Penulis: Alwi Husein Al Habib, Kabid PA HMI Cabang Semarang
Tanduk setan (Qorn asy-syaitôn) adalah istilah yang didapat dari hadis Nabi Muhammad Saw yang bermakna kekuatan seseorang yang ingin menguasai manusia agar menyembahnya (menghormati) dengan ucapan yang memperdaya. Jika setan itu bisa menyerupai manusia, maka secara definitif pimpinan HMI yang ingin dirinya dihormati dan tidak mau disaingi kadernya merupakan orang yang terkena sindrom tanduk setan.
Pemimpin adalah mereka yang mempunyai visi jauh ke depan untuk mencapai tujuan. Rasulullah menggambarkan seorang pemimpin dengan sebutan ra’in (kullukum ra’in) dan rakyat dengan sebutan ra’iyyah. Dua kata tersebut memiliki satu akar kata yang sama yakni ra’i yang artinya adalah gembalaan. Pemimpin adalah penggembala dan rakyat adalah gembalaan. Didefinisikan demikian karena konteks masyarakat Arab adalah masyarakat yang menggembala domba-domba. Bahkan Nabi Muhammad SAW juga bersabda:
Tidaklah seorang Nabi diutus melainkan ia menggembala kambing. Para sahabat bertanya, ‘apakah engkau juga?’. Beliau menjawab, ‘iya, dahulu aku menggembala kambing penduduk Makkah dengan upah beberapa qirath’,” (HR. Al Bukhari, no. 2262).
Dalam konteks menggembala, seorang penggembala harus siap berada di depan atau di belakang. Saat menunjukan jalan baru, ia akan berada di depan dan saat menggiring supaya tidak memakan tanaman orang, ia berada di belakang. Maka, pemimpin bukan hanya harus bisa mengatur tapi juga mengarahkan supaya yang dipimpinnya berada pada jalan yang benar.
Di HMI, pemimpin terbagi menjadi dua. Ada pemimpin struktural ada pula pemimpin kultural. Pemimpin struktural adalah mereka yang berada pada pucuk pimpinan di organisasi; menjadi ujung tombak juga ujung tombok. Mereka disebut dengan ketua. Sedangkan pemimpin kultural biasanya eks pemimpin struktural yang masih memiliki kekuasaan dan pengaruh. Dua pemimpin ini sama dengan manusia pada umumnya, ada yang baik ada juga yang tidak baik.
Dalam hal kaderisasi, pemimpin harus mendorong kadernya supaya aktif berperan di organisasi. Bukan hanya mendorong, tapi juga perlu memastikan kualitas dari kadernya. Di HMI untuk membentuk kualitas kader bisa dengan banyak hal, misalnya diskusi, follow up, ngaji, dan belajar bersama. HMI juga mempunyai jenjang perkaderan sebagai salah satu proses yang kadang dipahami sebagai jenjang peningkatan kualitas, meskipun pada kenyataannya biasa saja. Training itu berupa intermediate training (Latihan Kader 2), Latihan Khusus Kohati (LKK), Senior Course (SC), dll.
Namun, nyatanya idealitas tidak sesuai dengan realitas. Banyak yang juga mengalami kesulitan mengikuti training karena faktor internal maupun eksternal. Diantara faktor itu adalah keterlibatan pemimpin yang menghalangi kadernya untuk mengikuti jenjang training HMI. Ini banyak terjadi saat kader hendak melangsungkan ibadah lk2 dan senior course (SC). Ada beberapa hal yang menjadi indikasi mengapa kader itu dilarang mengikuti training lanjutan;
Pertama, tidak ingin disaingi. Ini adalah alasan yang tidak terkemuka tapi jelas sekali terlihat jika kita menganalisis penyebabnya. Kebanyakan pemimpin yang merasa dirinya hebat, akan menekan supaya kadernya tidak ada yang menyainginya. Padahal jika ia tahu, filosofi pemimpin sukses adalah ia yang yang mampu menciptakan seorang pemimpin yang lebih hebat darinya. Justru kalau ia berhasil menjadikan seorang pemimpin yang lebih bagus darinya, mestinya dia bangga dan merasa lega.
Kedua, takut kehilangan pengaruh atau bagian. Saat seseorang merasa dirinya paling dibutuhkan, ia akan merasakan kenyamanan dan kenikmatan saat orang menyanjungnya. Karena kenikmatan itulah ia tidak ingin berbagi dengan siapapun apalagi adek kadernya. Ini banyak didapati saat kader hendak senior course. Karena porsi mengelola itulah yang menyebabkan dirinya menjadi dikenal bahkan dibutuhkan. Beberapa penuturan dari berbagai cabang ada yang BPL nya sedikit karena senior BPL membuat-buat sistem yang mengakibatkan terhambatnya kader untuk SC. Ini mestinya sudah dihilangkan. Bila ingin memperdalam kualitas kader, maka buatlah sistem yang bisa mengirimkan kader untuk SC sebanyak banyaknya dengan kualitas sebaik-baiknya. Bukan malah sebaliknya.
Ketiga, kepentingan politik. Sudah bukan menjadi rahasia umum kalau berangkat LK2 atau SC banyak yang sarat akan kepentingan politik, meskipun tidak semua. Hal itu dikarenakan di HMI sistem untuk memilih pemimpin lebih kepada meritokrasi -demokrasi. Artinya siapa yang unggul, dia berhak dipilih atau berlaga dalam pemilihan calon ketua umum. Keunggulan ini dalam konstitusi diatur dan salah satunya adalah syarat harus sudah lk2 atau SC. Itulah sebab mengapa banyak pemimpin yang menahan kadernya untuk ikut jenjang training, apalagi beda gerbong atau berbeda kelompok dengannya. Padahal apabila mau terjadi pertarungan secara fit to fit, maka siapa saja berhak lanjut training dan kemudian diujikan kelayakannya didepan umum.
Sikap pemimpin seperti itulah yang mengarah pada tanduk setan. Seseorang yang hanya ingin dipuji, dihormati, dan disanjung serta menahan orang lain untuk maju. Dalam hal perkaderan, sepolitis apapun, mesti dihargai. Karena artinya dia ingin ikut berkompetisi. Meski ini tidak boleh dianggap 100% benar. Proses itu lebih utama ketimbang hasil. Dari proses itulah nanti orang orang akan belajar bagaimana menjadi pemimpin. Tapi untuk menghilangkan sifat tanduk setan, kita harus mulai menyadari bahwa dunia ini penuh dengan kompetisi. Dan yang boleh berkompetisi hanyalah muslim dengan kafir, bukan sesama muslim. Jika sesama muslim, mulailah bangun sinergi dan kerja sama. Insya Allah jika semua sadar, HMI akan dipenuhi oleh orang orang dengan kualitas terbaik. Wallahu ‘alamu bi al-shawwab