Ditulis oleh Samsul Bakri
Idealnya, negara membantu untuk melindungi dan memenuhi hak
warga negara. Salah satu hak yang wajib dipenuhi oleh negara terhadap warga
negaranya adalah hak untuk memperoleh pendidikan. Sebagaimana juga tercantum
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa pendidikan adalah
hak asasi manusia yang mendasar bagi setiap orang. Dan bahkan, ada turunan dari
deklarasi HAM tersebut yang secara spesifik memuat keterbukaan pendidikan bagi
semua orang, namanya Konvensi Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan.
Pendidikan menjadi hak asasi manusia yang mendasar karena pendidikan sangat
diperlukan untuk pelaksanaan hak asasi manusia lainnya.
Sebab, hak untuk bekerja tidak dapat dipenuhi bila ia tidak
terdidik. Jika haknya untuk bekerja tidak terpenuhi, ia tidak memperoleh uang
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya atas sandang, pangan dan papan. Jika
kebutuhan primer tersebut tidak terpenuhi, maka haknya untuk hidup ikut hilang.
Artinya dia mati kelaparan karena tak punya makanan, pakaian dan rumah. Hemat
saya, seperti itulah alasan mengapa pendidikan menjadi sebuah hak yang paling
mendasar bagi manusia. Maka jelaslah Agar hak asasi manusia bagi masyarakat
Indonesia terpenuhi, pertama-tama harus ada persamaan kesempatan dan akses
universal terhadap pendidikan, khususnya pendidikan tinggi.
Idealnya memang seperti itu, tapi bagaimana progresnya saat
ini? Dengan sedih, sesedih rasanya saat Jiraya mati dibunuh Akatsuki, kewajiban
atas terpenuhinya hak atas pendidikan tinggi di Indonesia masih sangat jauh
dari kondisi ideal. Biar saya uraikan secara pelan-pelan.
Data dari Kemendikbud menunjukan bahwa di tahun 2021, dari
3,6 juta siswa yang lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), yang bisa melanjutkan
pendidikan ke perguruan tinggi hanya sebesar 1,3 juta. Ada gap sebesar 2,3
juta. Secara persentase hanya 36% yang ke perguruan tinggi. Angka 2,3 juta
mungkin terlihat kecil, tapi itu merupakan angka tahunan. Jika diakumulasikan,
sejak negara ini berdiri sampai 2023, sudah berapa banyak siswa SMA yang tidak
lanjut studi ke bangku kuliah?
Sayangnya saya tidak dapat data soal itu. Tapi dengan asumsi
setahun hanya ada 36% berkuliah, maka sudah pasti angka siswa yang tidak mampu
lanjut kuliah sudah dikisaran puluhan juta siswa.
Angka statistik tersebut mungkin tidak berarti apa-apa jika
tidak saya telaah dan inteprestasikan penyebabnya. Sebab, ada konsesus di
masyarakat bahwa kuliah atau bersekolah tinggi-tinggi bukan satu-satunya
pilihan untuk meraih kemapanan ekonomi. Dan saya sepakat dengan itu. Tapi,
ternyata hanya sebagian kecil yang tidak lanjut kuliah karena dasar kerelaan
atau memang tidak ingin kuliah karena memilih bekerja melalui kerelaan dalam
dirinya sendiri.
Sayngnya, mereka terpaksa bekarja sedari lepas SMA karena
faktor ekonomi. Mereka tidak punya pilihan selain bekerja, sebab orang tuanya
tidak punya cukup uang membiayai kuliah anaknya. Hal ini diperkuat dari data
Haruka Evolusi Digital Utama di tahun 2018 menunjukan bahwa 66% siswa SMA tidak
lanjut kuliah karena kendala biaya. Sederhanya, dari setiap 3 anak SMA hanya 1
orang yang mampu berkuliah. Dua anak tadi akhirnya menjadi pengangguran atau
bekerja di pabrik.
Seandainya pun mereka mendapat pekerjaan, umumnya besaran
upah yang diperoleh tidak sebesar teman mereka yang lulusan kuliah. Data dari
BPS yang dimuat Kompas pada (25/02/2020), secara rata-rata besaran gaji yang
diperoleh lulusan universitas sebesar 4,59 juta, sedangkan lulusan SMA hanya
sebesar 2,73 juta perbulan. Perbedaan yang cukup timpang. Tidak heran jika
indeks gini di negeri ini kian melebar. Yang kaya makin kaya dan yang miskin
tetap miskin hanya karena tidak punya akses ke perguruan tinggi. Dan negara
bertanggung jawab untuk masalah itu.
Menapa Negara Bertanggung Jawab?
Saya tidak tau bagaimana mengurainya guna menyusun argumen
yang panjang sebagai legitimasi atas pernyataan saya bahwa negara harus
bertanggung jawab atas masalah yang saya urai tadi. Karena yang lebih paham
soal ini harusnya mereka yang berkuliah di prodi politik dan mungkin hukum.
Tapi dengan sedikit penyelaman saya pada teks-teks filsafat dan politik, saya
akan mencoba untuk mempertanggungjawabkan premis tadi. Simpelnya begini,
orang-orang yang diberi amanat untuk menjadi representasi tujuan masyakarat
dalam suatu negara, entah itu di lembaga eksekuitif, legislatif dan yudikatif
diberi wewenang untuk mengatur masyarakat melalui lembaganya, termasuk urusan
pendidikan.
Dimana hubungan antara tujuan masyarakat dan pendidikan? Dia
terletak pada konstitusi dasar sebagai simbol tujuan yang hendak kita capai
saat mengikrarkan diri menjadi negara. Dalam konteks Indonesia tujuan atau
cita-cita saya dan kita semua secara keseluruhan tercantum dalam Undang-undang
Dasar 1945. Dan di dalam teks sakral nan suci itu negara berjanji akan
mencerdaskan kehidupan kita semua dan menyejahterakan kita. Cara untuk
mencerdaskan dan menyejahterakan warga negara tersebut diemban oleh orang-orang
yang duduk di trias politica tadi.
Maka ketika realitanya masih banyak yang tidak bisa
cerdas karena hambatan ekonomi, mereka yang duduk di lembaga negara harus kita
mintai pertanggungjawabanya. Karena segala jenis pajak yang dikenakan pada kita
semua, mulai dari pajak karpet kloset, pajak pasta gigi sampai cukai rokok,
dialoksikan untuk gaji mereka. Uang itu dipakai untuk memastikan mereka tidak kelaparan
saat psuing memikirkan beban dan tanggung jawabnya terhadap 275 juta orang.
Naas, tragis, sayang sekali atau apa pun itu dalam kosa kata bahasa Indonesia
yang bisa disepadankan dengan orang-orang yang diberi makan tadi, seperti orang
yang lupa diri, mereka lupa dengan tanggung jawabnya. Gaji lancar, korupsi
lancar, pendidikan makin mahal, apalagi dengan adanya anak mereka yang bernama
PTNBH.
PTNBH Melarang Anak Miskin Masuk Kampus
PTNBH bagi saya anak dari kegagalan negara dalam pemenuhan
atas pendidikan tinggi sebagai hak warga negara. Mengapa demikian? Ada
satu masalah mendasar dari PTNBH yang berakar dari Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar
Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi di Perguruan Tinggi Negeri Pasal 10,
PTN diizinkan memungut iuran pengembangan institusi sebagai pungutan selain UKT
dari mahasiswa program sarjana atau diploma dari golongan tertentu. Golongan
tersebut terdiri dari mahasiswa asing, mahasiswa kelas internasional mahasiswa
jalur kemitraan dan mahasiswa jalur mandir. Jalur mandiri ini yang hendak saya
persoalkan.
Jalur mandiri menjadi bersamalah karena adanya kewajiban
uang pangkal tadi. Meskipun hanya dibayarkan sekali, uang pangkal tetap menjadi
masalah karena nominalnya yang terlalu besar. Bagi anak yang berasal dari
masyarakat miskin, rasanya mustahil untuk mampu menebusnya. Sekalipun bisa
mungkin harus mengggadaikan aset mereka atau mungkin berutang. Misalnya saja di
Undip, saat ini uang pangkal yang dikenakan bagi mahasiswa baru di Fakultas
Ekonomi prodi Akuntasi berkisar 30-40 juta, hukum 40 juta dan teknik 35-45
juta. Belum pengeluaran rutin semester beruapa UKT, makin ruwet
Bisakah orang miskin membayar itu? Mustahil. Orang miskin
menurut BPS pada September 2022 memiliki pendapatan dibawah 2,3 juta, dengan
rata-rata anggota rumah tangga 3,34 orang dan jumlahnya secara nasional 26,36
juta orang. Jika saya asumsikan salah 1 anak dari rumah tangga miskin tersebut
ingin masuk kuliah di prodi akuntasi Undip, maka 3 orang anggota rumah tangga
lainya harus berpuasa selama 15 bulan (35/2.3). Bukan hanya puasa makan, tapi
puasa naik grab, puasa minum, puasa beli es krim, susu,listik, pokoknya selama
15 bulan keluarga itu tidak bisa mengeluarkan pendapatan mereka agar anaknya
bisa masuk kuliah lewat jalur mandiri. Sayangnya tidak ada satu manusia yang
bisa bertahan hidup selama 15 bulan tanpa pengeluaran, apalagi bertiga. Mau
tidak mau, alternatif paling rasionalnya, batalkan niat untuk kuliah, dari pada
3 anggota keluarga mati kelaparan.
Belum lagi porsi di jalur mandiri lumayan besar, biasanya
30%. Jadi misal di PTN itu memilki kuota mahasiswa 5 ribu orang, sebanyak 1.500
sudah pasti dikunci oleh mereka yang mampu membayar uang pangkal. Sangat
disayangkan, barangkali dari sekian banyak anak yang memiliki potensi untuk
mengubah kondisi ekonomi keluarga. Dan kabarnya juga, mahasiswa KIP sulit
diberi kuota melalui jalur mandiri. Berat. Ya, intinya jalur mandiri masuk PTN
itu dialokasikan khusus untuk masyarakat kelas tertentu. Secara tidak langsung,
dengan uang pangkal sebesar itu melarang orang miskin memiliki akses terhadap
pendidikan yang setara bagi semua orang.
Sebagai penutup, saya sadar opini saya ini mungkin memiliki
beberapa kekeliriun, jika seandainya ada, maka masukan dan koreksi yang saya
harapakan, bukan UU ITE.