Judul Buku : Bumi Manusia
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Jumlah Halaman : 535
Penerbit : Hasta Mitra
Novel Bumi berlatarkan tahun 1898 dan memberikan gambaran menarik tentang kehidupan kolonial di Indonesia saat itu. Novel ini ditulis dengan tokoh utama Minke. Sebagai Pribumi ia tidak memiliki nama resmi, ia dipanggil dengan beberapa nama -- Sinyo atau Nyo, Gus, dan yang paling umum Minke. Ia adalah pribumi satu-satunya yang bersekolah di sekolah elit Belanda, H.B.S atau Hogere Burgerschool. Saat ini HBS setara dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Minke disekolahkan agar kelak menggantikan ayahnya sebagai Bupati Wonokromo.
Tetapi Minke tidak tertarik untuk mejadi Bupati. Sebagai seorang pribumi, dia bisa dianggap cerdas dan tidak kalah dengan orang-orang Belanda. Minke adalah seseorang yang jatuh cinta pada sastra dan memiliki kepiawaian dalam merangkai tulisan. Dalam seri Bumi Manusia ini, minke aktif menulis pada majalah dan koran Belanda dengan nama samaran Max Tollenaar.
Di awal novel, ia dikenalkan dengan selir sukses Nyai Ontosoroh dan putrinya yang cantik, Annelies, dan lambat laun ditarik masuk ke dalam kehidupan mereka. Novel ini mengajarkan jenjang hierarkis yang kontras antara pribumi dan orang Belanda.
Belanda berupaya mempertahankan status quo mereka sebagai puncak dalam stratifikasi sosial dan mencegah upaya-upaya dari pribumi untuk setara dengan mereka. Sebagai seorang terpelajar yang memahami semangat Revolusi Prancis, Kondisi tersebut menjadi dilema bagi Minke. Hidup ternyata menjadi paradoks bagi Minke -- di satu sisi pendidikannya mengajarkannya untuk berpikir dan bernalar serta percaya bahwa manusia bebas dan setara sementara di sisi lain struktur kolonial, di mana ia hidup, bekerja untuk memastikan bahwa hanya sedikit yang tersisa (perlawananya atas kondisi ini dimulai pada seri Anak Semua Bangsa, seri kedua setelah Bumi Manusia dalam Tetralogi Pulau Buruh).
Novel ini diisi dengan karakter dari berbagai latar belakang etnis -- terutama Belanda, Indo (orang-orang dengan keturunan Belanda-Pribumi), Pribumi, Prancis dan Cina. Menurut saya, hal mungkin disengaja oleh Pram sebagai penulis untuk memberikan gambaran bahwa lapisan-lapisan dan hak-hak yang ditetapkan semasa penjajahan berbede-beda. Dimana golongan tertinggi adalah Belanda atau orang Eropa, kedua Timur Asing (Cina, Jepang dll) dan paling dasar adalah Pribumi. Keberagaman etnis dan bangsa dalam novel ini memberi pembaca wawasan yang sangat baik tentang sruktur masyarakat yang kompleks pada masa penjajahan Belanda.
Jadi, secara sederhana ceritanya dapat dilihat sebagai seorang anak laki-laki pribumi yang cerdas bertemu dengan seorang selir kaya bernama Nyai Ontosoroh. Nyai merupakan seorang korban budaya patriaki, ia 'dijual' pada seorang Belanda tua yang kaya Raya bernama Tuan Mellema. Nyai Ontosoroh dan Tuan Mellema memiliki anak yang bernama Annelies Mellema. Anellies lahir dari orang tua tanpa pernikahan yang disahkan oleh hukum dan agama.
Minke kemudian jatuh cinta pada Annelies. Tapi kehidupan mereka bertiga menjadi rumit ketika Mauritus. Konflik antara Annelies, Nyai Ontosoroh dan Maurius mencapai titik pentingnya Tuan Mellema meinggal dunia. Pasca meninggalnya Taun Mellema, Maurits menuntut seluruh kekayaan perusahaan yang dimiliki Herman Mellema yang selama ini dibesarkan Nyai Ontosoroh. Bukan itu saja, ia minta hak asuh atas Annelies untuk dibawa ke Belanda.
Annelies pun juga menjadi korban tersebut sebab ia adalah anak sah Tuan Mellema. Annelies perlu dikembalikan ke Eropa dan harus rela meninggalkan Minke serta Nyai Ontosoroh. Mengapa Nyai tidak diikutsertakan? Hal itu karena memang sedari awal, Nyai tidak pernah menikah dengan Tuan Mellema secara sah sehingga ia pun harus mengikhlaskan semua perusahaan yang telah dibangunnya bersama Annelies itu.
Minke dan Nyai Ontosoroh mencoba semaksimal mungkin untuk mempertahankan dan melindungi perusahaan serta Annelies yang hendak dibawa ke Belanda. Akan tetapi, hukum Eropa tetaplah tidak memihak pada orang Pribumi seperti mereka (Minke dan Nyai Ontosoroh).
Kelebihan Novel ini
Novel ini mengandung banyak kalimat bijak yang bisa kita cermati dan implementasikan dalam keseharian kita. Misalnya. Di awal novel, "mentornya", seniman Prancis, Jean Marais, memberitahunya:
Kamu berpendidikan Minke. Seorang terpelajar harus belajar bertindak adil, pertama-tama dengan pikirannya, kemudian dengan perbuatannya. Demikianlah apa yang dimaksud dengan terdidik.
Nasihat inilah yang menjadi dasar pemikiran dan tindakan Minke sejak saat itu: dalam setiap ujian atau keputusan ia berusaha menerapkan pendidikannya. Lalu ada juga kalimat ucapan bijak guru favorit Minke, Magda Peters. Dia berkata:
... tanpa kecintaan pada sastra, Anda akan tetap menjadi hewan pintar
Selain itu dari novel ini kita bisa belajar sejarah. Jika kita malas untuk membaca buku dan artikel ilmiah dengan topik sejarah kehidupan masyarakat Indonesia di rentang tahun 1898 sampai dengan 1918, maka novel ini bisa menjadi alternatif. Kita tetap bisa belajar sejarah tapi sumber bacaan yang asik dan kalimat yang mengalir, sehingga pembaca tidak akan merasakan kebosanan atau rasa kantuk seperti Anda membaca buku atau jurnal ilmiah.
Kekurangan
Karena ditulis puluhan tahun lalu, beberapa kata dalam novel ini menjadi sulit untuk kita pahami. Namun, di balik kekurangan itu, tidaklah menutupi berbagai pelajaran positif yang dituangkan oleh penulis di dalam novel ini. Novel Bumi Manusia tetap layak dibaca dan dinikmati, bahkan sampai saat ini. Dengan kata lain, novel ini tidak akan habis termakan waktu.