Ditulis Oleh Samsul Bakri
Di sela-sela KTT G-20 kemarin, ada peristiwa yang cukup
menyita perhatian publik. Presiden Jokowi dan Presiden RRC, Xi Ji Ping
menyaksikan uji coba rel Kereta Cepat Indonesia-Cina (KCIC). Konon katanya,
KCIC akan resmi beroperasi pada Juni 2023. Sebuah kabar gembira bagi mereka
yang meilhat infranstruktur sebagai tonggak pertumbuhan ekonomi. Lebih cepat,
modern, bersih dan ketepatan dalam jadwal pemberangkatan menjadi slogan yang
dijanjikan bagi masyarakat. KCIC nantinya akan melayani rute Jakarta-Bandung dan
sebaliknya. Dari sisi waktu, KCIC hanya butuh 36-45 menit untuk menghubungkan
dua kota tersebut. Dibandingkan kereta konvensial, KA Argo Parahyangan butuh
waktu 3,15 jam untuk rute Jakarta-Bandung. Dari sisi waktu memang terlihat jauh
lebih singkat. Tapi analisis pilihan moda transportasi tidak selalu persoalan
harga. Banyak variabel yang menjadi pertimbangan, waktu tempuh hanyalah satu
dari sekian indikator yang dijadikan alasan masyarakat memilih moda
transportasi. Sayangnya, pemerintah seolah memaksa masyarakat untuk beralih
pada penggunaan KCIC. Paksaan tersebut tercermin dari wacana pemerintah untuk
menghentikan rute operasional KA Argo Parahyangan di tahun 2023 ini.
Sifat memaksa tersebut ditujukan bukan demi kebaikan
masyarakat, KCIC sebenarnya masih jauh dari kata efisien. Banyak stasiun
pemberhentian KCIC yang terletak bukan di kawasan strategis, belum lagi stasiun
yang berlokasi di luar pusat kota, sehingga perlu moda transprasi lain sebelum
mengaksesnya. Selain itu, jika wacana penghentian direalisasikan, maka ada
kelompok masyarakat yang dihilangkan hak-hak dan kebebasanya. Mereka adalah
masyarakat kecil yang masih mendahulukan harga murah ketimbang waktu tempuh
yang cepat. Sedangkan selisih harganya juga lumayan timpang, tarif KA Argo
Parahyangan untuk kelas ekonomi hanya Rp95.000 sedangkan KCIC diperkirakan
mencapai Rp350.000. Ada selisih sekitar Rp255.000. Untuk masyarakat miskin atau
mereka yang taraf pendapatanya rendah, nominal tersebut lumayan besar. Belum
lagi jika mereka adalah orang-orang yang aktif melakukan perjalanan
Jakarta-Bandung minimal satu kali setiap minggunya, maka dalam sebulan ada
margin pengeluaran yang lebih besar senilai Rp1.020.000. Bukan angka yang
sedikit.
Tentu analisis kemungkinan negatif yang saya lakukan diatas
hanyalah sekelumit kecil dari segunung potensi ekternalitas negatif yang
ditanggung masyarakat kecil jika KA Argo Parahyangan dihentikan untu
beroperasi. Kemungkinan-kemungkinan negatif yang dirasakan masyarakat kecil
sangat mudah untuk dianalisis, tidak perlu sekolah ekonomi. Tapi mengapa para
aristokrat ekonomi di pemerintah tidak mampu membaca potensi buruk tersebut?
Mengapa KCIC begitu dipakasakan, seolah-olah dialah jawaban atas kebutuhan
transportasi masyarakat? Belum lagi dalam pembiayaan proyek ini, uang negara
sudah habis ratusan triliun. Dibangun dengan menguras pajak rakyat, lalu
dioperasikan untuk mempersulit hidup rakyat. Sangat konyol dan tidak masuk
akal.
Melihat fenomena ini, saya semakin yakin dengan hipotesis
Karl Marx dan Federich Engeles, tentang negara yang dibangun untuk kepentingan
kelas penguasa. Dengan demikian, artikel opini ini akan mencoba mencocokan
teori negara kelas Karl Marx dengan studi kasus penghentian operasional KA Argo
Parahyangan demi KCIC.
Negara sebagai
Pelindung Hak Alamiah Masyarakat (Locke, Hobbes & Hegel)
Membahas pemikiran seorang filsfuf akan lebih baik jika
ditelaah kebelakang terlebih dahulu. Dalam hal ini, perlu diurai siapa filsuf
yang mempengaruhinya. Dalam konteks memahami konsep negara kelas Karl Marx,
maka saya tidak akan melepas nama Hegel. Sedangkan untuk memahami Hegel, kita
terlebih dahulu harus menelaah sedikit pemikiran John Locke dan Thomas Hobbes mengenai, karena
Hegel sedikit banyak corak berpikirnya dipengaruhi oleh kedua tokoh tersebut.
Dalam Leviathan, Hobbes menggambarkan manusia sebagai
makhluk yang selalu berusaha memenuhi kepuasan pribadi dengan segala cara.
Kehidupan manusia ditandai dengan koflik kepentingan dan perlombaan kekuasan,
tanpa rasa saling percaya antara sesama dan keinginan untuk bekerjasama secara
politik maupun ekonomi. Adagium yang paling mencolok untuk menggambarkan
situasi tersebut sering kita kutip dari karya Plautus, homo homini lupus, yang berarti manusia adalah serigala bagi
manusia lainya. Dalam kondisi pranegara, kondisi semacam ini melahirkan perang
antar sesama manusia. Dasarnya manusia memilki bawaan (the state of nature) yang saling menindas antara yang lemah dan
kuat. Dalam perkembangan selanjutnya, manusia mendirikan negara sebagai sebagai
lembaga yang memiliki otoritas untuk mengendalikan the
state of nature yang brutal tersebut. Jadi negara dalam pikiran Hobbes
lahir ketika setiap individu secara sukarela menyerahkan haknya unuk memerintah
diri sendiri kepada sebuah kekuasan tunggal. Jika semua individu melakukanya
secara bersamaan maka kekuasan tunggal ini akan menjadi otoritas politik yang
efektif untuk menciptakan keamanan dan dalam jangka waktu yang panjang.
Serupa dengan Hobbes, Locke memahami proses pembentukan
negara dalam kerangka perlindungan hak-hak alamianh yang dimiliki setiap
indvidu. Akan tetapi Locke menolak gagasan tentang perlunya sebuah kekuasaan
tunggal. Sebab jika sesama anggota masyarakat tidak memiliki rasa saling
percaya, sulit dibayangkan anggota masyarakat akan memercayakan hak-hak
memeritahnya pada kekuasan politik tertentu. Itulah paradosks dari pikiran
Hobbes, sebab bagaimana pun negara adalah institusi politik yang dijalankan
oleh sekelompok manusia. Artinya ada sekelompok serigala juga di dalamnya.
Untuk itu, John Locke memiliki perbedaan pendapat mengenai the state of nature (kondisi alamiah). Dalam buku Second Treatise of Goverment, Locke
membayangkan setiap individu pada mulanya memiliki hak-hak alamiah, hak
mengatur diri sendiri dan hak menerapkan sanksi terhadap setiap pelanggar hak
asasinya. Dalam kondisi alamiah, akal sehat memungkinkan setiap individu untuk
bertindak rasional mengikuti hukum alam yang menegaskan bahwa setiap manusia
akan memberikan balasan yang setimpal terhadap setiap bentuk perlakuakn yang ia
terima dari sesama manusia lainya. Akal sehat memungkinkan setiap individu
menghindari konflik dan mengutamakan kerjasama sebagai pilihan interkasi sosial
yang lebh rasional. Karenanya kepatuhan pada akal sehat dan hukum alam membuat the state of nature tidak menjadi the state of war seperti yang
digambarkan oleh Hobbes.
Hanya saja kondisi alamiah ini memiliki beberapa kelemahan mendasar.
Ketika setiap anggota masyarakat diberikan kebebasan untuk menginterpretasi law of nature, konflik interpretasi yang
berpotensi mengancam kebebasan dan persamaan cenderung terjadi. Selain itu jika
setiap individu hanya diorganisasikan secara longgar, berdasarkan interkasi
sosial yang mengacu pada akal sehat dan hukum alam, maka masyarakat yang
terbentuk dari interaksi semacam ini tidak cukup kuat untuk menghadapi agresi
dari luar. Persoalan ini bisa diatasi jika setiap individu menyetujui sebuah
kontrak sosial untuk membentuk an
independent society (masyarakat sipil) dan a civil associa-tion (negara). Locke menegaskan arti penting
perbedaan kedua macam entitas tersebut untuk menunjukkan bahwa proses
pembentukan sebuah negara harus berdasarkan persetujuan setiap anggota masyarakat.
Jika negara tidak mampu atau melanggar tugasnya mewujudkan kebebasan dan
persamaan maka hak menilai dan menghukum pelanggaran tersebut berada di tangan
setiap anggota masyarakat.
Hegel mewarisi tradisi pemikiran politik liberal yang
cenderung memisahkan negara dan masyarakat sipil sebagai dua entitas yang berbeda
dan sering bertentangan. Bedanya, Hegel memberikan tekanan lebih besar kepada
negara yang dia terima sebagai institusi yang otonom dengan kemampuan
menyelesaikan konflik kepentingan yang selalu melekat dalam masyarakat sipil.
Teori Hegel tentang negara berangkat dari proses pemahaman yang lebih luas
tentang perkembangan sejarah umat manusia. Sejarah dipahami sebagai proses realisasi
dan aktualisasi sebuah ide universal yang akan menjelmakan dirinya dalam bentuk
masyarakat manusia yang sempurna. Dalam sejarah berlangsung proses saling
mempengaruhi antara ide universal dan kenyataan hidup sehari-hari dalam
hubungan dialektik antara “ada” dan “tiada” hingga “menjadi” kenyataan yang
ideal. Perkembangan sejarah karenanya bersifat deterministik dengan ujung yang
sudah pasti. Negara, dalam kerangka berpikir seperti ini, merupakan perwujudan
ide universal. Negara merupakan agen sejarah yang berupaya keras merealisasikan
ide universal tersebut menjadi masyarakat sempurna. Sebaliknya individu yang
mewakili kenyataan hidup sehari-hari yang kurang (belum) sempurna dan penuh
konflik kepentingan bukan agen sejarah yang bisa diharapkan. Karenanya setiap
individu harus patuh pada negara yang merepresentasikan kepentingan bersama
untuk kebaikan semua anggota masyarakat tanpa membeda-bedakan latar belakang etnik,
agama maupun kelas.
Dalam Philosophy of
Right, Hegel memahami masyarakt sipil sebagai wilayah pemuasaan kepentingan
pribadi. Ekspansi pasar bebas yang memerdekakan manusia dari kungkungan agama,
etika dan politik abad pertengahan berperan besar dalam proses pembentukan
masyarakat sipil. Namun tekanan pada pasar bebas tidak membuat Hegel menjadi
seorang utillitarian seperti Jeremy Bentham dan James Mill yang memahami
manusia sebagai makhluk yang mengutamakan kepuasaan pribadi. Sebaliknya, selain
kompetisi kepentingan, sebuah masyarakat sipil juga terbentuk berdasarkan akal sehat
yang dikodifikasikan dalam aturan hukum. Hukum menyediakan jaminan keamanan
kepada setiap manusia dan hak pemilikan pribadinya dan karenanya menciptakan
mekanisme sosial yang mampu membatasi efek negatif konflik kepentingan antar
individu. Negara menjadi penting karena institusi ini merupakan sumber akal
sehat atau aturan hukum yang memungkinkan konflik kepentingan tidak bersifat destruktif.
Negara juga meminimalisir konflik kepentingan tersebut dengan cara memberikan
kesempatan berpartisipasi bagi setiap anggota masyarkat dalam proses menentukan
general will. Pada gilirannya negara akan menjadi pusat dari seluruh aktivitas
masyarakat sipil dan pusat perkembangan hukum, budaya, identitas nasional dan
segala aspek khidupan sosial. Dengan mengidentifikasikan dirinya dengan negara,
setiap indivdiu akan terhindar dari kompetisi yang cenderung anarkis dalam
masyarakat sipil. Tegasnya, sekalipun mengakui pemisahan negara dan masyarakat
sipil, Hegel menyelesaikan perbedaan dan pertentangan antara keduanya dengan mengintegrasikan
masyarakt sipil ke dalam negara.
Kritikan Terhadap
Hegel & Negara Kelas Karl Marx
Teori Marx dan Engels tentang negara merupakan alternatif
terhadap pemikiran liberal dan filsafat hegelian yang mendominasi peta
pemikiran politik Barat sejak akhir abad ke-16. Marx menolak konsep negara
otonom yang diajarkan Hegel dan argumen negara netral yang merepresentasikan
kepentingan seluruh anggota masyarakat yang diajukan Hobbes dan Locke. Marx
menyadari bahwa teori negara yang ideal versi Hegel sering bertentangan dengan
praktik negara dalam kehidupan nyata. Marx sampai pada kesimpulan bahwa dalam
memahami keberadaan sebuah negara kebanyakan pemikir (terutama Hegel) memberikan
perhatian yang terlalu besar terhadap perilaku negara itu sendiri dan
mengabaikan arti penting the concrete
nature of circumstances yang menentukan tindak tanduk negara yang bersumber
dari tekanan kekuatan-kekuatan sosial non-negara.
Dalam Critigue of Hegel's
Philosophy of Right, Marx menilai pemikiran Hegel bersifat absurd karena ia
memahami negara secara abstrak dan terlepas dari kekuatan sosial yang bersaing
di tengah masyarakat. Hegel mengabaikan kenyataan bahwa aktivitas negara tidak
bedanya dengan aktivitas dan kualitas manusia yang mengoperasikannya. Memahami
perilaku negara, karenanya, hanya bisa dilakukan dengan memahami the concrele nature of circumstances, perimbangan
kekuatan di tengah masyarakat yang menghasilkan pengaruh yang tidak bisa dielakkan
oleh negara. Lebih jauh Marx menulis, pertentangan antara negara dan masyarakat
(sipil) bersifat nyata. Pertentangan ini tidak pernah bisa diselesaikan negara
yang dianggap sebagai sumber akal sehat yang mengatasi segala macam konflik
kepentingan. Pada kenyataanya negara tidak memiliki kapasitas mengatasi
kepentingan-kepentingan pribadi. Sebaliknya negara selalu berada di bawah
subordinasi hak-hak pemilikan pribadi. Karenanya argumen Hegel yang menegaskan bahwa
negara memiliki kemampuan mengatur dan menentukan segala macam aspek kehidupan
sosial secara mandiri menurut Marx hanyalah sebuah ilusi. Alih-alih menyelesaikan,
negara malah memistifikasi pertentangan antara negara dan masyarakat sipil dan
konflik kepentingan antar individu.
Dengan cara berpikir seperti itu, Marx dan juga Engels berkali-
kali menolak gagasan negara netral yang diajukan para pemikir liberal. Jaminan
kemerdekaan, persamaan dan keamanan yang dijanjikan negara netral versi pemikir
liberal, menurut Marx, bertentangan dengan pemilahan sosial dalam masyarakat berdasarkan
kelas. Apa artinya persamaan antara sesama yang dijanjikan negara jika pada
kenyataanya Kesenjangan sosial dan ekonomi menghambat setiap individu untuk
memperoleh penghargaan yang setara? Siapa yang bisa mempercayai negara yang
menjanjikan kesejahteraan bagi setiap warganya jika dalam kehidupan sehari-hari
keberuntungan segelintir pemilik modal dan alat produksi berbanding terbalik
dengan kesengsaraan para pekerja dan petani? Untuk itu, dalam On The Jewish Ouestion, Marx membedakan
emansipasi politik dan emansipasi manusia. Pembentukan negara netral yang
diajukan para pemikir liberal boleh jadi berdasarkan emansipasi politik negara
terhadap kekangan tradisi abad pertengahan. Akan tetapi, pembentukan negara
liberal ini tidak serta merta membawa emansipasi manusia, yang membebaskan
setiap anggota masyarakat dari ketidakadilan sosial. Malah sebaliknya negara
liberal membiarkan ketidakadilan dan ikut mencegah perwujudan emansipasi
manusia.
Kritik Marx terhadap konsep negara liberal dan Hegelian
perlu dipahami dalam kerangka pemikiran Marx yang lebih luas tentang posisi
individu dalam masyarakat, hubungan-hubungan produksi, dan sistim produksi
modern yang ia sebut kapitalisme. Pada dasarnya Marx bisa menerima keberadaan
individu sebagai organisme yang memiliki kapasitas unik, hasrat dan kepentingan
untuk memilih secara bebas. Namun, ia menolak pandangan liberal yang melihat
indivdiu sebagai organisme yang abstrak tanpa kaitannya dengan kehidupan
sehari- hari yang bersifat riil. Ia juga mengkritik kecenderungan menempatkan individu
sebagai entitas sosial paling utama untuk memahami kehidupan politik dan
perilaku negara. Marx menegaskan, “man is
not an absiract being sguatting outside the world. Man is Hhe human world, the
state, society”. Keberadaan individu karenanya hanya bisa diterima dalam
kaitannya dengan sesama individu lainnya. Individu bukanlah sekumpulan organisme
yang bertindak secara otonom yang terlibat aktif dalam produksi dan kehidupan
politik, melainkan human beings (manusia
biasa) yang hidup dalam jaring-jaring interaksi dan relasi sosial dengan sesama
manusia lainnya. Sifat- sifat dasar dan perilaku setiap individu merupakan
produk sejarah yang bersumber dari berbagai bentuk interaksi dan relasi sosial
tersebut. Marx karenanya memahami masyarakt bukan sebagai kumpulan indivdiu,
tetapi sebagai kumpulan interaksi sosial antara manusia. Bagi pemikir liberal,
perbedaan antara seorang budak dan majikan menjadi tidak penting karena kedua-duanya
merupakan individu yang berdaulat. Akan tetapi bagi Marx perbedaan itu sangat
nyata karena merupakan produk interaksi antar manusia yang membawa efek ekonomi
dan sosial yang bertolak belakang.
Kunci untuk memahami perilaku individu adalah struktur
kelas. Pemilahan kelas berkembang dalam sistim produksi yang mengejar surplus
dan mengakui hak-hak pemilikan pribadi. Surplus tersebut dicapai setelah kelas
sosial non-produktif berhasil menguasai alat-alat produksi dan memaksakan
eksploitasi atas kelas sosial produktif. Kelas sosial yang menguasai alat-alat produksi
menjadi kelas dominan, sementara kelas sosial produktif yang ditindas atas nama
keuntungan menjadi kelas subordinan. Pada gilirannya, ketika sistim produksi
yang mengejar surplus dan mengakui hak-hak properti ini berkembang menjadi
sistim produksi yang utama, kelas dominan dan subordinan akan menjadi dua kelas
utama yang membelah masyarakat. Hubungan antara kedua kelas ini selalu ditandai
oleh eksploitasi dan konflik, yang berpengaruh besar terhadap dinamika sebuah
masyarakat.
Pemahaman tentang kelas dan kapitalisme membawa implikasi luas
terhadap pemahaman Marx dan Engels tentang negara. Bertolak belakang dengan
Hegel yang memisahkan negara dari masyarakat (sipil) sembari menempatkan negara
sebagai aktor yang otonom dan menentukan, Marx memahami kehadiran negara
sebagai bagian dari dinamika yang terjadi dalam masyarakat, terutama hubungan
antar kelas sosial yang konfliktual. Marx dan Engels juga berbeda dengan para
pemikir liberal yang memusatkan perhatiannya pada ketegangan antara hak-hak
indivdiu dan netralitas negara karena ia melihat keberadaan otoritas politik
dalam konteks sistim produksi untuk menghasilkan surplus value yang menjadi basis material hubungan tidak seimbang
antara kelas dominan dan subordinan. Bagi Marx, gagasan tentang negara harus
selalu dikaitkan dengan dua faktor. Pertama, negara merupakan orde politik yang
merepresentasikan kepentingan kelas sosial dominan, termasuk di dalamnya
menjamin keberlangsungan dominasi modal atas tenaga kerja. Kedua, negara juga merupakan
orde politik yang menjamin keberlangsungan akumulasikapital tanpa gangguan
perjuangan kelas.
Kemudian, salah satu tema sentral dalam teori Marx dan
Engels tentang negara adalah pengaruh economic
base terhadap keseluruhan bangunan political superstructure. Menurut cara pandang
strukturalis ini, negara mencerminkan economic
base sebuah masyarakat. Intervensi yang dilalukan negara bertujuan untuk
memenuhi kepentingan sistem produksi yang bertujuan menghasilkan surplus value
dan hubungan produksi merupakan fondasi dasar yang menentukan bentuk sistim politik
dan kesadaran sosial. Marx dan Engels menjelaskan, perkembangan negara berjalan
seiring dengan pembagian kerja sosial di masyarakat yang melahirkan kelas
dominan dan kelas subordinan. Konflik politik dalam negara antar—partai yang
berbeda, antar politisi, atau antar birokrat—hanyalah sebuah ilusi karena
konflik yang sebenarnya berlangsung pada level antagonisme antara kelas dominan
dan kelas subordinan. Dalam The Poverty
of Philosophy, Marx menulis “ it is
the sovereigns who in all ages have been subject to economic conditions, but if
is never they who have dictated laws to them. Legislation, whether political or
civil, never does more than procalim, express in words, the will of economic
relations”. Sementara dalam Das Kapital (1894)Marx menambahkan, “it is always the direct relationship of the
owners of the conditions of production to the direct producers...which
reveals...the hidden basis of the entire social structure, and with it the
political form of the relation of sovereignty and dependence, in short, the
corresponding specific form of the state”.
KCIC: Kemenangan Karl
Marx dan Kekalahan Teori Liberal
Dalam uraian diatas, ada dua pokok beda antara teori negara
Liberal, Hegel dan Karl Marx. Dalam pandangan kaum liberal dan Hegelian, negara
adalah institusi netral yang mampu melindungi hak masyarakat. Sedangkan Karl
Marx memandang negara sebagai entitas yang mewakili kelompok ekonomi dominan.
Coba kita telaah dua teori tersebut dalam studi kasus Proyek KCIC dan wacana
penghentian rute operasi KA Argo Parahyangan. Pertama kita harus mendefinisikan
hak alamiah itu. Hak alamiah yang paling dasar dari manusia adalah kebebasan.
Tiap-tiap individu memiliki kebebasan untuk menentukan atas semua tindakannya,
selama kebebasan tersebut tidak mengambil hak individu lainya. Dalam konteks pilihan
moda transportasi, maka ia masuk dalam kebebasan ekonomi individu. Dimana letak
kebebasan ekonomi itu? Dia terletak pada kehendak bebas tiap manusia untuk
menetukan kombinasi yang paling efisien dalam rangka memenuhi tuntunan
hidupnya. Jika kita mendefinisikan kegiatan ekonomi sebagai tindakan individu
dalam memilih alternatif sumber daya yang tersedia, maka letak kebebasan mana
yang pilihan sumber daya yang paling efisien tersebut harus datang dari
pertimbangan akalnya sendiri. Tentu akal dan rasio individu tidak semuanya
benar. Banyak pilihan ekonomi yang dipilih seorang individu bukan berasal dari
pertimbangan rasio yang benar. Hal ini terjadi karena di dalam pilihan ekonomi
terjadi informasi yang asimetris antara pihak-pihak yang terlibat dalam
transaksi. Untuk memastikan rasio tetap mengarahkan individu pada jalur baik,
maka negara perlu memastikan bahwa masalah-masalah pada informasi yang tidak
simetris perlu diubah menjadi simsetris. Dengan itu, kewajiban negara dalam
melindungi hak alamiah adalah memastikan bahwa kebebesan untuk memilih tetaplah
membawa pilihan individu pada nilai yang baik.
Sayangnya, dalam konteks, KCIC dan KA Argo Parhayangan,
negara bukanya meluruskan pilihan yang baik bagi masrakat, justru sebaliknya.
Negara justru membatasi hak yang paling dasar dari individu mengenai kebebasan.
Hak alamiah untuk memilih kombinasi alternatif diubah menjadi tanpa pilihan
yang tersedia sama sekali. Sehingga jelas bahwa dalam konteks ini teori negara
liberal terbukti tidak berlaku. Mereka gagal memahami realita seperti apa yang
menjadi kritikan Karl Marx. Bukanya untuk melindungi hak dasar tiap individu
dalam masyrakat, negara malah hadir sebagai lembaga yang merenggut hak-hak
dasar tersebut. Dalam hal ini justru Karl Marx yang harus kita akui relevan
teorinya. Pemaksaan bagi masyarakat untuk menggunakan KCIC akan membawa ingatan
kita pada kebenaran Marx bahwa negara hadir untuk melayani kepentingan
segelintir elit. Masih adanya moda transportasi lain yang bisa digunakan
masyarakat selain KCIC memaksa negara untuk membuat regulasi yang menutup
kemungkinan subtitusinya. Orientasi akhirnya tidak lain agar investor KCIC
cepat mempereloh keuntungan dari modal yang dipakai dalam proyek. Sehingga
negara hanya peduli pada persoalan kepentingan pemilik modal alih-alih pemenuhan
hak dasar alamiah masyarakat Indonesia. Regulasi dan hukum mengarah pada
pembelian tiket KCIC sebagai jaminan pemasukan bagi mereka yang punya kepentingan.
Si boss pemilik modal tertawa bahagia dengan aliran pemasukan tiket, sedangkan
si buruh menangis tidak lagi mampu membeli tiket untuk mengunjugi ibunya yang
sakit di Bandung.
Yang Harus kita Lakukan
Sebagai kader Himpunan Mahasiswa Islam, yang sudah dilantik
untuk memegang nilai-nilai keislaman-keindonesian, dan juga kemahasiswaan sudah
tentu menjad tanggung jawab moral untuk ikut terlibat menyumbangkan suaranya. Wacana
pengahapusan rute operasional KA Argo Parahyangan, bagi saya pribadi sangat
bertentangan dengan ketiga asas yang dipegang oleh kader HMI. Tulisan sederhana
dengan alur yang mungkin ‘belepotan’ ini hanyalah pemantik awal bahwa banyak
kebijakan publik yang perlu kita telaah, karena bertengan dengan asas ideologi
yang kita pegang sebagai kader. Sebagai pengingat kembali, bahwa harapan
satu-satunya dari Lafran Pane dari HMI adalah melahirkan intelektual muslim yan
peka terhadap kondisi sekitarnya. Tujuan berHMI bukan untuk menjadi Ketum PB,
BPL, Cabang, maupun Komisariat. Jabatan struktural hanyalah alat dalam ber HMI,
bukan tujuan. Adapun tujuannya dalam praktik yang paling kecil bisa kita
implementasikan dengan menampilkan sosok kita yang vokal dan berpengetahuan untuk
membedah realita, apakah realita dan ideal terdapat kesesuaian. Jika realita
sudah tidak lagi berkesuaian dengan asas keindonesian dan keislaman, di sanalah
wujud kader kita tampilkan dengan memberikan sumbangsih sekecil apa pun itu.
Entah dengan tulisan, diskusi dan yang paling konkret demonstrasi. Jika kita
terus diam seperti ini, maka baiknya HMI dibubarkan saja, seperti apa yang
disampaikan oleh Lafran Pane. Sebelum meninggal, ia menulis ketika ketidadilan
ada dimana-mana, dan kader HMI sudah tidak peduli, maka tidak ada alasan lagi
untuk tidak membubarkan HMI. Saya lupa kalimat persisnya, tapi kurang lebih
seperti itulah kalimat yang disampaikan oleh Bapak ideologis kita.