Ditulis Oleh Samsul Bakri
Hemat saya, yang memperoleh mamfaat langsung dari kebijakan publik yang bijaksana ini adalah masyarakat Indonesia, khusunya yang ada di sekitar pesisir dan warga negara tetangga kita. Jadi PP ini murni untuk kemanusian
Pemerintah baru saja membuka keran pasir laut Indonesia. Legitimasi pembukaan keran tersebut didahuli dengan mencabut Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2003, yang salah satu pokoknya melarang penjualan pasir ke luar negeri alias ekspor. Tapi, aturan tersebut dicabut oleh Pak Jokowi dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023. Jadi ibaratnya dulu keranya ditutup Bu Mega, dibuka kembali oleh petugas partainya sendiri yang kebetulan sedang rangkap sebagi presiden.
Kalau saya sebagai warga negara yang biasa nonton debat politisi kelas elit di republik ini, juga menaruh curiga pada alasan kenapa aturan yang sudah tidak berlaku 20 tahun. Ya, soalnya biasanya kata teman saya yang anak hukum, suatu peraturan ini bisa diterbitkan, maka salah satu unsurnya harus ada kebutuhan yang mendesak. Supaya ada payung hukumnya. Misal, tiba-tiba seluruh masyarakt Indonesia jadi suka makan anak katak, tapi menurut ahli kesehatan, kebiasan memakan anak katak itu berbahaya buat kesehatan.
Nah, agar masyarakatnya 'ga pada mati' karena keracunan dari zat berbahaya cebong, pemerintah boleh mengeluarkan Perpres misalnya larangan makan cebong. Mungkin biar masyarakat jera dan patuh, biasa diancam dengan hukuman pidana 100 tahun ditambah denda 1 triliuan rupiah. Saya yakin, tidak ada lagi yang berani makan cebong. Sekalipun ada paling segelintir, yang makan sembunyi-sembunyi, atau bisa juga mereka yang bisa menyuap aparat berbaju coklat idaman mertua-mertua di desa saya. Kira-kira begitu kata teman saya, jadi intinya produk hukum itu harus berangkat dari suatu masalah yang harus segera ditangani.
Lalu bagaimana dengan PP No 26? Apa sih yang membuat pemerintah akhirnya ngebet buat terbitin PP itu? Jangan-jangan negara kita ini udah kelebihan pasir laut. Kemungkinan begitu, soalnya kita ini negara dengan garis pantai terpanjang nomor dua di dunia. Panjangnya itu ga main-main, sampai 81.000 km lebih. Kalau ngajak doi jalan-jalan sore di atas hampran pasir pantai sepanjang itu, mungkin sampai punya cucu ga selesai-selesai. Tapi karena saking identiknya pasir dengan aktivitas rekreasi, tidak sedikit juga yang menyalahgunakan pantai. Biasanya abg yang lagi memadu asmara sama kekasihnya.
Di bawah rembulan malam, angin laut yang tenang, nyanyian ombak yang berkejaran jadi semacam penambah gairah pasangan muda-mudi. Makanya tidak heran kalau kita sering menjumpai tenda bergoyang di pinggir pantai meskipun anginya lagi tenang. Dari luar, kita bisa melihat sesuatu yang seperti adegan wayang yang hanya kelihatan bayang-bayangan. Dari kisah Perang Pandawa, Hanoman hingga kisah Koboi dari negara Pam Sam bisa mereka peragakan.
Jadi tidak heran kalau salah satu jenis sampah yang paling banyak di pantai adalah balon bening tipis nan elastis. Misalnya beberapa waktu lalu, pas ada kegiatan bersih pantai di Bali, di sana banyak ditemukan balon tipis, biasanya di dekat semak-semak juga ada.
Begitu pengakuan dari petugas kebersihan di sana. Ada juga yang buang balon bekasnya di pondok-pondok dekat pantai. Kan kasihan masyarakat yang lagi mau rebahan tiba-tiba di bawah kepalanya ada balon yang berisi sedikit santan Kara (merek bumbu santan praktis). Saya misal jadi masyarakat sekitar pendopo itu pasti tidak mau kalau pas rebahan untuk istirahat dari letihnya memukat ikan harus diganggu dengan aroma santan yang sudah sedikit amis.
Tapi permasalahnya tidak berhenti sampai di situ. Biasanya mereka yang melakuan adegan wayang orang dari balik tenda maupun semak-semak itu biasanya belum punya izin manggung, baik itu dari negara maupun hukum. Secara moral, tentu itu tidak boleh. Karena nanti banyak azab buruk yang menimpa masyarakat sekitar desa. Nah, solusi biar desa tidak terkena azab, maka mereka yang buka pertunjukan tanpa lisensi harus dilarang manggung di sana. Tapikan kadang mereka melakukanya secara diam-diam. Lantas bagaimana solusinya?
Saya yakin untuk itulah PP No 26 yang membolehkan ekspor pasir laut dikeluarkan. Kalau pasirnya di jual ke luar negeri, maka pasir di Indonesia habis. Kalau pasirnya habis maka tidak ada lagi yang show-show ilegal di sepanjang pantai Indonesia. Kalau show ilegal itu tidak ada maka desa sekitar pantai tidak ditimpa musibah. Istilahnya biar ga ada panggung illegal lagi, maka harus kita bongkar sekalian panggungnya. Sifat hukum memang begitu. Harus bersifat memaksa.
Oleh karena itu, dalam sudut pandang saya, kebijakan pemerintah yang membolehkan izin jual pasir ke luar negeri itu pengusaha pasir, bukan untuk pengusaha pasir, mafia, elit politik dan beragam sangkaan buruk lainya. Bagi saya PP No 26 2023 adalah murni demi kemanusian. Untuk kemaslahatan seluruh masyarakat Indonesia wabil khusus yang berada di daerah pesisir pantai dan masyarakat negeri tetangga. Kenapa ada negeri tentangga? Karena berdasarkan apa yang saya baca, ada tetangga kita yang kecil wilayah daratanya.
Daratan yang terbatas, sedangakan keperluan infrastruktur bertambah. Belum lagi kebutuhan perumahan bagi warga negara mereka yang kian bertambah pula. Solusinya harus ada pasir buat pijakan gedung-gedung baru di negara tetangga kita. Mereka bisa bangun wahana hiburan diatasnya, perumahan, hotel dan lain-lain. Bayangkan kalau seandainya kita tidak mau memberi pasir kita? Mau tinggal dimana warga negaranya? Kolong jembatan?
Mari berpikir tenang dan cermati niat baik pemerintah kita ini. Dan sebagai negara pancasila yang menganut sila kemanusian yang adil dan beradab, maka saya sangat mendukung niat baik bagi kemanusian yang diinisiasi oleh Pak Jokowi ini.