Ditulis oleh Samsul Bakri
Judu Buku :
How Capitalism Work
Penulis :
Pierre Jalee
Penerbit :
Monthly Review Press New York, 1977
Tebal :
128 halaman
Seorang Kapitalis dalam sistem Kapitalisme memiliki label
negatif dalam wacana publik. Pendindasan dan yang tertindas adalah dua relasi
yang ada dalam sistem Kapitalisme. Seringkali makian dan sumpah serapah
ditujukan pada kapitalisme. Entah itu di ruang ngopi-ngopi mahasiswa maupun ketika berteriak lantang saat
demonstrasi di jalan. Meskipun demikian, sebenarnya masih banyak yang belum
terlalu mengetahui apa itu kapitalisme? Dan Bagaimana sistem kapitalisme
bekerja?Karl Max banyak menulis kedua pokok tersebut, tapi rumitnya memaknai
kalimat, dan bukunya yang terlalu tebal membuat sedikit orang yang memahami
konsepsi kritiknya terhadap sistem Kapitalisme. Untuk mengatasi masalah
tersebut, Pierre Jalee menulis buku How
Capitalism Work. Buku ini tidak dimaksudkan untuk meringkas buku-buku yang
pernah ditulis Karl Max. Pierre menyadari bahwa bukunya mengandung banyak
simplifikasi, yang tujuanya agar tulisanya bisa dipahami dari semua kalangan.
Baik itu seorang aktivis maupun seorang buruh harus sadar mekanisme jahat
kapitalisme. Pada akhirnya, buku ini ditujukan untuk melahirkan kesadaran masa
agar menumbangkan sistem kapitalisme.
“Bab 1. Production: How and With What?”
Pada bab pertama,
Pierre membahas apa itu Produksi dengan apa produksi dilakukan? Mari
mengandaikan pabrik mobil misalanya, para pekerja memotong baja, meleburkan
besi dan menyusun rangka mobil. Di akhir bulan, para pekerja memperoleh uang
yang disebut gaji. Besaran gaji itu merepresentasikan apa? Apakah nilai nominal
uang itu setara dengan output yang mereka kerjakan selama sebulan? Dan siapa
yang membayar gaji? Dia adalah pemilik pabrik mobil, seorang kapitalis—pemilik
kapital. Tapi apa itu kapital? Apa itu buruh?
Pada runtutan pertanyaan itu, kita harus memiliki definisi
yang tegas mengenai produksi. Karena relasi antara kapitalis, pekerja dan upah
terletak dalam gerak produksi. Produksi adalah pengolahan barang mentah menjadi
komoditas siap pakai. Buruh bersama dengan mesin dan barang mentah tersebut
merupakan pra kondisi awal agar produksi menghasilkan komoditas. Oleh karena
itu kombinasi mereka disebut dengan ‘productive
forces’. Relasi antara buruh dan kapitalis terletak di sini: buruh sebagai
tenaga manusia dalam produksi, sedangkan kapitalis pemilik alat produksi mesin
dan barang mentah. Perbedaan kontribusi antara buruh dan kapitalis dalam productive forces’ menghasilkan sesuatu
yang dikenal dengan ‘relation of production’ atau relasi produksi. Hubungan
antara relasi produksi dan productive
forces melahirkan mode produksi. Mode produksi kapitalisme dimulai ketika
segelintir manusia mengakumulasi modal (kapital), sebagai outcome mekanisasi dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang disebut
teknologi produksi di era revolusi industri.
Dengan demikian Kapitalisme bermula ketika ada segelintir
orang yang menguasai alat produksi, sedangkan mayoritas masyarakat lainya
adalah buruh yang menjual tenaganya pada pemilik modal. Dari sini masyakarat
akhirnya terbagi atas dua kelas: kapitalis minoritas dan mayoritas buruh. Buruh
mayoritas sebagai pekerja menciptakan komoditas sedangkan kapitalis minoritas
pemilik alat produksi. Pekerjaan kolektif
yang dihasilkan oleh mayoritas buruh untuk kapitalis adalah untuk meciptakan
komoditas. Tapi untuk siapa komoditas itu dibuat? Sayangnya, secara paradoks,
komoditas itu nantinya dibeli kembali oleh mayoritas buruh. Jadi bayangkan
sebuah mode produksi sosial yang tujuan komoditasnya adalah untuk masyarakat
secara luas, yang diproduksi oleh masyakat luas tapi yang mengatur dan menikmati
keuntunganya adalah segelintir kapitalis. Kontradisi ini dalam bahasa Pierre,
ia tulis sebagai “fundamental contradiction
of the capitalyst system”. Seiring waktu, kontradisi ini makin tajam,
bahkan termasuk di Indonesia. Kue ekonomi hanya dinikmati segelintir orang
karena kuatnya mode produksi kapitalisme yang disokong kekuasan oligarki
berjubah demokrasi. Oleh karena itu, perjuangan melawan kapitalisme bukanlah
sebuah pilihan politis. Melainkan sebuah reaksi yang objektif atas kontradiksi
dalam sistem kapitalisme.
Upaya untuk mengubah sistem produksi semakin sulit karena kapitalisme
itu dimapankan oleh ‘legalitas’ hukum negara. Kapitalis kuat karena negara
memberikan hak melalui kebijakan politik maupun melalui dalih-dalih
pembangunan, yang kadang kabur arah keberpihakanya. Jadi tidak heran jika
banyak gerakan-gerakan perubahan dari kapitalisme ke bentuk lainya harus
melalui darah perjuangan kelas bukan melalui upaya konstitusional. Dalam
berbagai bentuk perjuangan, yang tertindas sendiri yang harus bangkit melawan,
bukan—dan tidak mungkin—mengharap niat baik dari seorang kapitalis untuk
mengubah status quo kemapanan yang
sedang mereka nikmati.
Bab 2 From Subsistence to Commodities: What is Value?
Pada bab ini, Jalee mencoba meringkas sejarah perkembangan
manusia dari sistem pertanian sederhana, industri modern hingga kemunculan
uang. Di awal hidup masyarakat hanya memproduksi untuk kebutuhan bertahan hidup
dan belum mengenal interaksi ekonomi yang kompleks. Misalnya dulu jika saya
menanam ubi kayu, lalu saya olah menjadi tepung sebagai bahan membuat kue.
Tepung sebagai dasar membuat kue tersebut saya buat sendiri dan outputnya
berupa kue akan menjadi konsumsi pribadi. Tapi hari ini tidak seperti itu lagi.
Kue itu bisa menjadi satuan hitung yang disebut sebagai exchange value, atau nilai tukar. Nilai tukar kue bisa setara
dengan berbagai macam benda. Misalnya ditukar dengan ikan atau sepotong daging
ayam. Dalam interksi ekonomi yang semakin kompleks, untuk menyatakan satuan
hitung yang efisien akhirnya melahirkan nilai moneter berupa uang sebagai
satuan nilai tukar. Nilai tukar kue tadi misalnya setara dengan Rp10.000. Maka
saya bisa menukar kue saya dengan uang untuk membeli barang lain yang tak
terbatas jenisnya selama nilai tukarnya setara. Misalanya harga dua pensil,
nasi ayam, rokok bagas dll, masing-masing Rp10.000, berarti kue tadi setara nilai
tukarnya dengan benda-benda tersebut. Dalam keadaan itu, satu barang yang dapat
dipertukarakan dengan beraga jenis benda lainya dalam satu pasar yang tak
terbatas, definisi komoditas lahir. Karena tujuan manusia melakukan produksi
bukan lagi untuk dirinya sendiri melainkan untuk orang lain juga.
Karl Max membagi semua komoditas dalam dua aspek, nilai guna
dan nilai tukar. Dan berdasarkan tujuanya suatu komoditas bisa menjadi ‘consumer goods’ atau barang konsumsi dan
‘capital goods’ atau barang modal. Barang
konsumi adalah barang yang siap dipakai misalnya baju dan kue tadi. Sedangkan
barang modal adalah komoditas yang menjadi bahan untuk melahirkan komoditas
baru dengan nilai tukar yang lebih tinggi.
Komoditas berupa barang modal seperti yang telah dibahas
pada bab pertama hanya dimiliki oleh segelintir orang. Tapi bagaimana sejarah
akumulasi modal tersebut. Singkatnya dari dua hal, sistem
feodalisme dan kolonialisme. Di masa feodal, bangsawan adalah penguasa alat
produksi berupa tanah, karena di masa itu dominasi perekonomian masih berbasis
agraris. Kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya mengubah orientasi produksi
komoditas dari pertanian ke industri. Produksi yang cepat dan masif harus
disertai dengan suplai barang modal yang memadai juga. Dari sinilah lahir
imprealisme dan kolonialisme, yang semangatnya didorong keinginan untuk mencari
bahan baku industri di Eropa. VOC
sebagai kapitalis Belanda misalnya pertama kali mengijakan kakinya di Nusantara
dengan tujuan berdagang dan mencari bahan mentah. Perusahaan tersebut diberi
hak istimewa untuk melakukan pelayaran dan membangun armada militer untuk
melakukan eksploitasi di Asia, Afrika dan Amerika. Ringkasnya, sejarah
akumulasi kapital tersebut didasarkan pada penindasan, sebagaiman ditulis Karl
Max dalam buku Capital “ in actual history it is notorious that
conquest, enslavement, robbery, briefly force, play the great part”. Akhirnya
dari akumulasi primitif hingga ke industri modern, kaum borjuis yang telah
merampas alat produksi komoditas memiliki kuasa sosial paling besar. Sedangkan
di sisi lain, proletariat yang mayoritas telah dirampas alat produksinya harus
mengetuk pintu-pintu rumah borjuis untuk menawarkan jasa buruh mereka.
Seperti yang disinggung sebelumnya, komoditas memiliki nilai
guna dan nilai tukar. Tapi apa yang menjadi penentu suatu komoditas memiliki
nilai guna dan nilai tukar? Pada pertanyaan tersebut, manusia sebagai buruh
adalah determinan terbesarnya. Bayangkan sebuah biji besi yang masih terkubur
dalam tanah. Biji besi tersebut hanya akan memiliki nilai guna jika sudah
diolah menjadi barang konsumsi atau pun menjadi barang produksi apabila sudah
melalui sentuhan tangan kreativitas manusia. Tanpa sentuhan tangan manusia yang
menggalinya, membentuknya menjadi komoditas konsumsi, biji besi tersebut tidak
akan memiliki nilai guna dan nilai tukar. Peran buruh dalam produksi biji besi
tadi akhirnya mengubah biji besi yang memiliki ‘potential value’ di alam menjadi ‘use value’ atau nilai guna bagi manusia.
Nilai guna pada hakekatnya dilahirkan atas kreasi manusia
(buruh) dan teknologi (modal fisik). Tapi ingat bahwa makna komoditas yang
telah diolah memiliki nilai tukar yang setara dengan benda lain. Lalu bagaimana nilai tukar suatu komoditas
ditentukan? Misalnya tadi ada satu besi yang telah diolah, lalu ditukar dengan
sekeranjang apel. Secara strutrur, unsur kimia, warna, dan bentuk; apel dan
besi tidak memiliki kesamaan sekali pun. Lalu bagaimana akhirnya ada konsesus
(kesepakatan) bahwa sekeranjang apel dan satu besi memiliki nilai tukar yang
setara? Menurut Pierre, nilai tukar antara keduanya ditentukan oleh satu faktor
umum yang tak terlihat yaitu buruh: “the
only common content of all commodities is the labour which has produce them”.
Satu-satunya kandungan umum dari semua komoditi adalah kerja yang telah
memproduksinya. Untuk memperjelas, apel
dan besi memang berbeda, tapi satu kesamaanya adalah: mereka sama-sama
dihasilkan oleh kerja buruh. Dengan demikian, ada satu ukuran yang jelas bahwa
nilai tukar antara keduanya tergantung dari nilai kerja buruh dalam membuat
besi dan menghasilkan sekeranjang apel. Nilai suatu komoditi ditentukan oleh
jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan masyarakat untuk memproduksinya. Untuk
menghidari salah pemahaman makna, saya mengutip dari kalimat aslinya, Piere
menulis “The value of a commodity is
determined by the amount of labour socially necessary to produce it”
Jika determinan (penentu/ukuran) nilai tukar sudah
diporoleh, maka suatu komoditas sudah bisa ditukar dengan jutaan komoditas lain
yang nilai kerjanya dianggap setara. Tapi bagaimana pun, pertukaran antara
barang-dengan barang dalam tataran praktis masih mengalami kendala. Misalnya
sulitnya menemukan dua kebutuhan yang sama di satu waktu. Saya coba
ilustrasikan seperti, saya memiliki ikan, dan saya membutuhkan beras. Ketika
sudah menemukan orang yang memiliki beras, ternyata dia tidak ingin menukar
berasnya dengan ikan, yang dia butuhkan ternyata sayur dan buah. Mungkin bisa
saja dia menerima ikan saya, nanti ikannya ditukar dengan orang yang memiliki
sayur dan buah. Tapi bagaimana jika orang yang memiliki sayur dan buah tidak
membutuhkan ikan, melainkan kopi. Dan seterusnya. Pada kasus yang seperti ini,
maka perlu menemukan satu komoditas yang berfungsi sebagai perantara universal
untuk semua komoditas. Di dunia hari ini, komoditas yang berfungsi sebagai general equivalent tersebut adalah uang.
Bab 3. Labour Power: A Uniqe Commodity that Creates Surplus
Value
Sebelum adanya sistem kapitalisme, kegiatan ekonomi dapat
digambarkan sebagai berikut
Commodity (C)-------------Money(M)------------------Commodity
(C)
Misalnya pembuat roti ingin membeli pakain, maka ia harus
membuat roti terlebih dahulu (C) lalu menjualnya sehingga dia mendapatkan uang
(M) lalu uang tersebut dia pakai untuk membeli pakaian. Tindakan serupa juga
dilakukan oleh seorang pembuat pakaian jika dia ingin membeli roti. Skema ini
disebut dengan skala kecil produksi komoditas, ‘small scale commodity production’. Di sini nilai (C) terakhir dan
nilai (C) pertama tidak ada perbedaan yang signifikan (diukur oleh nilai kerja
masing-masing komoditas).
Kemudian aktor baru dalam perekonomian muncul, dia tidak
memiliki komoditas (C), tapi hanya memiliki uang. Karena hanya memiliki uang,
ia harus membeli terlebih dahulu kepada pembuat komoditas. Tujuanya membeli
untuk bukan untuk konsumsi melainkan untuk dijual kembali (to buy in order to sell) atau dikenal dengan kapitalis reseller.
Sehingga arus ekonomi berubah menjadi
Money (M)------------------Commodity(C)-------------Money(M’)
Nilai M diawal dan nilai M’ yang terakhir sudah berbeda,
menjadi lebih tinggi. Seorang reseler menerima pendapatan dari komoditas yang
ia jual lebih mahal. Inilah yang dinamakan suplus
value. Nilai surplus value tadi ia dapatkan dari pembuat komoditas yang
menjual dengan harga yang lebih rendah (karena tidak ingin menghabiskan waktu
banyak untuk menjualnya langsung ke pasar). Dari sini seorang kapitalis bisa
dengan mudah memupuk kekayaan dari modal uang yang mendatangkan keuntungan. Lalu
keuntungan tersebut diubah kembali menjadi modal untuk memperoleh keuntungan
berikutnya. Akan tetapi, sirkulasi yang seperti itu pada satu waktu akan
terbatas. Aktivitas yang hanya membeli tanpa produksi tidak akan bertahan lama
sebab tidak ada produksi komoditas baru dalam sirkulasi tersebut. Oleh karena
itu, kapitalis reseler mengalihkan uang dari hasil surplus value tersebut untuk
membeli komoditas berupa alat produksi yang menghasilkan komoditas lain dengan
nilai lebih.
Jika masih abstark
saya coba ilustrasikan seperti ini: Ingat kembali bahwa alat produksi terdiri
atas buruh (tenaga manusia), mesin atau pabrik dan sumber daya alam. Secara
keseluruhan alat-alat produksi tersebut didapatkan menggunakan uang, artinya
harus dibeli terlebih dahulu menggunakan uang. Jadi formula M---C---M’ adalah
formula umum dalam kapitalisme. Di antara alat-alat produksi tersebut, surplus
value didapatkan dari M ke M’. M’ didapatkan dari kerja manusia atau tenaga
buruh. Atau dalam bahwa Karl Marx, determinan surplus value paling banyak
didapatkan dari ‘labour power’.
Karl Max mendefinisikan ‘labour power’ sebagai “ the aggregat of those mental and physical
capabilities existing in human being, which his excercises whenever he produces
a use-value of any description”. Jadi labour power merupakan sebuah
kapasitas, atau sebuah potensi yang dapat dibiarkan kosong atau diisi dan juga
bisa gunakan secara intens maupun kurang intens. Apa syarat yang harus dipenuhi
agar manusia memiliki labour power (tenga manusia)? Dan apa yang menjadi ukuran
labour power (tenaga manusia)? Manusia, agar menghasilkan nilai tambah maka ia
harus memiliki baju, makanan, rumah, transportasi dari rumah ke pabrik dan obat
ketika dia sakit. Artinya dia harus memiliki ‘mean of subsistance’ atau sarana penghidupan. Sarana penghidupan
disini harus diinterprestasikan secara luas. Misalnya ketika suatu hari nanti
dia sudah terlalu tua dan mulai sakit-sakitan, anaknya yang akan bekerja.
Disini bukan berarti anaknya bekerja sebagai subtitusi temporer, tapi sebagai
manusia-manusia baru yang menjadi pengganti manusia lama dalam mengasilkan
tenaga manusia. Karena kodrat manusia pasti mati juga akhirnya. Jadi sarana penghidupan
tadi harus diaplikasikan untuk pekerja dan keluarganya. Pemaknaan yang konkret
atas sarana penghidupan bervariasi dalam ruang dan waktu. Bervariasi dalam
ruang karena faktor sosial yang beragam di tiap negara. Sedangkan bervariasi
dalam waktu karena faktor sejarah ( bervariasi dalam satu negara karena seiring
berjalanya waktu). Simpelnya seperti ini, sarana penghidupan masyarakat
Indonesia antara 100 tahun yang lalu dan hari ini pasti berbeda. Dulu mungkin
pendidikan bagi anak bukanlah sebuah sarana penghidupan yang terlalu dianggap
penting. Tapi hari ini, pendidikan—hampir semua—sudah menjadi saran penghidupan
bagi setiap anak di dalam keluarga.
Ingat kembali bahwa alat produksi terdiri atas buruh (tenaga
manusia), mesin atau pabrik dan sumber daya alam. Ketika diaplikasikan dalam
sistem produksi, tenaga manusia mempunyai dua efek: di satu sisi dipakai dalam
produksi dan ketika alat atau saran produksi sudah digunakan, artinya tengan
manusia sudah digunakan juga dalam produksi. Diantara sarana-sarana prouduksi
tersebut, mesin dan pabrik yang terdepesiasi dan tahan lama penggunaanya hanya
sedikit digunakan. Dengan kata lain, hampir semua komoditas hasil produski
merupakan ‘outcome’ atau ‘hasil’ dari
kerja buruh semata.
Mari ilustrasikan bahwa seorang buruh dibayar Rp60.000 untuk
bekerja. Angka tersebut merupakan kuantifikasi atas sarana penghidupanya. Setelah
bekerja selama 4 jam, angka Rp60.000 sudah didapatkan dalam produksi. Bersama
dengan sarana produksi lain yang digunakan (mesin, listrik, barang mentah dan
bangunan pabrik) nilai uang yang digunakan sudah sebesar Rp100.000. Artinya
dari mesin dan bahan mentah menyumbang Rp40.000 dalam produski. Jika seorang
kapitalis menjual komoditas dari hasil produksi tersebut sebesar Rp100.000 maka
sistem kapitalisme pasti akan runtuh. Sebab tidak ada nilai lebih yang
dihasilkan oleh kapitalis (break even
point). Agar sistem kapitalisme bekerja maka jam kerja buruh perlu
ditambah, melebihi jam kerja sarana penghidupan. Dalam konteks hari ini, jam
kerja tersebut adalah delapan jam sehari. Dari tambahan jam kerja ini seorang
kapitalis mendapatakn nilai lebih sebesar Rp40.000. Namun angka tersebut bukan
untuk seorang buruh tapi untuk kapitalis. Sebab seorang buruh sudah pakem dibayar Rp60.000 per
hari. Angka Rp40.000 tersebut dinamakan surplus
labour, tapi dinikmati kapitalis. Angka surplus
value atau eksploitasi kapitalis bisa dihutung dengan cara jam kerja yang
mencapai sarana penghidupan dibagi dengan jam surplus value diporelah. Dalam
contoh ini adalah empat dibagi empar, dikali 100%, sama dengan 100 persen. ((40/40) x
100%).
Ingat kembali ada dua elemen dalam sebuah komoditas. Pertama
semua mesin, barang mentah dan peralatan lainya. Penambahan kapasitas produksi
tidak akan berdampak besar pada penggunaan elemen ini. Misalnya seperti ini.
Entah mau memproduksi 1000 kue ataupun satu kue, penambahan kapasitas produksi
tidak akan mempengaruhi biaya untuk mesin. Jika harga mesin itu katakanlah
Rp10.000, maka biaya yang dikeluarkan oleh mesin untuk membuat 1 hingga 1000
kue tetap sama, yakni Rp10.000. Dalam ekonomi jenis input seperti disebut
dengan biaya konstan produksi. Di sisi lain, modal tenaga manusia tidaklah
konstan, dia bisa bertambah ataupun berkurang. Jika menambah jam kerja
bertambah pula surplus yang dihasilkan. Oleh karena itu, modal kapital yang
digunkan untuk membayar tenaga manusi disebut dengan biaya variabel.
Akan tetapi dalam sistem kapitalisme, surplus value adalah
tenaga yang tidak dibayar. Sehingga penambahan hasil yang diproduksi tidak bisa
dimasukan dalam biaya variabel. Mudah saja bagi kapitalis untuk meningkatan
surplus value yang dimilikinya, yakni dengan memperpanjang jam kerja. Dalam
bahasa Pierre, ini dia tulis sebagai ‘Absolute
Surplus Value’. Selain itu Kapitalis bisa juga meningkatan surplus value
dengan menaikan kapasitas produksi tanpa harus menambah jam kerja. Dalam hal
ini, kapitalis bisa menggunakan mesin canggih yang kemudian menambah
produktivitas buruh. Peningkatan produktivitas tersebut mempercepat titik
ekuilibrium antara jam kerja dan titik impas dengan sarana penghidupan ‘means of subsistance’ buruh. Jadi meskipun
tidak menambah jam kerja, surplus value sebenarnya kapitalis meningkat. Pierre menulis
ini sebagai ‘relative surplus value’. Dalam
kasus lain, surpus value dilakukan dengan mendesain pola kerja yang memaksa
buruh untuk menguras tenanganya jauh lebih dalam lagi.
Tanpa surplus value, kapitalisme tidak akan bertahan. Tujuan
dan orientasi mereka adalah selalu mencari keuntungan yang diperoleh dari
proletariat yang tidak dibayar. Hal ini menyebabkan munculnya antagonisme dalam
relasi sosial yang tidak bisa diselesaikan dalam kerangka politis, karena
kapitalisme sendiri mengalir bersama politik. Sehingga tidak ada dikotomi
antara kapitalisme, baik, jahat dan setengah jahat, selama surplus value
tersebut dihasilkan dari penindasan terhadap ploretariat.
Bab 4. Early Conclusion
Dari apa yang telah kita bahas pada bab-bab sebelumnya, kita
menyadari bahwa yang konstan adalah perubahan itu sendri. Tapi dari zaman
feodalisme hingga era saat ini, kapitalisme selalu memiliki sifat yang sama
atas eksploitasi. Bahkan perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi pada
akhirnya mempercepat dan memperkokoh surplus value dalam kapitalisme. Semacam
ada paradoks atau hubungan yang terbalik antara kemajuan ilmu pengetahuan dan
nasib umat manusia sebagai buruh. Fenome melihat gerak alam dan efek berputar
ini disebut dialektika.
Pieree memperlihatkan contoh sederhana mengenai dialektika. Segelas
air yang mula-mula suhunya 9 derajat, dimasukan dalam tunggku akan berubah
menjadi 90 derajat, kemudian naik menjadi 99 derajat. Meskipun ada perubahan,
dia tetap air, tapi dipanaskan lagi hingga 100 derajat, sebagian air tersebut
sudah menjadi uap—perubahan kondisi secara tiba-tiba. Pada poin ini perubahan
kualitatif merupakan perubahan bertahap atas perubahan-perubahan sebelumnya.
Sama seperti kapitalisme, kita menyadaari bahwa perubahannya berangsur-angusur
dari zaman feodalimse, kolonialisme,
revolusi industri hingga hari ini. Dan perubahan dari satu zaman ke
zaman baru dipengaruhi oleh satu zaman sebelumnya hingga berakhir pada pengakumulasian
kapital di segelintir orang.
Kemudaian kita juga telah melihat kontradiski-kontradiksi dalam
sejarah kapitalisme. Kontradiksi di tiap zaman tidak akan lahir jika tidak didukung
oleh sistem kapitalisme. Sama seperti kontradiksi perubahan keseimbangan dari
air menjadi uap tidak akan ada jika tidak ada api. Jadi ada satu kesatuan dua
element dalam satu kontradiksi. Kita tidak akan memahami proletariat jika tidak
ada borjuasi dan sebaliknya. Pertentangan antara keduanya tidak terjadi dalam
ruang vakum, melainkan ada secara nyata di masyarakat.
Kontradiksi tersebut, didukung oleh infrastruktur ekonomi,
infrastruktur ekonomi yang dan tak terbatas yang mencakup semua nilai: baik,
buruk, jahat, moral dll dikelompokan dalam satu kesatuan, yakni suprastruktur. Suprastruktur
sebagai satu kesatuan yang besar disusun oleh infrastruktur ekonomi. Sehingga
surpastruktur dengan demikian tergantung apa infrastruktur ekonominya. Di masa
kini, ekonomi sudah bangun atas ‘supporting
system’ mendukung’ pengakumulasian. Maka tidak heran jika nilai
suprastruktur kita seperti apa yang baik dan yang buruk berangkat dari
pengandaian-pengandain naif inftrastruktur ekonomi . Seperti hak kepemilikan
properti rivat dll, sehingga ada yang memiliki dan tidak memiliki. Sayangnya
pola seperti dilegalkan oleh hukum, filsafat dll.
Kita harus menyadari bahwa meskipun suprastruktur
dipengaruhi oleh infrasntruktur, tidak selama hubungan antara keduanya selalu
melalui asas kausalitas. A selalu melahirkan B misalnya dalam logika kausalitas,
B disebabkan oleh A. Tapi dalam dialektika kasusnya tidak selalu seperti itu. Dalam
kontes ini, infrastruktur memang dipengaruhi oleh suprastruktur, tapi dia
memiliki kekuatan yang justru mampu mengubah infrastruktur. Kejadian ini bisa
kita lihat pada revolusi negara kapitals menjadi negara sosialis.