Ditulis Oleh Junaidin, kader HMI Hasim Asyari
HMI adalah organisasi mahasiswa Islam yang didirikan di
Yogyakarta pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan tanggal 5
Februari 1947. Didirikan oleh Lafran Pane beserta kawan-kawanya karena tuntutan
gejolak sejarah revolusi Indonesia. Dimana saat itu situasi bangsa Indonesia
yang baru merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 menghadapi berbagai problem.
Beberapa item yang menjadi dasar
berdirinya HMI ialah keadaan dan situasi negara Indonesia yang kembali diinvasi
oleh negara imperialis Belanda; kondisi umat Islam Indonesia yang masih kolot
(Islam konservatif); dan radikalisasi ideologi kiri dikalangan mahasiswa yang
di pelopori oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Secara singkat ketika kita
berbicara mengenai semangat HMI dari awal berdirinya hingga sekarang ialah
melingkupi tiga item diatas
(keislaman, keindonesiaan dan kemahasiswaan)
Berbicara HMI cabang Semarang hari ini, di bawah
kepemimpinan saudara Rosyid beserta pengurusnya, yang dilantik secara sakral,
disumpah dibawah kitab suci Alquran, tepatnya pada tanggal 14 April 2022.
Hingga sekarang kepengurusan saudara Rosyid sudah berjalan 12 bulan dan akan
segera purna, namun tidak ada satupun agenda-egenda program kerja dan
gerakannya yang memiliki orientasi maupun output yang jelas.
Selama kepemimpinan saudara Rosyid, dimana HMI cabang
Semarang yang sebelumnya di-caretaker karena
kepemimpinan yang otoriter yang menegasikan konstitusi dan idiologi. sehingga
HMI Cabang Semarang tidak jelas arahnya, yang pada akhirnya terjadi
pengkatekeran. Maka dengan adanya kepemimpinan yang baru, harapan-harapan yang
telah menumpuk akan adanya perubahan yang signifikan untuk menggerakkan
organisasi kejalur yang benar sesuai dengan konstitusi dan semangat awal
berdirinya HMI. Harapan untuk memperbaiki berbagai persoalan yang terjadi pada
HMI cabang Semarang sangat besar dari kalangan kader-kader HMI di seluruh
komisariat maupun korkom HMI Semarang. Dimana
poin-poin penting kesamaan keresahan tersebut dibahas dan dirumuskan secara
terperinci dalam rapat komisi Konfercab (Konferensi Cabang). Rapat komisi
merupakan rapat dimana aspirasi-aspirasi dari seluruh kader dirumuskan untuk
menjadi roadmap bagi pengurus
selanjutnya untuk membawa organisasi ke jalan yang benar. Rapat komisi juga
dilakukan sebagai upaya untuk mengambil keputusan yang menyangkut hal-hal
strategis dan mendasar berkaitan dengan langkah kebijakan organisasi. Caretaker
terhadap HMI cabang Semarang tahun lalu merupakan aib bagi organisasi dan
sekaligus klimaks dari menumpuknya masalah yang terjadi di HMI cabang Semarang,
Sehingga harapan akan calon yang akan memimpin HMI cabang Semarang selanjutnya,
merupakan orang-orang yang harus benar-benar mampu amanah dan memahami problem
yang terjadi. Kepemimpinan yang betul-betul sesuai dengan apa yang digariskan
dalam konstitusi HMI. Namun sepertinya harapan itu mulai terlihat semu ketika
hari ini kita menyaksikan bersama HMI cabang Semarang dibawah kepemimpinan
saudara Rosyid dkk. "Mengalami
stagnasi dan disorientasi perjuangan", penulis menilai pengurus HMI Cabang
Semarang tidak mengerti problem sehingga wajar saja arah organisasi kemana
tidak ditau. Ketidakpahaman pengurus tersebut bisa sangat berbahaya terhadap
keberlangsungan organisasi sekelas HMI yang memiliki tugas moral untuk menciptakan
masyarakat adil dan makmur. Ketidakpahaman pengurus HMI cabang Semarang bisa
kita lihat dari berbagai indikator, diantaranya watak kepemimpinan dan
program-program kerja pengurus yang dilaksanankan (tidak memiliki orientasi dan
capaian yang jelas).
Makna HMI sebagai organisasi secara sederhana dapat kita
pahami sebagai kelompok yang terdiri dari ndividu-individu yang memiliki tujuan
bersama, yaitu kesatuan cara pandang terhadap tujuan organisasi
(integralistik), makna "'tujuan bersama" dapat kita pahami bahwa
koneksi maupun korelasi antara individu dengan organisasi tidak bisa
dipisahkan, sebab diikat dengan garis konstitusi maupun idiologi untuk mencapai
tujuan bersama. Definisi tersebut mengisyaratkan bahwa organisasi memiliki
tanggungjawab untuk mengisi otak si anggota atau kader, anggota atau kader
merupakan satu-kesatuan organisasi yang harus dipahami secara parsial,
sebaliknya individu atau kader tanggungjawab terhadap organisasi, konsekuensi logis dari semua itu
berimplikasi langsung pada nafas setiap kader yang terpusat pada satu cara
pandang (idiologis).
Kita mengetahui bersama HMI cabang Semarang yang tahun lalu di-carateker, dimana kepengurusan
sebelumnya memimpin dengan pola kepemimpinan yang bertentangan dengan
organisasi. Akibat dari semua itu HMI cabang Semarang kehilangan arah dan
klmikasnya terjadi pengkatekeran terhadap HMI cabang Semarang. Berangkat dari
pengalaman buruk yang menimpa HMI Cabang Semarang tersebut, maka HMI cabang
Semarang harus benar-benar dipimpin oleh orang-orang yang paham bagaimana
memimpin HMI. Sebagaimana yang diatur
dalam konstitusi dan idiologi HMI, dimana seluruh pengurus diharapkan merupakan
orang-orang yang memiliki kompetensi, orang-orang tersebut adalah mereka yang
sudah terseleksi baik secara kapasitas intelektual dan sepak terjangnya selama
berHMI. Pengurus merupakan perwakilan kader komisariat yang paling kompeten dan
memiliki kecakapan dalam mengelola organisasi, dimana wujud dari pemahaman
pengurus tersebut nantinya akan tercermin dalam watak kepemimpinan dan
program-program kerja yang dieksekusi memiliki output dan capaian yang jelas. Bukan
program kerja serampangan demi eksistensi semu, urgensi terhadap hal-hal yang
disebutkan diatas merupakan keniscayaan yang harus dipahami oleh pengurus HMI
Cabang Semarang, sebab pengurus merupakan orang-orang yang secara teknis lebih
mudah mengeksekusi kebijakan karna memiliki legitimasi secara struktural.
Berbicara HMI cabang Semarang dibawah kepemimpinan saudara
Rosyid hari ini, di ujung senja jabatan kepemimpinannya, tidak ada satupun
indikator yang menjadi tanda-tanda kemajuan HMI cabang Semarang. Mulai dari
program kerja hingga kehadiran HMI cabang Semarang yang hampir nihil di lingkaran
konsolidasi dan aksi massa. Ini memberikan gambaran bahwa pengurus HMI cabang
Semarang tidak memilki pemahaman mempin HMI dan posisi HMI sebagai organisasi
perjuangan. Salah satu problem yang paling besar mislanya kealpaan pengurus HMI
Cabang Semarang dalam mengadvokasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat,
hal ini mengikis identitas HMI yang sedari awal merupakan organisasi
perjuangan.
Adalah sangat kontradiktif dengan peran HMI sebagai
organisasi perjuangan bila HMI tidak berjuang untuk keadilan dan kemakmuran
rakyat. Adalah kemustahilan cita-cita maupun tujuan organisasi dapat diwujudkan
bila sekelas pengurusnya selalu tidak hadir dalam agenda-agenda konsolidasi dan
gerakan massa. Adalah omong kosong bagi pengurus HMI cabang Semarang yang
membicarakan perubahan-perubahan sosial yang besar bila HMI tidak
merdialektikakan problem-problem sosial, apalagi untuk dapat mengubah setiap
orang maupun kelompok di luar HMI menjadi simpatisan atau bagian tambahan yang
mendukung perjuangan HMI, dalam hal membangun koneksitas antara organisasi
dengan kelas-kelas perjuangan lain pun
tidak ada.
Ditengah menumpuknya persoalan pada bangsa hari ini, dimana
manusia sedang menghadapi bencana besar dari sistem masyarakat kapitalis,
dimana semaju apapun pengetahuan dan alat kerja, industri-induatri manusia,
tidak ada sangkut pautnya dengan keberlanjutan dan pemerataan kesejahteraan
manusia (peradaban semu).
Segelintir manusia yang bermodal besar (oligarki), memiliki
pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan raksasa, memiliki kepentingan lebih
hebat dalam mengeksploitasi sumber daya alam, mengeksploitasi manusia sekadar
demi birahi kekuasaan, akumulasi kapital dan perluasan modalnya, sementara jutaan
rakyat mengalami stunting. Belum lagi persoalan politik, korupsi, lingkungan,
KKS, pelanggan HAM, kemiskinan, naiknya berbagai bahan pokok yang bertentangan
dengan kemanusiaan.
Tidak ada satupun persoalan yang disebutkan diatas
didiskusikan secara serius oleh pengurus HMI cabang Semarang. HMI cabang
Semarang dibawah kepemimpinan Rosyid gagal dalam hal membaca kenyataan dan
menerjemahkan soal-soal yang terjadi pada bangsa hari ini. Dimana minimnya agenda diskusi dan dialektika
pengurus HMI cabang Semarang berimplikasi langsung pada matinya kritisisme
kader terhadap isu-isu nasional maupun regional. Argumentasi itu bisa
dibuktikan dengan melakukan pengecekan terhadap pikiran kader yang dimana
seharusnya perwujudan dari kepahaman idiologi tersebut. Bisa dilihat dari masifnya dialektika dan
adanya pressure HMI cabang Semarang
terhadap perbagai problem sosial skala lokal maupun nasional. Adapun
training-training formal yang dilakukan pun bukan sesuatu yang menjadi kebutuhan
dasar dan jawaban dari setumpuk persoalan yang terjadi, dan kita tidak perlu
merasa heroik terhadap agenda yang formalistik (semacam LK 2, SC ataupun LK 3)
tanpa memahami output dari training tersebut. Dalam pasal 8 HMI di jelaskan
bahwa HMI merupakan organisasi kader (bukan kader pamflet). Prioritas HMI bukan
terletak pada massa tapi kualitas individu merupakan hal yang fundamental yang
harus digembleng agar menjadi intelektual muslim yang sadar akan peran dan
tanggungjawabnya sebagai kader umat dan kader bangsa. Lagi-lagi HMI cabang
Semarang tidak memahami persoalan ini, indikator tidak berhasilnya idiologisasi
terhadap kader itu tidak harus di ukur melalui training-training formal. Namun
bisa melalui tolak ukur yang lain. HMI bukan organisasi massa yang menempatkan
kuantitas mendahului kualitas. Hal ini perlu dipahami agar tidak terlahir watak
chauvinistic terhadap identitas
jenjang training-training yang sebenarnya biasa aja (pengagungan yang
berlebihan terhadap jenjang training), tanpa memiliki kesadaran moral dan
objektif bahwa jenjang tersebut merupakan pelabelan terhadap kader yang paling
memiliki tanggungjawab bermoral dan dituntut untuk mengetahui seluruh persoalan
organisasi maupun problem bangsa. Bahaya chauvinistic
terhadap jenjang training ini secara laten melahirkan watak kader yang
seolah-olah heroik padahal sama aja (euforia intelektual).
Ketika kita berbicara Ayahanda Lafran Pane, dia tidak pernah
mengikuti lk1 dan jenjang training seterusnya, tapi kualitas intelektual dan
kepemimpinannya sangat mumpuni. Sebab ia ditempa melalui bacaan yg kuat,
dialektika yg tajam, dan aksi yang revolusioner. Meskipun jenjang training merupakan hal yang
dianjurkan sebagai proses belajar, namun yang lebih mendesak untuk dilihat
disini ialah kader-kader tersebut tetap harus diuji kelayakannya melalui
mekanisme yang ketat untuk mengikuti jenjang training formal. Dan pastinya
penyeleksian tersebut harus berpedoman pada syarat-syarat yang ilmiah, bukan lobi
nepotisme, apalagi mengedepankan kedekatan emosional perasaan subjektif. Misalnya
berapa buku yang sudah di baca oleh kader dan sejauh mana pemahamannya terhadap
buku tersebut, kader HMI merupakan mahasiswa (minoritas masyarakat yang harus
ilmiah). Jenjang training bukan untuk sekedar memenuhi syarat formalitas demi
terlihat ‘waoww’ dan pemenuhan syarat
administrasi libido kekuasaan. Artinya bahwa, bila yang menjadi titik pemahaman
bahwasannya jenjang itu dianggap sebagai proses belajar dan upaya untuk
mencerdaskan kader adalah keliru, sebab mencerdaskan kader tidak hanya mampu
dalam waktu sekian hari, tetapi harus melalui bacaan dan dialektika yang
bersifat continue. Dan pastinya
materi maupun teori yang dipelajari juga diharapkan dapat menerjemahkan problem
sosial yang terjadi.
Pengurus HMI Cabang Semarang dibawah kepemimpinan saudara
Rosyid dkk, di akhir senja masa jabatannya, diharapkan agar segera insyaf dan
fungsikan kembali HMI cabang Semarang sebagaimana yang di perintahkan oleh
konstitusi dan idiologi HMI. Opini ini diharapkan dapat menjadi referensi dan
refleksi bagi pengurus HMI Cabang Semarang Agats insyaf dan
untuk terus berbenah.