang sebelumnya, RUU EBT memiliki beberapa pembaharuan yang dianggap akan berdampak baik dalam mendukung perkembangan energi terbarukan. Misalnya pada pasal 51 ayat (4) diatur ketentuan harga listrik dengan input energi terbarukan lebih tinggi dari biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkit listrik perusahaan listrik negara. Kebijakan penentuan harga ini jauh lebih berkeadilan jika dibandingkan dengan peratutan yang sebelumnya berlaku, dimana tarif listrik dari energi terbarukan ditetapkan maksimal 85% atau 100% dari tarif yang berlaku di tempat yang sama wilayah seperti yang diterapkan oleh PLN (ISSR, 2017).
Lebih lanjut, pasal-pasal dalam RUU EBT juga mencakup berbagai jenis dukungan fiskal dalam pengembangan dan penelitian energi terbarukan. Di pasal 47, dalam hal penelitian dan pengembangan energi terbarukan. pemerintah pusat dan daerah memiliki kewajiban memfasilitasi penelitian dan pengembangan EBT dari sisi pendanaan dan penyedian infrastruktur. Sedangkan di pasal 51, juga dimuat adanya kewajiban memberikan pengembalian selisih harga energi terbarukan dengan biaya pokok penyediaan pembangkit listrik setempat kepada perusahaan listrik milik negara jika harga listrik dari EBT lebih mahal dari BPP PLN.
Pernyataan pesimis penulis didasari oleh beberapa alasan. Pertama, banyaknya insentif fiskal yang diberikan pada pengembangan EBT terlalu membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Belum lagi banyaknya dampak negatif yang mungkin akan timbul dari kebijakan subsidi ini (akan dibahas di bawah). Kedua, menurut penulis, RUU EBT belum mampu menjawab persolan fundamental yang menghambat pengembangan EBT di Indonesia. Salah satu persolan dasar tersebut menurut kajian dari Asian Development Bank 2019) terletak pada sulitnya memperoleh pendanaan bagi pelaku usaha di sektor usaha energi terbarukan.
Paradoks Subsidi, Alih-Alih Membawa Manfaat, Justru Mengandung Banyak Efek Negatif
Pokok yang terdapat pada pasal 51 ayat (4) merupakan insentif fiskal dalam bentuk subsidi kepada produsen swasta independen yang bergerak di bidang listrik dengan input energi terbarukan. Yang perlu kita ketahui adalah, baik subsidi kepada produsen maupun subsidi langsung kepada konsumen, tujuan subsidi tetaplah sama yakni meningkatkan penawaran dan permintaan suatu komoditas. Lebih jelasnya seperti ini, melalui subsidi ke produsen, biaya produksi akan menjadi lebih murah dalam pencatatan akuntasi perusahaan karena sebagian biaya ditutupi oleh pemerintah. Dampaknya perusahaan mampu mengenakan harga yang lebih rendah dari yang seharusnya dan akan berdampak positif terhadap skala produksinya (penawaran listrik akan meningkat). Dari sisi konsumen, melalui subsidi, konsumen dapat mengakses listrik dari energi terbarukan dengan harga yang lebih murah sehingga permintaanya akan naik. Singkatnya, subsidi meningkatkan permintaan dan penawaran listrik energi terbarukan melalui mekanisme harga yang lebih rendah.
Akan tetapi, selain dampak positifnya tadi, terdapat sisi negatif akan dalam setiap kebijakan subsidi. Dampak nyata yang dapat kita ketahui secara langsung adalah meningkatnya tekanan fiskal dari sisi pengeluaran pemerintah. Persolan ini sangat krusial untuk dibahas, mengingat saat ini fokus alokasi APBN tertuju pada pengananan covid-19. Tak tanggung-tanggung, pemerintah bahkan membolehkan aturan defisit keuangan negara hingga diatas 3%. Realisasi sepanjang tahun 2020 tercatat defisit anggaran sebesar Rp 956,3 triliun, setara dengan 6,09% (Handoyo, 2021) dari total PDB kita. Defisit anggaran tadi, artinya terdapat lebih banyak pengeluaran daripada pendapatan dalam APBN kita. Kelebihan pengeluaran tadi ditutupi oleh pemerintah dengan cara menerbitkan surat utang negara. Setelah meminjam, tentunya terdapat kewajiban pemerintah untuk membayar kembali di kemudian hari, termasuk membayar beban bunga sebagai biaya pinjaman. Pembayaranya tidak lain bersumber dari pajak yang dikumpulkan. Berkaca pada kondisi APBN kita yang sedang buruk, bagaimana pemerintah mengumpulkan dana yang akan digunakan untuk mensubsidi industri? Kemungkinan besar adalah dengan mengenakan pajak yang lebih tinggi. Pada akhirnya masyarakat umum dan korporasilah yang menyediakan sarana yang memungkinkan pemerintah mensubsidi industri listrik energi terbarukan. Kemudian meningat kondisi perekonomian kita yang baru saja mengalami resesi di tahun 2020; bisnis dan aktivitas ekonomi yang tidak baik ;serta berbagai berbagai insentif pajak yang saat ini berlaku justru memberikan kelonggoran masyarakat untuk tidak membayar pajak, membuat penulis skeptis bahwa subsidi energi pada pengembangan energi terbarukan di Indonesia dapat kita implementasikan. Jika dipaksakan, justru kebijakan subsidi energi berpotensi membawa dampak negatif terhadap ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.
Tak hanya sampai pada permasalahan tekanan fiskal, banyak literatur yang telah membuktikan bahwa subsidi juga membuat masyarakat menjadi kurang bertanggung jawab dalam mengonsumsi energi. Energi bersubsidi relatif murah, sehingga membuang-buangnya juga murah. Asumsi ini merupakan teori dasar dalam ekonomi mikro yang mempelajari hubungan antara harga dan perilaku konsumen dalam Greg Mankiw (2006). Temuan empiris dari Bank Dunia juga menunjukan bahwa negara-negara dengan subsidi energi yang besar cenderung memiliki rekam jejak yang buruk dalam konservasi dan efisiensi energi. Dan jumlahnya sangat besar. Misalnya, energi yang terbuang di negara-negara bekas blok sosialis sama dengan konsumsi energi di negara-negara Amerika Latin (World Bank, 2014). Perilaku pemborosan ini pada akhirnya akan membebani APBN kita karena setiap listrik yang kita siasiakan, sebagian dibayar oleh negara melalui mekanisme subsidi tadi. Selain itu, dalam banyak kasus, subsidi energi tidak menguntungkan masyarakat miskin dan kelas menengah ke bawah. Berkali-kali, analisis terperinci tentang “siapa mendapat apa” mengungkapkan bahwa orang kaya adalah pihak yang memperoleh paling banyak manfaat dari subsidi energi karena mereka cenderung memiliki rumah yang lebih besar untuk diberi pencahaan, perabotan yang lebih banyak dan mobil yang lebih bertenaga besar, sehingga mereka yang menggunakan lebih banyak energi (World Bank, 2014). Dampaknya, kebijakan yang dirancang sebagai skema untuk melindungi orang miskin akhirnya menjadi transfer sumber daya publik ke masyarakat yang lebih kaya.
Sisi negatif lainya yang mungkin timbul dari skema subsidi energi listrik sangat berkaitan dengan isu korupsi di Indonesia. Banyak pejabat kita mendapat manfaat dengan bertindak atas kepentingan terselubung dengan kedok bekerja dengan pihak swasta atas nama kepentingan publik. Sebagian pembuat kebijakan kita tidak didorong oleh motif kepentingan umum, mereka lebih khawatir tentang pemilu dan kepentingan pribadinya dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, kelompok kepentingan yang memperoleh, atau ingin memperoleh, dari subsidi pemerintah bersedia dan mampu mengeksploitasi kepentingan dari pembuat kebijakan (Zhili Zang, 2020). Akibatnya, subsidi pemerintah menciptakan hubungan yang tidak sehat dan terkadang korup—antara kepentingan komersial dan pemerintah. Semakin banyak intervensi pemerintah di pasar energi, semakin banyak aktivitas lobi yang dihasilkan, pintu untuk kronisme dan korupsi akan mewabah.
Membatu Industri Energi Terbarukan Mengakses Pembiayaan Dari Perbankan
Kementerian ESDM menyatakan terdapat beberapa hambatan dan tantangan dari sisi pembiayaan yang terjadi di Indonesia dalam mengembangkan energi terbarukan. Adapun tantangannya seperti bunga pinjaman yang tinggi dan persyaratan agunan yang tinggi (Republika, 2021). Khusus investor lokal, akses pendanaan selalu jadi kendala akibat tingginya suku bunga kredit yang kadang di atas 12 persen. Padahal butuh suku bungan pinjaman yang rendah, sekitar 7-8 persen, utnuk mencapai keekonomian proyek (IESR, 2018). Di tahun 2017, terdapat lebih dari 70 kontrak jual beli listrik terbarukan namun terdapat 46 kontrak yang terhambat dan batal karena sulit mendapatkan pendanaan (Kompas, 2018).
Perlu dipahami bahwa tingginya suku bunga kredit untuk sektor usaha energi terbarukan disebabkan oleh banyaknya risiko kredit yang melekat pada industri EBT. Bobot penentuan risiko kredit terdiri dari banyak variabel, salah satunya rasio non performing loan (NPL) atau rasio risiko kredit macet. Inti dari NPL adalah kredit macet dibagi total kredit dikali 100%, sehingga didapatkan rasio kredit yang macet. Semakin tinggi rasio kredit macet sektor usaha EBT, derajat keyakinan perbankan untuk menyalurkan kredit akan semakin turun dan suku bunga pinjamnya akan semakin tinggi (Saundres, 2018). Guna mengatasi masalah ini, pemerintah dapat mengimplentasikan skema Credit Enhancement Fund (CEF). Skema ini memitigasi risiko yang digunakan dalam pasar keuangan untuk meningkatkan kemampuan kredit sebuah sektor usaha (Pimpalkhute, 2021). Selain itu, skema ini juga berfungsi meningkatkan profil kredit obligasi yang dapat dijadikan patokan peringkat kredit di pasar keuangan dan membuka akses yang lebih luas bagi produsen swasta EBT ke pasar pinjaman (Pimpalkhute, 2021). Intervensi yang dilakukan pemerintah dalam skema ini adalah sebagai pihak yang mampu meyakinkan bank untuk memberikan kredit pada proyek energi terbarukan. Salah bentuk jaminan dalam CEF ini adalah jaminan parsial pada pinjaman industri EBT yang ada di perbankan
Namun sebelum memilih industri yang layak mendapatkan jaminan dari pemerintah, perlu dilakukan analisis kelayakan secara finansial. Kelayakan secara finansial industri EBT dalam kasus CEF perlu ditentukan oleh bank dan pemerintah serta harus memenuhi persyaratan regulator pasar keuangan di Indonesia dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam skema CEF ini, pemerintah bisa memberikan komitmen lunak misalnya, comfort letters, sebuah dokumen bisnis yang dimaksudkan untuk meyakinkan pihak perbankan bahwa kewajiban finansial atau kontrak dengan pihak industri EBT dapat dan akan dipenuhi. Agar insentif tadi tepat sasaran, pemerintah tidak perlu memberikan komitmen confort letters secara penuh sebelum proyek pengembangan listrik dari energi terbarukan siap untuk dibangun (ADB, 2019).
Selain itu, jaminan dalam CEF ini akan menjadi jaminan kredit parsial, yaitu, pemerintah akan menawarkan perlindungan bagi pemberi pinjaman (bank) dalam semua kasus gagal bayar oleh peminjam Jaminan yang berlaku akan berdasarkan ‘pari-passu’, artinya jaminan itu hanya akan menutupi bagian kerugiannya secara pro rata guna mengurangi risiko moral hazard karena pemberi pinjaman dan peminjam akan memiliki insentif yang sama untuk menghindari situasi default (Hayes, 2020). Secara spesifik, jika mengacu pada kriteria Bank Pembangunan Asia, jaminan dari pemerintah akan menutupi hingga 80% dari kerugian per proyek, dengan maksimum bagian 50% dari total biaya proyek, dan rata-rata jumlah jaminan menjadi sekitar 70%. Dengan asumsi rasio utang/ekuitas dalam proyek sekitar 60/40–70/30, jaminan akan berakhir mencakup biasanya sekitar 40% –50% dari total biaya investasi, sisanya ditanggung oleh investor dan pemodal. Yang perlu diperjelas dari jaminan pemerintah hanya akan dibayarkan ketika pinjaman industri EBT masuk dalam kategori kredit macet perbankan. Dan industri EBT tetap harus mengganti dana pemerintah di kemudian hari, baik dalam bentuk uang maupun dibayar dengan aset (tanah, gedung, dll). Kemudian jika dibandingkan tawaran pada pasal 51 RUU EBT, skema penjaminan ini tidak akan terlalu membebani APBN.
Penutup
Pertumbuhan energi terbarukan dalam bauran energi nasional masih sangat rendah. Menyikapi masalah ini, pemerintah menerbitkan RUU EBT sebagai upaya meningkatkan energi terbarukan dalam energi nasional. Dalam RUU tersebt dimuat beragam insentif fiskal (subsidi) kepada industri yang bergerak di bidang energi terbarukan. Akan tetapi, subsidi tadi berpotensi memunculkan masalah-masalah baru, seperti membebani anggaran, tidak tepat sasara, bahkan berpotensi menjadi kluster korupsi. Guna menyelesaikan problematika ini, bantuan akses ke pendanaan dapat dijadikan alternatif lain yang dapat diambil pemerintah. Melalui skema ini APBN tidak perlu dikorbankan, namun pengembang EBT tetap berjalan.
Daftar Referensi
ADB. (2019, November 20). Renewable Energy Financing Schemes for Indonesia. Retrieved Agustus 15, 2021, from Asian Development Bank: https://www.adb.org/sites/default/files/publication/541531/renewable-energy-financing-indonesia.pdf
Handoyo. (2021, Januari 6). Defisit anggaran sepanjang tahun 2020 mencapai Rp 956,3 triliun. Retrieved Agustus 13, 2021, from Kontan.co.id: https://nasional.kontan.co.id/news/defisit-anggaran-sepanjang-tahun-2020-mencapai-rp-9563-triliun
Hayes, A. (2020, Agustus 29). Pari-Passu. Retrieved Agustus 15, 2021, from Investopedia: https://www.investopedia.com/terms/p/pari-passu.asp
IESR. (2018, Juli 6). Energi Terbarukan Masih Perlu Insentif. Retrieved Agustus 14, 2021, from Instutute for Essential Services Reform: https://iesr.or.id/energi-terbarukan-masih-perlu-insentif-3
ISSR. (2017, Februari 27). Harga Listrik Energi Terbarukan Tidak Menarik. Retrieved Agustus 16, 2021, from ISSR Indonesia: https://iesr.or.id/harga-listrik-energi-terbarukan-tidak-menarik-2
Kompas. (2018, April 26). Ada 46 Kontrak Kesulitan Pendanaan. Retrieved Agustus 14, 2021, from Kompas.com: https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2018/04/25/ada-46-kontrak-kesulitan-pendanaan
Matthew D. Mitchell, M. D. (2019). The Economics of a Targeted Economic Development Subsidy. Washington: Mercatus Center.
Pimpalkhute, P. U. (2021). Renewable Energy Financing– Improving access and allocation for Green Energy. New Delhi: Eco Endeavourers Network.
Republika. (2021, Mei 9). Bunga Pinjaman dan Agunan Tinggi Hambat Pengembangan EBT. Retrieved Agustus 14, 2021, from Republika.co.id: https://republika.co.id/berita/qstr74383/bunga-pinjaman-dan-agunan-tinggi-hambat-pengembangan-ebt
Rugi, V. d. (2015, Maret 24). Subsidies Are the Problem, Not the Solution, for Innovation in Energy. Retrieved Agustus 14, 2021, from Mercatus Center: https://www.mercatus.org/publications/government-spending/subsidies-are-problem-not-solution-innovation-energy
Saundres, A. (2018). Financial Institutioin Managemen. New York: Mc Graw Hill Education.
World Bank. (2014, April 17). Subsidies Encourage Waste. Retrieved Agustus 13, 2021, from The World Bank: https://www.worldbank.org/en/news/opinion/2014/04/17/subsidies-encourage-waste
Zhili Zang, R. A. (2020). Anti-corruption, government subsidies, and investment efficiency. China Journal of Accounting Research, 113-133.