Dalam kebanyakan negara demokrasi di dunia, termasuk Indonesia, kita sudah memiliki Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang fungsinya melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan pelaksanaan program-program pemerintah. Apabila ada suatu kebijakan dirasa merugikan rakyat, anggota DPR dapat berkomunikasi dengan konstituennya, mendengarkan masukan dan keluhan masyarakat, serta memperjuangkan kepentingan rakyat dalam pembuatan kebijakan (DPR RI, 2014).
Formalnya memang begitu, tapi realitanya berbeda, bahkan seorang wakil kita di komisi tiga DPR dengan lantang mengatakan bahwa mereka bukan wakil rakyat. Dia jujur mengakui bahwa anggota DPR mewakili suara ketua partai di masing-masing fraksi (Kompas.com, 2023). Implikasinya, mengharapkan suatu kebijakan publik yang memihak rakyat pada anggota DPR adalah suatu hal sia-sia, yang tanpa tujuan akhir dan akan membawa kita sampai pada analogi Albert Camus mengenai nihilisme dalam The Myth of Sisypus (Camus, 1942)
Dengan situasi yang seperti itu, tidak heran rasanya jika makin banyak penderitaan yang dialami masyarakat marginal di negeri ini. Mulai dari perampasan lahan oleh negara dan koorporasi hingga APBN yang lebih mendahulukan bunga utang di atas kebutuhan rakyat (BBC News Indonesia, (2022). Saat rakyat berjuang mempertahankan hak dasarnya untuk memiliki properti, mereka dihukum dengan delik menggangu ketertiban umum (Sahala, 2023).
Dengan tindak laku seperti itu, maka negara sama persis dengan adagium Karl Marx, bahwa negara adalah entitas yang lahir di atas kepentingan kelas ekonomi (Suseno, 2021). Sungguh sebuah ironi bagi negara yang “katanya” menganut paham walfare state dalam ideologi dan konstitusinya (Alfitri, 2012).
Penulis percaya bahwa untuk memperbaiki keaadan yang seperti itu harus ada inflitrasi orang-orang yang masih punya pemikiran ideal ke dalam sistem lembaga Negara. Pemikiran yang ideal adalah sesuatu yang identik dengane pemuda. Mengutip kata-kata dari Tan Malaka "Idealisme adalah kemewahane terakhir yang dimiliki oleh pemuda."
Sayangnya, saat ini demokrasi kita dalam kondisi menua. Berdasarkan data Indeks Demokrasi yang diterbitkan oleh Economist Intelligence Untit di tahun 2022, usia rata-rata anggota parlemen di Indonesia dalam studi tersebut adalah 51,6 tahun. Anggota parlemen yang berusia 45 tahun dan dibawahnya hanya 26,3%, dan yang berusia 30 tahun ke bawah hanya 3,38% (EIU, 2023). Di tingkat lokal, situasinya tak lebih baik. Melihat data dari Perludem pada Pilkada 2020, hanya 20 kepala daerah terpilih dan 17 wakil kepala daerah terpilih yang berusia kurang dari 34 tahun. Jumlah itu hanya 13,7 persen dari total daerah yang menyelenggarakan Pilkada (Perludem, 2021).
Statistik partisipasi pemuda dalam institusi politik tersebut bukanlah angka tanpa makna, tapi mengandung impilkasi. Dalam kasus di mana kelompok warga negara usia muda tidak memiliki representasi, maka syarat pemerintahan secara kolektif tidak terpenuhi dan tatanan politik tersebut berarti mengalami masalah legitimasi (Macedo, 2005). Tak ayal, banyak isu yang diperjuangkan anak muda, seperti korupsi, energi hijau dan kesetaraan gender jarang diperbincangkan dalama tataran elit politik nasional (Hartono, 2023).
Padahal, sebenarnya, struktur demografi Indonesia didominasi oleh pemuda. Jika merujuk pada data Komisi Pemilihan Umum (KPU), 56,4 persen pemilih di tahun 2024 berusia dibawah 40 tahun. Dengan jumlah pemuda yang banyak tapi minim dalam perpolitikan nasional dan lokal, akan memunculkan enigma yang baru. Kemana gerakan politik pemuda yang selalu hadir dalam etape perubahan besar bangsa ini? Ada anggapan bahwa penyebabnya adalah sikap apatis yang menggerogoti pemuda hari ini. Bagi penulis, persoalanya bukan itu. Buktinya pemuda yang ikut berpartisipasi dalam pemilu sangat tinggi. Sebanyak 85,5% anak muda menggunakan hak pilihnya di pemilu 2014 dan meningkat menjadi 91,3% di pemilu 2019 (Hartono, 2023). Jadi pendapat pemuda yang apatis untuk masuk dalam institusi politik masih membuka ruang perdebatan.
Dan menurut penulis, masalahnya tidak terletak pada sikap apatis pemuda, melainkan ruang politik yang tertutup bagi pemuda untuk berpartisipasi dalam politik perlemen nasional maupun pilkada lokal. Hal itu terjadi karena memasuki ruang pertarungan politik bukanlah rumah kosong dengan pintu terbuka. Ruang bagi pemuda untuk tampil sebagai representasi dalam institusi politik dihalangi oleh biaya politik yang mahal. Di bagian berikutnya, penulis akan mengurai lebih lanjut variabel ini dan memberikan solusinya.
Menurut studi dari Dr Martin Walecki, persyaratan partai politik (parpol) berbadan hukum sekaligus peserta pemilu di Indonesia merupakan yang terberat dan termahal di dunia. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa biaya yang diperlukan agar parpol menjadi peserta pemilu berkisar antara 10-15 juta Dollar As atau Rp 150-225 miliar.
Salah satu faktornya adalah adanya persyaratan untuk memiliki kantor 100 persen di provinsi, 75 persen di kabupaten/kota dan 50 persen di kecamatan (Chandranegara & Umara, 2020). Alhasil tiket melalui parpol untuk maju sebagai kandidat kepala daerah sangat mahal. Hasil riset menunjukkan, caleg DPR RI harus menyetorkan dana minimal Rp 1 miliar - Rp 2 miliar, DPRD provinsi Rp 500 juta - Rp 1 miliar, dan DPRD kabupaten/kota Rp 300 juta (Hartono, 2023).
Sebagai perbandingan, mayoritas usia muda di Indonesia memiliki pendapatan kategori menengah ke bawah yakni sebesar 2,6 juta rupiah(Katadata.co.id, 2021). Dengan demikian, tidak mengeherankan hanya sedikit sekali anak muda maju sebagai representasi wakil rakyat.
Sebenarnya, masalah mahalnya biaya pendirian parpol ini biasa diatasi dengan pengahapusan kewajiban kantor fisik. Apalagi saat ini dengan kemajuan teknologi, kantor virtual sangat memungkinkan dipakai untuk menghemat biaya mendirikan parpol. Jika sekedar kebutuhan untuk koordinasi dan manajemen, pelajaran dari masa lockdown akibat COVID-19 udah menjadi gambaran bahwa komunikasi dan koordinasi virtual sangat memungkinkan untuk diaplikasikan.
Jadi terobosan dalam politik itudiperlukan, jangan membangun politik yang sangat administratif. Sementara cara kita berinteraksi, berpolitik kian makin maju. Makin menembus batas hal-hal yang tradisional tadi. Kenapa tidak kita dorong politik murah, sederhana dan mudah. Jika persayaratan parpol tadi dibuat fleksibel mengikuti perkembangan zaman,bukan suatu hal yang mustahil biaya parpol akan ikut murah juga.
Masalah kedua yang menjadi penyebab mahalnya biaya politik di Indonesia adalah anggaran untuk kampanye yang besarnya dana yang harus disediakan seorang DPR, DPRD, dan gubernur. Hasil studi dari KPK menemukan fakta bahwa dana yang harus dimiliki para calon untuk menjadi kepala daerah tingkat II saja sebesar Rp 20 miliar-Rp 30 miliar. Untuk gubernur, harus memiliki dana Rp 100 miliar (Sjafrina, 2021). Lagi-lagi, mustahil bagi anak muda untuk mampu memasuki gelanggang politik dengan biaya sebesar itu.
Menurut penulis, hal ini bisa diatasi dengan membuat regulasi pembatasan anggaran kampanye. Jadi konsepnya sama persis dengan konsep financial fair play yang diterapkan oleh induk sepak bola Eropa (UEFA). Tujuan utama dari ide ini adalah membatasi anggaran kampanye dari tiap-tiap kandindat anggota legislatif maupun kepala daerah agar tidak terjadi ketimpangan antara kandindat yang didukung oleh oligark dan anak muda.
Untuk mengontrol anggaran kampanye kandidat dalam kondisi sehat, maka tiga laporan keuangan yang harus dibuat oleh kandidat selama masa kampanye, yakni laporan anggaran awal, laporan anggaran sumbangan pihak luar dan laporan pengeluaran kampanye yang dimasukan dalam satu rekening. Setelah semua tahapan kampanye selesai, laporan keuangan tadi akan diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ditunjuk oleh penyelenggara pemilu.
Tujuan audit adalah untuk menilai kesesuaian pelaporan dana kampanye dengan peraturan financial fair play. Jika ditemukan pelanggaran dalam audit tersebut, maka kandidat akan disanksi berupa didiskualifikasi dari pemilu. Dengan pembatasan ini, selisih kesenjangan jurang dana kampanye mampu diminimalisir. Dan kandidat dan/atau pasangan calon eksukutif tidak perlu lagi mencari sumber-sumber pendanaan informal, karena semua pembiayaan bisa ditutup oleh uangpribadi ataupun uang resmi lainnya. Negara yang berhasil menerapkan metode inia dalah Jerman. Alhasil, biaya pemilu di Jerman merupakan salah satu yang termurah di antara negara maju (Bateson & Hallam, 2021).
Penulis yakin, implikasi atas turunya biaya parpol dan anggaran kampanye akan membuka ruang bagi anak muda untuk tampil dalam politik dan memutus ketergantungan parpol dan/atau kandidat dari sumbangan pengusaha yang memburu rente.
Peran penting yang harus terlibat dalam kesuksesan pembatasan anggaran adalah paradigma masyarakat sebagai pemilih dalam memandang pesta demokrasi. Masyarakat harus mengubah cara pandang pemilu/pilkada sebagai momen transaksional. Apalagi, seringkali anggapan di masyarakat momen pemilu adalah ajang balas dendam: mengambil uang wakil rakyat sebelum uang rakyat diambil pasca mereka terplih nanti. Jika pendirian ini dipegang, bagaimana pun biaya politik akan tetap mahal dan berimbas pada praktik korupsi, politik oligarkis, dan tatanan pemerintahan yang lemah. Jadi, masyarakat harus memahami secara mendalam bahwa uang yang diterima saat memilih kandindat memilih dampak buruk dalam jangka panjang.
Sebagai penutup, ajakan parpol maupun pemerintah agar anak muda mau berpolitik, jika tidak disertai usaha membuka ruang politik agar semakin terbuka, kompetitif, dan inklusif, tidak lebih seperti raungan knalpot yang mencari perhatian di jalan raya. Untuk itu, ada kebutuhan untuk melonggarkan syarat parpol peserta pemilu, mendemokratiskan kehidupan parpol dan pembatasan biaya kampanya agar anak muda siap tampil sebagai agen of change dalam poltik.
Namun, anak muda perlu mengingat petuah Sukarno muda saat masih menggandrungi pemikiran Karl Marx: “Tak pernah suatu klas mau melepaskan hak-hak istimewanya dengan kemauan sendiri atau sukarela”. Jadi, ada kebutuhan bagi anak muda untuk mendobrak sendiri struktur politik yang ada, dengan memperjuangkan sistem kepartaian dan pemilu yang semakin demokratis, terbuka, dan inklusif. Jika kolaborasi antara pemerintah, parpol dan itikad anak muda sudah terjalin, maka penulis yakin, dalam beberapa tahun mendatang kita akan melihat lebih banyak anak muda sebagai pemimpin dan wakil kita di Senayan daripada saat ini.
Ditulis oleh Samsul Bakri