Saya bukan orang yang mendalami secara komprehensif dan
mendalami betul dunia filsafat, layaknya seorang pengajar, atau pun mahasiswa
jurusan filsafat. Saya membaca filsafat sekedarnya saja, itupun tidak sering
membaca tulisan dari buku mereka secara langsung. Saya lebih sering membaca
buku-buku filsafat yang sudah diinterprestasikan oleh penulis lain. Alasanya
sederhana, teks asli mereka sangat sulit untuk dicerna oleh orang awan seperti
saya, karena ada banyak diksi yang dibangun oleh sistem filsafat di tiap-tiap
filsuf. Tidak heran, ada banyak dikotomi pada premis-premsi utama dari tiap
filsuf. Banyaknya dikotomi tersebut membuat oarang awan seperti saya lebih
menikmati karya-karya besar filsuf dengan membaca buku teks yang disederhanakan
oleh mereka yang bergelut dengan alam pikir filsuf lalu, lalu diparafrase agar
lebih mudah diterima oleh pembaca dari berbagai kalangan.
Ada dua peristiwa yang datang secara bersamaan lalu
memotivasi saya untuk menulis artikel ini. Pertama kabar penahanan terhadap 15
mahasiswa di Kabupaten Bima dan Filsafat Moral Imanuel Kant. Saya mendengar
informasi tentang 15 mahasiswa yang ditahan dari beberapa teman HMI di Semarang
yang kebetulan berasal dari Kabupaten Bima. Sedangkan Filsafat Moral Kant
secara ringkas saya temukan dalam buku Filsafat Sebagai Ilmu Kritis Karya Franz
Magnis-Suseno, lalu saya telaah lebih dalam lagi pikiran filsafat moral Kant
dari beberapa jurnal dengan topik spesifik mengenai moral imperatif kategoris.
Saya akan berusaha menunjukan dimana korelasi kedua peristiwa tadi.
Pertama-tama, mari kita urai apa yang terjadi sehingga 15
mahasiswa di Bima ditahan oleh polisi. Informasi yang mungkin singkat tapi ‘straight
to the point’ ini saya peroleh dari teman. Begini kronologi ringkasnya,
beberapa hari lalu, sejumlah mahasiwa di Bima melakukan demonstrasi. Substansi
dalam demonstrasi tersebut adalah meminta agar jalan penghubung antar desa
segera diperbaiki. Saya tidak tahu apakah itu jalan provinsi atau jalan
kabupaten, tapi poinya, mereka menghendaki agar jalan yang sudah rusak selama
sembilan tahun tersebut segera diperbaiki. Unjuk rasa berlangsung terus
menerus, namun tuntutan mereka belum juga dianggap. Suara bisikan nyamuk ketika
tidur akan diberi perhatian dengan mengibaskan tangan di udara, meskipun
nyamuknya akan kembali lagi. Sedangkan ini suara manusia yang menuntut tanggung
jawab dari pemerintah diabaikan seperti tak terjadi apa-apa. Kalau mau pake
silogisme, yang ditanggapi itu yang lebih penting, bukankah sikap diam birokasi
dalam menyikapi tuntutan rakyat Bima adalah sama halnya dengan menurunkan kasta
suara rakyat di bawah suara nyamuk?
Setelah empat hari menyampaikan perasaan yang tidak
berbalas, si tuan mulai melirik suara rakyat. Namun bukan respon positif yang
didapat, mereka ditangkap dan dipenjarakan. Selamat, suara rakyat sudah sama
dengan suara nyamuk. Hanya saja nyamuk ditepuk, rakyat dipenjara, itu bedanya.
Kata orang-orang berbaju coklat, berotot kekakar dan kadang-kadang perut
buncit, mereka perlu dibina karena mengganggu ketertiban umum. Mereka dianggap
selama empat hari telah mempersulit hidup masyarakat yang mau beraktivitas.
Narasi ketertiban umum memang ngeri, yang mengganggu kepentingan umum berarti
merenggut kebebasan banyak orang. Kata orang, kebebasan itu boleh, asal
bertanggung jawab. Padahal terdapat hubungan timbal balik antara pengertian
“kebebasan” dan “tanggung jawab”, sehingga orang yang mengatakan “manusia itu
bebas” maka dengan sendirinya menerima “manusia itu bertanggungjawab”. Tidak
mungkin kebebasan (dalam arti sesungguhnya) tanpa tanggung jawab dan tidak
mungkin tanggung jawab tanpa kebebasan. Cukup sering kita mendengar orang
berbicara tentang “kebebasan yang bertanggung jawab”, namun sebenarnya ungkapan
tersebut adalah tautologi, dimana pengertian yang satu sudah terkandung dalam
pengertian yang lainnya. Oke, itu anggap hanya sedikit pelajaran bahasa
Indonesia.
Mengapa tuntutan menjaga kepentingan umum hanya diletakan
pada masyarakat?
Mari kita kembali pada pokok yang paling dasar, mengenai hak
dan kewajiban. Hak adalah sesuatu yang sudah melekat pada tiap-tiap orang.
Syarat untuk mendapatkan hak hanya satu, dia manusia. Selama dia manusia maka
dia punya hak. Dalam pelaksaan konkretnya, hak yang paling dasar dari manusia
adalah hak untuk untuk hidup. Jika kita adalah seorang utilitarian, maka hak
hidup kita hanya boleh diserahkan apabila tindakan menghilangkan hidup tersebut
mampu membawa kemaslahatan umum. Namun saya lebih suka menjadi seorang
libertarian, bahwa kita memiliki hak kita tanpa harus ada intervensi kekuatan
dari luar. Jika saya adalah saya yang hidup, maka diri saya sendiri pun tidak
boleh mengambil hidup saya. Artinya tidak boleh ada yang bisa mengambil hak
hidup saya, termasuk saya sendiri. Kalau kata John Locke, yang memasukan unsur
transedental, kita adalah bagian dari ciptaan tuhan yang bertanggung jawab
untuk menjaga apa yang telah diberikan pada kita. Memang kesimpulan ini mungkin
sedikit mengecewekan bagi mereka yang mungkin tidak percaya pada eksistensi
tuhan atau hal-hal yang bersifat diluar batas pengalaman manusia. Tapi mari
kita pakai argumen Hegel yang juga disinggung oleh Buya Hamka dalam buku Lembaga
Hidup. Hegel percaya bahwa tuntutan etika bukan sesuatu yang didapat oleh
individu, seseorang akan menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk
tergantung pada masyarakat dan negara. Ketika seorang individu sudah memilih
untuk hidup dalam masyarakat maka mutlak dia adalah anggota masayarakat yang
bersangkutan. Maka konsekuensinya ia tidak lagi menjadi individu yang terpisah
dari masyarakat. Ia adalah bagian dari masyakarat. Maka apa pun yang hendak ia
lakukan termasuk pada tubuhnya sendiri tidak boleh melanggar tujuan hidup
masyarakat. Apa itu tujuan masyarakat? Menurut Hegel, mencari kebahagiaan
adalah tujuan masyarakat. Sedangkan ketika seseorang mengakhiri hidupnya maka ia
mengingkari tujuan masyarakat, ada keluarga dan sahabat yang sedih akibat
kepergianya, selain itu masyarakat juga kehilangan anggotanya.
Saya percaya bahwa hak itu memang ada di tiap individu, tapi
dengan cacatan jangan sampai hak itu mencederai hak orang lain, dalam hal ini
saya sepemikiran dengan gagasan hak yang dibatasi oleh kepentingan umum. Dengan
kata lain, batas dari hak adalah hak dari orang lain. Saya berhak untuk
berteriak namun ada hak untuk tidur dengan tenang bagi tetangga kos saya. Saya kira
batasan itu yang harus kita perjelas. Hak kita untuk bebas tapi kewajiban kita
juga untuk mengormati hak orang lain dalam sudut pandang bahwa kita setara
sebagai manusia. Jadi ada dua hubungan ketika dua entitas yang sama-sama
memiliki hak, tapi di saat yang bersamaan dia juga memiliki kewajiban.
Menghormati hak merupakan kewajiaban, namun ketika kewajiaban untuk menghormati
hak tidak dilakukan, maka ada konsekuesnsi yang harus diterima.
Susunan argumen tadi akan coba saya korelasikan dengan apa
yang terjadi di Bima. Ada rakyat yang memuntut hak-hak mereka sebagai warga
negara. Tidak harus membawa-bawa nama demokrasi dan isme-isme Barat yang berat,
cukup kita berangkat dari amanat konstitusi. Dalam beberapa kalimat di
pembukaan UUD 1945, negara mengusahakan kesejahteraan umum. Hidup untuk
sejahtera layaknya memang tujuan yang ingin dicapai semua orang, tapi negara
dengan gagah berani mengatakan secara implisit bahwa dia akan membantu mencapai
hak hidup makmur bagi seluruh warga negaranya. Makanya, ada mekanisme pengumutan
pajak. Melalui pajak ini, pemerintah melakukan intervensi guna membantu
upaya-upaya rakyat dalam mencapai tujuanya. Kewajiban masyarakat adalah
membayar pajak. Sedangkan hak mereka adalah memperoleh mamfaat-mamfaat dari
pajak yang telah mereka bayar. Jadi seperti itu relasi hak dan kewajiban dalam
konteks negara dan masyarakat.
Tapi kenapa birokrasi yang dituntut untuk memiliki kewajiban?
Sederhana, karena mereka adalah orang-orang yang diberikan wewenang masyarakat untuk
mengatur dan mengelola urusan publik. Mereka diberi kemudahan, gaji, dan hidup
mewah dari uang yang ditarik paksa alias pajak. Di setiap anggaran perjalanan
dinasnya (jalan-jalan), ada uang masuk dari PPN dari seorang mahasiswa ketika indomie
goreng. Ada uang pajak dari nenek-nenek penjual gorengan saat membeli minyak
goreng di Indomaret, dst. Selain itu, mereka dipilih dan memilki jabatan untuk
berkuasa karena legitimasi publik, orang banyak, itulah kenapa kita republik
bentuk negaranya, tapi sayangnya mungkin mereka yang berkuasa tidak paham dengan konsekuensi bentuk negara kita
sendiri. Nah, legitimasi yang diperoleh dari publik harus dikembalikan
pertanggungjawabanya pada publik. Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) dan
perangkat eksekutifnya, saya yakin, ketika masa pemilihan kepala daerah
memiliki janji, untuk memanjukan perekonomian di daerahnya, dan menjamin hak-hak
dasar warganya terepenuhi. Rakyat NTB sepakat, “Iya, baik kita pilih kamu, hak-hak
kami sebagian kami berikan, dan sekarang karena kamu pejabat, maka kami beri
legitimasi untuk berkuasa”. Rakyat sudah memberikan hak kepada kepala daerah
berupa legitimasi untuk berkuasa, menyumbang uang pajak sebagai amunisnya dalam
bekerja, sedangkan kewajiban kepala daerah tinggal menjalankan janjinya-janjinya
sesuai dengan apa yang dicitakan oleh masyarakat.
Sayangya, birokrasi di Bima berbohong, rakyatnya ditipu. Kewajibanya
tidak dia tunaikan, sembilan tahun jalan rusak. Saat rakyat menagih janji,
mereka ditangkap, dianggap mengganggu kepentingan publik. Bagi saya, penangkapan
terhadap 15 rakyat yang menuntut perbaikan jalan adalah sebuah kesesatan
berpikir dan kekejaman terhadap publik dan negara republik. Telah saya urai sebelumnya,
bahwa tiap-tiap dua entitas bertemu, mereka memiliki hak dan kewajiban secara
bersamaan. Hak wajib dipenuhi dan kewajiban wajib ditunaikan. Rakyat Bima telah
menunaikan hak mereka untuk memberikan wewenang kepada pihak eksekutif, adalah
kewajiban dari eksekutif untuk memenuhi hak-hak rakyat Bima. Logika ini yang
harusnya dipegang. Tapi apa yang kita saksikan di Bima sangat kontras, rakyat
sudah menunaikan hak-hak mereka, ketika mereka menuntut hak, mereka
dipenjarakan dengan dalih mengganggu kepentingan umum. Kalau dalih itu yang
kita pakai, bisakah saya memenjarakan birokrasi Bima karena bagi saya lebih
lama mengganggu kepentingan umum. Sembilan tahun jalan rusak, sudah berapa
orang yang mati kecelakan karena jalan rusak; sudah berapa banyak orang yang
harus di rawat di rumah sakit karena jalan rusak; sudah berapa orang yang dipersulit
hidupnya karena jalan rusak; sudah berapa kali motor rusak karena jalan rusak; Sudah
berapa orang yang menderita penyakit paru-paru akibat debu dari jalan rusak dan
berapa biaya yang harus ditanggung untuk semua itu? Bisakah pemerintah dimintai
pertanggungjawaban atas semua kerugian ittu? Loh kenapa menyalahkan pemerintah?
Belum dapat logikanya? Mereka itu orang yang sudah disumpah untuk setiap pada
pancasila dan UUD 1945, tapi mungkin mereka juga tidak pernah baca. Selain itu,
kalau mengikuti logika formalnya, itu lohh hak rakyat untuk dikasih, kalian
tinggal penuhi kewajiaban kalian. Harusnya ketika mereka menutut, didengarkan
dan dipenuhi, bukan malah dipenjara. Sebagai pengingat, tolong kepada
kepolisian, bisakah birokasi yang membiarkan fasilitas publik tidak diurus dan
merugikan masyarakat turut dipenjara? Sebab, merekalah yang mengganggu
ketertiban umum.
Untuk 15 Mahasiswa yang Ditangkap, bagi saya kalian sudah
benar.
Di sini saya ingin masuk ke subtansi imperatif kategoris
dari Imanuel Kant. Adalah jasa dari Immanuel Kant bahwa ia untuk pertama
kalinya dalam sejarah pemikiran manusia membedakan antara hukum dan moralitas.
Hukum adalah tatanan normatif lahiarh masyarakat. Lahiriah dalam arti bahwa ketataan
yang dituntut olehnya adalah pelaksanaan lahiriah, sedangkan motivasi batin
tidak termasuk. Maka legalitas, ketaatan lahiriah terhadap sebuah hukum,
peratutan atau undang-undang belum berkualitas moral.
Sikap yang berkualitas moral oleh kant disebut dengan
moralitas. Moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum.
Sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia. Sebuah hukum atau
aturan dari luar hanya mengikakat secara moral kalau diyakini dalam hati.
Moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati disadari sebagai
kewajiban mutlak. Sejak Kant, sebuah sikap atau tindakan hanya dapat dianggap
moral apabila diambil secara otonom, artinya berdasrkan kesadaran sendiri
tentang kewajiban.
Maka untuk selamanya, Kant mengakhiri percampuran yang bisa
fatal bagi moralitas, antara ketaatan terhadap berbagai hukum dan ketaatan pada
kewajiban moral. Baru dengan Kan itu, kita dapat memahami secara teoritis dan
etis mengapa bisa terjadi bahwa seseorang dapat melanggar hukum justru karena
dia bermoral dan bukan karena ia orang tek bermoral. [1]
Mereka melakukan aksi demostrasi bukan karena mereka tidak bermoral dengan melanggar
pasal tentang ketertiban umum, tapi atas dasar dorong dari diri sendiri.
Dorongan dari batin sendiri yang tidak tahan atas sulitnya hidup orang-orang di
sekitarnya akibat jalan rusak yang tak kunjung diperbaiki.
Bagi saya mereka yang unjuk rasa menuntut perbaikan jalan
adalah orang-orang yang memiliki kewajiban untuk patuh pada hukum moral yang
datang dari dirinya sendiri, dari kendendak yang merupakan realisasi dari rasio
praktis. Hukum moral dari mereka adalah suatu permintaan dari diri sendiri,
suatu perintah suatu impeartif. Perintah dari akal budi ini, dalam istilah Immanuel
Kant sebagai Kategorischer Imperatif, kategoris imperatif yang bertindak
atas aus Pflicht, demi kewajiban[2].
Kesusilaan yang berlaku umum harus didasrai oleh unsur-unsur yang apriori,
yaitu kehendak baik, karena tak ada yang baik laiknya kecuali kehendak baik.
Kehendak baik tidak tergantung dari hasil yang akan dicapai, tetapi bertindak
baik karena baik dan demi kewajiban.
Meraka sudah dengan watak lembaga negara, trias politika,
sama semua, kepal batu dan hanya tau menuntut kewajiban rakyat tapi enggan memenuhi
kewajibanya sendiri. Tapi tanpa memikirakn hasilnnya ketika berteriak di hadapan
birokrasi yang tuli, mereka tetap melakukan demonstrasi, karena seperti
kata-kata bijak, diam hanya akan memperpanjang jalan rusak. Jadi sikap baik
mereka untu-untuk panas-panasan ditengah terik matahari, tenggorokan yang serak
karena beteriak murni atas kehendak baik dari dalam batin. Secara pembacaan
pasal hukum yang kaku, kalian mungkin dikenai delik hukum, tapi bagi kami, apa
yang kalian lakukan sudah benar secara moral.
Ditulis Oleh Samsul Bakri
[1] Dikutip dari Buku Filsafat Sebagai
Ilmu Kritis Karya Franz Magnis Suseno
[2] Dari Jurnal Filsafat Indonesia,
1995, Endang Daruni Asali, Imperatif Kategoris dalam Fisalafat Moral Immanuel
Kant