Ditulis oleh M. Nayaka Rama Yoga ( Kader Komisariat Dakwah)
Keberlangsungan dari adanya etika yang harus diadapi oleh seorang perempuan di setiap zamannya semakin berkembang. Standar kesopanan dan etis dari kegiatan seorang perempuan menjadi perbincangan menarik dari penelitian gender yang ada di masyarakat. Terutama ketika melihat pergaulan perempuan di wilayah desa, sangat berbanding terbalik dengan perempuan di masyarakat perkotaan.
Terdapat beberapa standar yang diberlakukan oleh masyarakat untuk menilai seorang perempuan itu menaati etika atau tidak. Dalam bahasa sederhananya adalah menetapkan apakah seorang perempuan itu “nakal” atau tidak. Misalnya ketika seorang perempuan merokok. Masyarakat memandang merokok adalah kebiasaan yang hanya boleh dilakukan oleh seorang pria. Seorang pria yang merokok akan mendapatkan stigma sebagai cowok “Macho”, dibandingkan seorang perempuan yang merokok, akan diberikan stigma “nakal” bahkan perempuan bejat di tengah masyarakat.
Pemahaman masyarakat awam terhadap konsep gender yang rendah serta adanya ekspetasi-eskpetasi yang kacau mengenai bagaimana seorang laki-laki dan perempuan harus menjalani hidupnya tidak timbul begitu saja. Ada faktor sejarah dan sosio-antropologis yang menciptakan hal-hal seperti itu. Dan untuk menciptakan pemahaman yang lebih mendalam adalah dengan mengkontekstualisasikan faktor-faktor tersebut dengan fenomena di zaman sekarang, bukan dengan meromantisasikan masa lalu
Sebelum menyelam lebih jauh memperbincangkan “Kenakalan perempuan”, alangkah lebih baiknya memahami definisi dari istilah nakal itu sendiri. Mengacu kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nakal adalah 1. Suka berbuat kurang baik (tidak menurut, mengganggu, dan sebagainya, terutama bagi anak-anak); 2. Buruk kelakuan (lacur dan sebagainya.[1] Mengacu kepada definisi yang kedua, sangat dekat sekali penggunaan kata nakal ini dengan perempuan.
Perempuan sebagai sebuah jenis kelamin dan gender memiliki pengertian yang berbeda pula. Jenis kelamin berkaitan dengan unsur biologis seperti memiliki alat kelamin, sedangkan gender berkaitan dengan unsur sosiologis seperti peran, pembagian tugas, dan kedudukan di masyarakat. Ketidakpahaman mengenai perbedaan ini akan menciptakan jurang pemisah yang akan menyulitkan seorang perempuan mengembangkan potensi pada dirinya.
Sebagaimana telah di lumrah kita ketahui bersama di masyarakat Indonesia, ada istilah yang seringkali disematkan kepada perempuan setelah menikah, “Dapur, Sumur, Kasur” adalah tempat kembalinya seorang perempuan, dan telah menjadi jati diri dan kewajiban mereka untuk mengelola itu semua. Barangkali, perempuan sekarang sudah banyak yang tidak memprioritaskan dirinya di sana. Sebabnya, karena pekerjaan-pekerjaan tersebut dapat dilakukan oleh seorang asisten rumah tangga. Meskipun demikian, banyak ocehan ataupun gunjingan dari masyarakat sekitar yang menganggap perempuan itu tidak taat pada suaminya dan menyematkan sifat nakal padanya.
Fenomena di atas, akan dapat diketahui segala asal muasalnya apabila dikaji melalui ilmu sejarah dan ilmu sosial. Berkaca kepada sejarah, di zaman dahulu sebelum hak-hak serta keamanan terhadap perempuan ditegakkan, seorang perempuan mudah menjadi sasaran kekerasan dan pelecehan seksual. Apabila seorang perempuan sudah dilecehkan ataupun sudah dianggap tidak perawan, akan menjadi aib bagi keluarganya. Maka masyarakat di masa lampau, menciptakan sebuah aturan tidak tertulis yang isinya perempuan tidak boleh keluar malam terlebih lagi tanpa pendamping.
Agama Islam juga mengatur masalah ini dengan salah satu hadits yaitu:Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَم
“Janganlah seorang wanita safar sejauh tiga hari (perjalanan) melainkan bersama dengan mahramnya“. [HSR. Imam Bukhari (1087), Muslim (hal. 970) dan Ahmad II/13; 19; 142-143; 182 dan Abu Daud].
Membaca hadits ini, haruslah disertai dengan pembacaan konteks di zaman itu, dimana seorang perempuan berpotensi menjadi korban dari kejahatan orang lain, dan berusaha mengangkat kaum wanita dari keterpurukan di zaman itu. Saat ini, dimana keamanan terhadap perempuan sudah menjadi urusan bersama, bahkan negara juga ikut andil. Sehingga perempuan saat ini tidak terlalu takut untuk bepergian. Semakin tinggi peradaban seharusnya semakin tinggi penghormatan nya terhadap kemanusiaan
Standar perempuan harus bisa memasak, mencuci, membereskan rumah, juga harus dipahami secara seimbang. Di satu sisi, kegiatan tersebut tidak hanya dilakukan oleh perempuan saja, seorang laki-laki pun alangkah baiknya juga melakukan kegiatan itu. Karena kodrat wanita terletak kepada unsur biologisnya, bukan kepada perannya di keluarga dan masyarakat. Menstruasi, melahirkan, dan menyusui adaah kodrat hakiki yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan. Itulah yang harus dipahami oleh masyarakat supaya kedudukan wanita dapat terangkat.
Dalam perspektif perkotaan,
kenakalan wanita akan menjadi lebih sedikit cakupannya, dikarenakan kesibukan
setiap individu untuk melakukan pekerjaan nya masing-masing, daripada
memperbincangkan urusan orang lain. Kebahagiaan seorang perempuan di kota
adalah ketika semakin sedikit aturan yang mengekang dirinya.
Kesimpulannya perempuan boleh
nakal, karena kenakalan yang dimaksud adalah membebaskan dirinya dari
ketertindasan yang mengakibatkan potensi dari dirinya untuk berkembang.
Harapannya para wanita dapat memberikan kontribusi nya kepada peradaban yang
selama ini selalu dibayang-bayangi oleh penindasan patriarki