Salah satu kabar yang cukup menghebohkan jagad pemberitaan nasional tahun ini adalah terbongkarnya masalah pencucian uang di lingkaran pejabat Menteri Keuangan. Tak tanggung-tanggung, menurt laporan PPATK angka uang yang dicuci sejak tahun 2009 sudah bernilai sekitar 349 triliun. Angka yang sangat fantastis bukan? Kalau mau buat perbandingan, dengan uang sebanyak itu mungkin dipakai untuk hapus 100% stunting pada bayi dan balita seantero negeri ini. Tapi apalah daya, mereka yang diberi amanat kalau sudah tidak amanah, rakyat bisa apa. Terkecuali ada lingkaran elit yang disumpah bekerja atas kehendak rakyat yang mau bekerja untuk kemaslahatan rakyatnya.
Dan syukur, bagi saya, masih ada orang di lingkaran elit yang seperti itu, di adalah Prof. Mahfud MD, seorang Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM. Secara mengejutkan dia membuat siaran pers dari kantornya untuk mengumukan berita ini kepada khalayak ramai. Konon katanya, kalau Mahfud mengumkan sesuatu permasalahan secara langsung di publik itu artinya dia kalah dalam adu pendapat dengan dalam rapat dengan orang-orang elit. Bukan kalah debat karena kurang reasoning dan logic, tapi karena memang kepentingan elit yang lain bukan untuk rakyat. Makanya Pak Mahfud bikin siaran pers, biar masyarakat tau dan sama-sama mendukung perjuangan pak Mahfud.
Nah, pasca viral, benar saja, pasca viral, Dewan Perwakilan Rakyat Komisi III memanggil Mahfud MD, Ketua PPATK, dan Ibu Mentri Keuangan dipanggil guna memberi penjelasan terkit transaksi ganjal yang diduga pencucian uang. Kata wakil kita yang di Senayan sana, kasus ini perlu diperjelas, untuk dimintai pertanggungjawaban atau mungkin biar yang terlibat bisa diproses pidana.
Singka cerita, PPATK, Menko Polhukam dan DPR duduk bersama dalam satu ruangan. Debatnya berjalan seru, bagi saya seru karena kekesalan saya terhadap DPR tewakilkan. Habis anggota yang terhormat itu dibantai oleh Pak Menko. Kalau kata Rocky Gerung, skor debatnya 5-0 untuk kemangan Mahfud Md. Sedangkan bagi saya sendiri, mungkin skornya 100-0, ya gimana, habis satu komisi dibabat olehMahfud seorang diri. Bagi saya itu adalah kemenagan mutlak.
Saya tidak ingin terlalu masuk pada konteks perdebatan mengenai beda data antara PPATK dan Kemenkeu. Bagi saya, hal yang paling menarik dalam rapat antara lembaga eksekutif dan legislatif tersebut adalah kejujuran dari seorang wakil kita, Pak Bambang Pacul namanya. Saat Pak Mahfud curhat mengenai lama dan sulitnya menyahkan undang-undang perampasan aset koruptor, mandek dipembasan selama bertahun,tahun, Bambang Pacul muncul sebagai Martin Luther. Dia memberi pencerahan pada kita Semua, bukan hanya untuk Mahfud. Katanya, mereka yang di ruangan itu sepakat-sepakat saja soal uu perampasan aset koruptor. Tapi kata Bambang Pacul, mereka yang di DPR itu kan mengikuti perintah bos. Bos yang dimaksud mungkin ketua partai fraksi-fraksi yang ada di DPR. Jadi walaupun mungkin secara pribadi mereka juga menginginkan uu tersebut disahkan, tapi atasanya tidak mau, yo piye, ga bisa dibahas lagi, mandek, macet total.
Akbat dari ucapanya itu, Pak Bambang Pacul habis dikatai-katai oleh netizen. Kadang kalau saya baca postingan di ig terkait ucapan Pak Bambang, netizen di Indonesia sudah seperti bangsa yang tidak mengenal adab-adab dalam pancasila. Kata benda yang ekuivalen dengan binatang, alat kelamin dan kata-kata mutiara habis mereka keluarkan untuk mencaci Pak Bambang Pacul.
Jujur, saya memiliki opini yang berbeda dengan mayoritas netizen tadi. Dan menyanyangkan tindakan yang kurang terpuji tersebut. Bagi saya mereka tidak paham bahwa Pak Bambang Pacul mengucapkan kebenaran, realita strukur politik kita. sebagai elit yang langsung bersentuhan langsung dengan realita pejabat-pejabat kelas elit, pak Bambang seharusnya diberi apresiasi, bukan cacian negatif. Dia berani mengucakan kalimat yang faktual, yang benar-benar tejadi. Bahwa wakil rakyat yang katanya menjadi representasi kepentingan dan keinginan publik, sebenarnya sudah berubah menjadi representasi kepentingan dari ketua-ketua partai mereka. Di saat wakil rakyat aliran mainstream masih beroterika bahwa dia mewakili kepentingan rakyat, bangsa dan negara, Bambang Pacul seorang diri berani keluar dari aliran mainstream. Dia adalah anggota DPR yang antimainstream yang berpihak pada kejujuran, walaupun pahit realita yang ia sampaikan. Lembaganya boleh saja hancur dan kehilangan kepercayaan di mata publik, tapi Bambang Pacul masih memegang satu prinsip, yaitu jujur dan apa adanya.
Ngomong-ngomong soal jujur, saya jadi teringat ucapan guru mata pelajaran saat saya sekolah dasar (SD). Pak guru mengatakan bahwa untuk dapat nilai 100 di mata pelajaran (mapel) agama itu tidak sulit. Satu syarat yang paling, kata guruku, kalian harus jujur. Kalau sudah jujur dan baik, gampang bagi pak guru untuk menulis angka 1 diikuti dua butir telur dibelakangnya. Toh, percuma hafal banyak doa, kalau tidak jujur. Kalau tidak hafal doa makan, yang rugi itu cuman kamu seorang diri, karena itu hubunganmu dengan tuhan. Tapi bayangkan kalau makan di kantin, ambil gorengan 3 tapi bayarnya bilang 1. Kan yang rugi ibu kantin. Kasihan. Maka, bagi pak guru saya, yang paling itu jujur.
Saya jadi berspekulasi, bahwa Pak Bambang Pacul pasti sering mendapat nilai 100 di mapel agama saat SD dulu. Buktinya sampai saat ini, saat dia sudah menjadi anggota DPR, nilai jujur itu masih dia pegang. saya juga mau berterima kasih pada guru agama Bambang Pacul saat SD dulu, karena berkat nasehatnya dulu, Pak Bambang bisa jujur mengakui bahwa wakil rakyat kita tidak lebih dari wakil ketua partai. Jadi mari kita beri tepuk tangan pada Pak Bambang, alih-alih mencaci beliau.
Seperti itulah pangan dari saya, seorang rakyat kecil di negara republik yang tidak memiliki wakil rakyat.
Ditulis Oleh Samsul Bakri