Ditulis oleh: Mujiburrahman, Kabid PTKP HMI Komisariat Soeta
Kampus merupakan institusi pendidikan sebagai penyedia layanan dalam membangun sumber daya manusia. Kampus juga merupakan tempat dimana manusia melahirkan pikiran pikiran ilmiah sebagai jembatang dalam menopang kehidupan yang layak dan martabat. Seraya demikian dan nawaitul tujuan pendidikan sesengguhnya kini telah berubah menjadi wajah baru yang menakutkan. dimana para pelaku pendidikan kini tidak lagi memegang sepenuhnya prinsip prinsip dan tujuan pendidikan yang termaktub dalam undang undang pendidikan (Spn thn 2004)
Universitas Semarang misalnya, pratik pratik pendidikan yang dibangun oleh lembaga pendidikan sering bertolak belakan dengan pikiran-pikiran mahasiswa. Pendapat saya ini didukung oleh kondisi empiris. Berikut adalah kronologi beserta argumen yang ingin saya sampaikan.
Pada tangal 6 Maret 2023 aktifitas kuliah kembali aktif, tanda dimulainya
semester gasal atau genap. Pagi hari itu suasana mentari sangat cerah. Saya
melihat aktivitas mahasiswa yang cukup semangat untuk menempuh pendidikan, setelah
libur yang cukup panjang selama satu bulan lebih, kemudian saya melihat
sekeliling kampus tercinta, begitu berbeda dari sebelumnya.
Yang berbeda
ialah di depan fakultas psikologi ada gazebo dimana tempat mahasiswa berkumpul dan membaca berdiskusi.untuk
mengembangkan intelektual dan banyak angenda
lainanya. Tapi, sekarang dialih fungsikan menjadi tempat berjualan. Ruang bagi
mahasiswa untuk sekedar bercengkrama mesra pasca aktivitas melelahkan di ruang
kelas disulap menjadi jejeran pakaian. Akibatnya, mahasiswa kebanyakan duduk
berkeliaran di pinggir taman. Sebelum dijadikan tempat berjualan, di gazebo
tersebut banyak mahasiswa yang kumpul selain berkumpul, mengadakan diskusi dan membaca
untuk mengembangkan intelektualnya.
Kemudian dilihat
dari sistim keamanan, minimnya penjangga di luar lingkup kampus di mana tidak
ada pengawasan untuk mahasiswa yang keluar masuk seperti: tidak ada keamanan
terhadap mahasiswa yang beroda dua dan tidak ada penjanga keamanan di luar kampus
dan hanya mengaaman kan dosen dan mahasiswa yang beroda empat. Rasanya, ‘mungkin’
pihak keamanan hanya peduli pada keselamatan dosen dan abai pada pada nasib
mahasiswa. Padahal gaji mereka dari UKT kami.
Sangat menyedihkan,
kami sebagai mahasiswa terpelajar yang sedikit tergesa kampus, saking takutnya
terlambat, terhalang lagi tidak adanya satpam yang mengawasi di depan kampus dan hanya mengawasi
kedaraan yang beroda empat. Kalau dilihat
dari banyak nya keamanan di kampus tidak ada satu penjaga yang menghiraukan
tentang keaamanan mahasiswa dan menjaga keselamatanya di depan jalan raya.
Lalu minimnya gedung parkir, bukan minim tapi tidak digunakan gedung tersebut, hanya sebagian mobil yang parkir di gedung sebagian lagi parkir di depan fakultas, mungkin bapak ibu dosen capek jalan sehingga memilih parkir di depan gedung fakultas. Saya mulai heran juga ibarat tuhan udah memberikan otak tapi tidak di gunakan. Hal semacam ini kan tidak masuk akal. Kalau semisal gedung parkir mobil tidak digunakan buat ruangan yang menjadi tempat kreativitas mahasiswa, seolah olah di universitas semarang tidak ada tempat parkir. Nah kehadiran parkir tersebut patut dipertanyakan?
Saya pun
sedikit heran dan cemas dengan keadaan kampus saya sendiri, melihat keadaan
yang tidak begitu nyaman. Pada dasarnya ruang-ruang untuk berdiskusi di
lingkungan kampus sangat dibutuhkan bagi
mahasiswa, apakah kampus sekarang ini tidak suka melihat mahasiswa untuk
berdikusi, dan menciptakan daya berpikir yang tajam sebagaimana mengembangkan
pikirin mereka?
Jika dilihat
dari sistim belajar mengajar, saya pikir bahwa tidak selamanya belajar itu tergantung di ruang kelas saja.Sungguh
ironis bahwa menganggap dunia belajar yang sejati itu adalah di ruangan kelas. Pendidikan
yang di tuntut oleh situasi kita ialah pendidikan yang membuat manusia berani
membicarakan masalah-masalah lingkunganya dan turun tangan dalam lingkungan
tsb, pendidikan yang mampu memperingatkan manusia dari bahaya-bahaya jaman dan
memberikan keperyaan dan kekuatan untuk menghadapi bahaya-bahaya tsb. Bukan pendidikan
yang menjadikan akal kita menyerah patuh kepada keputusan-keputusan orang lain dengan
mengajak manusia terus menerus melakukan penilaian kembali menganalisis
“penemuan penemuan” menggunakan metode dan proses ilmu pengetahuan dan melihat
diri sendiri untuk melihat kondisi sosial di lingkup kampus.
1. Minimnya ruang
mahasiswa untuk berinteraksih untuk beraktifitas di lingkungan kampus karena
terhambat mobil yang parkir sebarangan.
2. Tidak ada tempat untuk diskusi seperti gazebo.
3. Tidak ada
keamanan bagi masiswa untuk melintas ke jalan raya.
Kalau dilihat
dari sistip pendidikan internasional semua rungan atau tempat untuk mahasiswa
wajib ada karena mahasiswa wajib menikmati dunia kampus. Sayangnya, saya tidak
melihat itu di kampsu saya. Kampus saya
seakan akan menutup ruang intelektual. yang kampus inginkan ialah setelah kelas
langsung pulang, sebab tidak ada ruang publik bagi mahasiswa untuk
berdialektika. Budaya seperti itu tidak boleh dihadirkan di negara ini. Sebab
perilaku yang hanya kuliah-pulanh-kuliah-pulang hanya akan melahirkan generasi
dengan pola hidup sebagai buruh.