Aristoles dalam kerangka logikanya, pernah berujar bahwa
apabila satu unsur dikatakan sama dengan unsur lainya, maka syaratnya tiap-tiap
unsur tersebut harus memiliki kesamaan dan fungsi esensi mereka sama. Misalnya
dalam hal mendefinisikan sebuah rumah, maka harus diketahui dulu unsur-unsur
fisik bangunan rumah tersebut. Unsur dasar penyusun bangunan rumah pada tahap
paling sederhana tersusun atas, batu, semen, atap, besi beton, dan keramik.
Lalu unsur-unsur tersebut disusun sedemikian rupa dengan jasa ahli arstektur
dan tata desain interior. Kemudian berdirilah bangunan dengan berbaga ukuran.
Lalu pertanyanya, jika di saat yang bersamaan, saya melihat ada tumpukan ,
batu, semen, atap, besi beton, dan keramik di halaman tetangga saya. Bisakah
tumpukan material tersebut saya katakan sebagai rumah karena unsur-unsur
materinya sama persis dengan yang ada dalam rumah? Tentu saja serakan material
yang unsur-unsurnya sama dengan rumah tidak bisa saya sebagai rumah, karena
serakan material tersebut tidak memiliki esensi yang sama dengan rumah. Esensi
dari eksistensi rumah adalah tempat berlindung bagi manusia yang menghuninya.
Ketika hujan, dia berlndung dari dinginya air di balik tembok dan atapnya;
untuk menghindari serangan hewan buas ataupun keselamatanya diri dan hartanya
dari sesama homo sapiens. Serta tempatnya untuk pulang ketika mental
dan jiwanya sedang tidak baik-baik saja, entah karena toxic
relationship atau bisa juga saat galau dengan kondisi sosialnya. Tentu
saja tumpukan batu, semen, atap, besi beton, dan keramik tanpa disusun berdir
seperti rumah tidak mampu melakukan itu.
Susunan logika tersebut akan saya coba korelasikan dengan
fenomena hari ini, yakni Hari Buruh. Apakah terdapat kesesuain antara
perjuangan buruh dengan perayaan hari buruh? Pertanyaan in hendak saya ajukan
dalam konteks maraknya perayaan hari buruh yang dilakukan oleh organisai
mahasiswa. Misalnya HMI, yang dengan jelas dalam ad/art nya dikatakan peran HMI
adalah sebagai organisasi perjuangan. Saya melihat, bahwa hampir seluruh
komisariat yang ada di lingkup HMI cabang Semarang, termasuk cabang, ramai-ramai
memperingati Hari Buruh. Bentuk perayaan mereka diaktualisasikan dalam bentuk
sebar pamflet di media sosial. Adakah keselarasan antara perjuangan buruh dan
cara HMI di Semarang dalam memaknai hari buruh? Untuk itu, perlu sekirnya kita
telaah dari pangkal sejarah Hari Buruh dan unsur-unsur perjuangan mereka agar
diambil sebuah konklusi antara sesuai dan tidaknya.
Dalam Bukunya yang berjudul History of May
Day, Alexander Trachtenberg (1930), menjelaskan bahwa Asal
usul May Day terkait erat dengan perjuangan untuk jam kerja yang lebih
pendek—sebuah tuntutan signifikansi politik utama bagi kelas pekerja.
Perjuangan ini terwujud hampir sejak permulaan sistem pabrik di Amerika Serikat
Serikat. Meskipun permintaan untuk upah yang lebih tinggi tampaknya yang paling
banyak menjadi penyebab gerakan pemogokan, namun sebenarnya, jam kerja yang
lebih pendek dan hak untuk berorganisasi selalu disimpan di latar depan ketika
pekerja merumuskan tuntutan mereka terhadap bos dan pemerintah. Dasar tuntutan
tersebut lahir karena eksploitasi menjadi semakin intensif dan para pekerja
semakin merasakan tekanan dari jam kerja yang panjang dan tidak manusiawi,
sehingga permintaan untuk pengurangan jam kerja yang cukup besar menjadi hal
yang tidak bisa ditawar.
Upaya untuk mengurangi jam kerja tersebut disahkan pada
konvensi pendirian Serikat Buruh Nasional di tahun 1866 dengan resolusi hari
kerja yang lebih singkat:
“The first and great necessity of the present, to free
labor of this country from capitalist slavery, is the passing of a law by which
8 hours shall be the normal working day in all states in the American union. We
are resolved to put forth all our strength until this glorious result is
attained”
Mereka menuntut bahwa Kebutuhan pertama dan terbesar saat
ini, untuk membebaskan tenaga kerja dari dari perbudakan kapitalis, adalah
pengesahan hukum yang dengannya 8 jam akan menjadi hari kerja normal di semua
negara bagian di Amerika. Mereka bertekad untuk mengerahkan seluruh kekuatan
buruh hingga kejayaan bagi buruh tercapai. Keputusan untuk 8 jam sehari yang
dibuat oleh Serikat Buruh tersebut, juga disuarakan pada bulan
September tahun yang sama oleh Kongres Jenewa Internasional:
“The
legal limitation of the working day is a preliminary condition without which
all further attempts at improvements and emancipation of the working class must
prove abortive. . . . The Congress proposes 8 hours as the legal limit of the
working day.”
Kalimat diatas menyisaratkan bahwa batasan hukum hari kerja
adalah kondisi awal yang peling untuk perbaikan nasib dan emansipasi kelas
pekerja, yang tanpa dasar hukum jam kerja, maka usaha apa pun untuk memperbaiki
nasib kelas pekerja akan sia-sia. Maka kongres tersebut mengusulkan 8 jam
sebagai batas legal hari kerja.
Terdapat upaya yang bersifat jangka panjang dan terus
menerus sebelum akhirnya perjuangan buruh mencapai titik klimas sesuai harapan
mereka. Mereka konsisten untuk melawan.. Jumlah pemogokan selama
tahun 1885 dan 1886 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya menunjukkan
betapa semangat militansinya menjiwai gerakan buruh. Tidak hanya para pekerja
mempersiapkan aksi pada 1 Mei 1886, tetapi pada tahun 1885 jumlahnya pemogokan
sudah menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Selama tahun 1881-1884,
rata-rata jumlah pemogokan dan penutupan pabrik kurang dari 500, dan rata-rata
hanya melibatkan sekitar 150.000 pekerja setahun. Pemogokan dan penguncian pada
tahun 1885 meningkat menjadi sekitar 700 dan jumlah pekerja yang terlibat
melonjak menjadi 250.000; Pada tahun 1886 jumlah pemogokan lebih dari dua kali
lipat selama tahun 1885, mencapai sebanyak 1.572, dengan peningkatan
proporsional dalam jumlah pekerja yang terpengaruh sebanyak 600.000 orang.
Dalam perjalanan sejarah, setelah bangsa Indonesia
memperoleh kemerdekaan di tahun 1945 sampai pada masa orde lama, kondisi dunia
kerja (kaum buruh) tidak menunjukkan ke arah yang lebih baik dibanding pada
masa sebelum kemerdekaan (kolonial). Buruh yang bekerja di sektor pertanian,
sektor manufaktur skala kecil, dan menengah, seperti industri rokok dan tekstil
memiliki standar upah yang sangat kecil disertai kondisi kerja yang sangat
buruk. Demikian juga di era orde baru dan di zaman reformasi sekali pun,
kondisi buruh itu sangat memprihatinkan, yaitu standar upah yang jauh memenuhi
kebutuhan (sangat minim), kondisi kerja yang buruk, serta jaminan keamanan
kerja yang tidak menentu. Dalam hal ini berarti hak normatif buruh atau pekerja
yang mestinya mereka terima secara wajar sebagai hak dasar mereka, masih banyak
yang diabaikan oleh para pengusaha
Keberhasilan gerakan buruh di masa lalu kini laiknya menjadi
romantisasi sejarah. Sampai saat ini gerakan untuk emansipasi dan perbaikan
nasib buruh selalu menghiasi keseharian di negara kita. Beberapa bulan di
sepanjang tahun 2023 dan tahun-tahun sebelumnya, hampir setiap hari kita
membaca dan menyaksikan pemberitaan di media massa, baik cetak maupun
elektronik, mengenai ratusan bahkan ribuan tenaga kerja (buruh) yang berunjuk
rasa di sejumlah instansi, antara lain di depan istana negara, di gedung Dewan
Perwakilan Rakyat, sampai di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Apa yang
mereka inginkan sehingga rela mengorbankan waktu, tenaga, dan bahkan biaya yang
tidak sedikit dalam kegiatan ini, pada umumnya berkisar masalah hak normatif
dan masalah pemutusan hubungan kerja (PHK).
Banyaknya pemberitaan di media massa maupun munculnya aksi
demo mengenai masalah tenaga kerja atau perburuhan tersebut menunjukkan bahwa
masalah ketenagakerjaan atau perburuhan adalah suatu kenyataan yang telah
menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia. Terlebih ketika krisis
multidimensi ini belum dapat diatasi secara tuntas maka masalah
ketenagakerjaan/perburuhan akan selalu muncul setiap saat dan hal tersebut
memerlukan penanganan yang penuh arif bijaksana. Rekan pekerja atau buruh
tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah ikut ambil bagian
terhadap keberhasilan kinerja perusahaan mereka dalam meraih laba pada masa
sebelum munculnya permasalahan
Fakta nasib buruh yang masih buruk seharusnya menjadi
momentum bagi kita untuk merefleksikan kembali, untuk apa kita merayakan Hari
Buruh? Apakah sekedar menyebarkan pamflet “Selamat Hari Buruh” mampu menjadi
alternatif untuk memperbaiki nasib buruh? Rasanya-rasanya mustahil.
Jika kita menilik kembali bentuk gerakan yang dilakukan buruh di masa lampau,
bentuk perlawan yang mereka lakukan terhadap penindasan dalam sistem
kapitalisme, tidak lain adalah tndakan nyata turun kejalan dan melakukan
pemogokan. Sekalipun di masa itu sudah ada media sosial, akan sulit mencapai
tujuan pengurangan jam kerja tanpa gerakan nyata. Karena yang mereka hadapi
merupakan sebuah sistem besar yaitu negara yang didirikan untuk melindungi
kepentingan kelas pengusaha. Seperti kata Lenin, bahwa perubahan sosial yang ingin
menumbangkan kelas penindas yang dominan tidak cukup dengan kata-kata atau pun
pamflet. Upaya yang seperti itu tanpa gerakan nyata hanya akan menjadi sebatas
verbalisme tanpa efek langsung pada situasi faktual atau pun realita.
Jika ingin kita memaknai kembali sejarah perjuangan buruh di
Hari Buruh ini, baiknya kita meniru upaya-upaya yang mereka lakukan untuk
mengemansipasi kelas pekerja. Sekedar pamflet tanpa gerakan langsung yang
seperti dilakukan oleh sebagain besar komisariat dan cabang di HMI Cabang
Semarang justru menghilangkan nilai-nilai perjuangan buruh. Apalagi
organisasi kita, HMI, sudah mengatakan bahwa peran kita sebagai organisasi
perjuangan menjadi semacam tanggung jawab lebih yang harus kita emban. Jangan
sampai kita menjadi penumpang gelap dalam perjuangan buruh. Kita hanya
menikmati jam kerja yang singkat dan hari libur saja, tanpa melakukan apa-apa
dalam dalam meneruskan perjuangan buruh dalam menerima hak-hak
mereka. Sebagai konklusi atas logika Aristoteles, sebaran pamflet yang
dilakukan di hari Buruh tidak memiliki korelasi sedikit pun dengan esensi
peringatan hari buruh. Dan barangkali juga, dari sekian yang turut merayakan
hari buruh tidak memahami sejarah di balik pamflet yang ia buat, menurut
lawakan yang saat ini santer dikatakan banyak orang, jangan sampai HMI ini
menjadi organisasi pamflet. Tentu ini buka sentimen yang tanpa dasar, entah
dari sekian banyaknya jumlah kader aktif, bisa dihitung hanya segelintir dan
mungkin sedikit sekali kader yang masih mengikuti prosess ber-HMI. Proses ber
HMI selesai pada begadang 2 hari 3 malam untuk mengikuti LK 1.
Ditulis oleh Samsul Bakri