Sebagai kader HMI, tentu
kita tidak asing dengan konsep pemikiran politik tradisionalisme Jawa ala-ala
Orde Lama. Sebenarnya, tidak ada definisi resmi dari politik tradisionalisme
Jawa itu sendiri. Sebab politik tradisionalisme
Jawa merupakan hasil dari pemikiran dan kebudayaan masyarakat Jawa yang
terimplementasi dalam suatu tindakan. Apabila kita merujuk pada
Koentjaraningrat (1974) menyatakan bahwa konsep budaya pemikiran Jawa sifatnya
itu abstrak dan tidak dapat difoto karena ia berada dalam kepala dan alam
pikiran masyarakat di mana kebudayaan itu hidup. Pada konsep tradisionalisme
Jawa, kedudukan raja atau pemimpin memiliki peran sentral atau kekuasaan
absolut, kosmis dan mistis. Yang mana secara tidak langsung, rakyat memiliki
hubungan secara vertikal kepada penguasa. Maka rakyat diwajibkan untuk tunduk
dan pantuh atas setiap kehendak raja atau pemimpinya.
Politik tradisionalisme
Jawa juga dikenal sebagai Integralistic state atau konsep negara
integral (manunggaling kawulo lan gusti) merupakan konsep politik yang
sempat diterapkan soekarno pada era Orde Lama. Dalam konsep politik
tradisionalisme Jawa, hubungan antara rakyat dan pemimpin sangatlah harmonis,
yang mana dalam ini tidaklah dikenal namanya oposisi, ataupun kritik sosial.
Dalam konsep kekuasaan Jawa, konsep kekuasaan tandingan (matahari kembar) atau
dapat dikatakan sebagai dua orang yang berpengaruh dalam suatu negara itu tidak
dibenarkan.
Apabila kita membaca
kembali kepemimpinan Soekarno pada era Orde Lama, kondisi sosial dan politik
Indonesia pada saat itu belum terkendali. Munculnya banyak pemberontakan skala
daerah maupun nasional mengancam kedaulatan bangsa. Gerakan-gerakan pemberontak
seperti DI/TII, Permesta, hingga PKI Madiun merupakan hasil-hasil pemikiran
politik oleh para pemimpin bangsa yang tidak sesuai dengan kondisi sosial
politik yang ada di Indonesia pada saat itu. Hal ini memicu adanya disintegrasi
bangsa. Oleh karena itu, dalam mencegah hal tersebut, Soekarno secara tidak
langsung menggunakan tradisionalisme Jawa dalam kepemimpinannya. Mengapa
begitu? Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana ia merumuskan Nasakom. Nasakom
merupakan penggabungan dari tiga aliran politik yakni, Nasionalisme, Agama dan
Komunisme yang dicetuskan oleh Soekarno pada era demokrasi terpimpin untuk menyatukan
aliran-aliran politik yang terpecah pada saat itu. Apabila kita kaji melalui
konsep politik Jawa, pemikiran politik Nasakom identik dengan kebudayaan Jawa,
yakni penggabungan antara kebudayaan asli Jawa, hindu, buddha dan Islam.
Jokowi dan Konsep Kekuasaan
Jawa
Jawa kental dengan
budaya, dan kemistisannya. Bahkan untuk urusan berpakaian, pun. Jawa telah
mengaturnya sedemikian rupa, lengkap dengan filosofi dan maknanya. Contoh, bagi
laki-laki penempatan keris itu terletak di belakang. Hal ini dimaksudkan bahwa
seorang laki-laki Jawa itu tidak suka pamer, dan rendah hati. Dapat dikatakan
pula bahwa lelaki Jawa tidak suka menunjukkan kekuatannya secara
terang-terangan, maka dari itu keris ditaruh di belakang. Akan tetapi, ada hal
tersirat lain yang bisa kita kaji lebih dari itu. Dalam kacamata antropologi
politik, penulis melihatnya sebagai suatu taktik politik untuk mengelabui musuh
atau lawannya. Mengapa begitu? Penempatan keris di belakang merupakan suatu
tanda yang menunjukkan bahwa orang Jawa selalu siap kapan pun, dan dimana pun
untuk melawan musuhnya. Bisa jadi, terlihat seperti kawan di depan, akan tetapi
bisa pula berubah menjadi musuh untuk menerkam lawan politiknya secara
diam-diam.
Jokowi sebagai orang Jawa
yang lahir, besar, dan tinggal di Jawa tentu secara tidak langsung menerapkan
nilai-nilai kebudayaan Jawa dalam cara berpolitiknya. Misalnya saja, pada saat
masa kepemimpinannya di periode pertama, Jokowi menggandeng Golkar-PAN untuk
masuk Kabinet Kerja, yang mana awal mulanya dua partai ini berkoalisi dengan
Prabowo. Sesuai dengan tradisionalisme Jawa, Jawa tidak mengenal adanya
oposisi. Maka taktik Jokowi untuk merangkul dua partai ini adalah salah satu
kebudayaan Jawa yang ia gunakan agar oposisi menjadi kawannya. Jokowi merangkul
dua partai ini melalui reshuffle pada Juli 2016, dengan memberikan kursi
Menteri Perindustrian ke Airlangga Hartanto dari Golkar, dan kursi Menpan RB ke
Asman Abnur dan PAN. Akibatnya, oposisi sudah dengan sendirinya melegitimasi
kepemimpinan Jokowi, meskipun di awal mereka adalah musuh politik.
Selain itu, setelah
kemenangannya melawan Prabowo pada pilpres 2019, Jokowi menggandeng Prabowo
untuk masuk ke Kabinet Indonesia Maju dengan posisi Menteri Pertahanan.
Dinamika perpolitikan pada Pilpres 2019 kental dengan isu SARA, baik dari kedua
pasangan memiliki basis massa dengan corak yang berbeda. Hal ini memunculkan
politik identitas yang kental pada saat itu, maka sebagai salah satu untuk
mencegah disintegrasi atau perpecahan di antara dua pendukung, Jokowi
memasukkan Prabowo ke dalam lingkaran kekuasaannya. Karena kekuasaan bersifat
konkret, strategi ini dimaksudkan agar tidak ada orang lain sebagai aktor
politik yang memiliki power dalam mempengaruhi massa di luar
jangkauannya. Dalam konsep kekuasaan Jawa, kekuasaan itu bersifat homogen, maka
tidak dibenarkan adanya aktor tandingan. Artinya, kekuasaan haruslah berada
dalam genggaman satu orang. Strategi semacam ini untuk menekan perlawanan dari
berbagai pihak dan mengamankan posisinya supaya tidak ada kekuasaan tandingan
(matahari kembar).
Tentu semua ini tidak
terlepas daripada asumsi bahwa adanya fakta yang menyatakan bahwa sebagian
besar pusat pemerintahan di Indonesia berada di pulau Jawa, sehingga banyak masyarakat
Jawa yang mendominasi kehidupan politik dan roda pemerintahan di pusat maupun
daerah. Salah satunya adalah Jokowi, yang selama berjalannya roda pemerintahan
tidak terlepas dari konsep politik tradisionalisme Jawa. Penulis memandang
bahwa konsep politik Jawa bisa menjadi salah satu alternatif solusi dalam hal
pemersatu dan juga pencegahan disintegrasi bangsa.
Oleh: Annisa Rizky Madina, Ketua Umum Kohati Soshum UNNES