Penulis: Samsul Bakri (Direktur LAPMI Semarang)
Rumit untuk menceritakan titik awal sebagai gambaran awal yang menandai Gerakan 30 September. Karena memang, malam hari 30 September sebagai hari penculikan beberapa jendral hanyalah aksi dari rencana yang panjang. Jadi untuk mengetahui awal mula lahirnya muncul gerakan, maka perlu mengetahui variabel lain yang melahirkanya. Ringkasnya, bahwa tidak ada satu tindakan tanpa niat yang panjang. Apalagi tindakan dengan bobot risiko yang sangat besar seperti membunuh orang-orang militer penting di Indonesia.
Sayangnya, titik awal gerakan ini terdapat beberapa versi yang cenderung menampilkan sisi positif di kelompok internal dan sisi negatif bagi kelompok lainya. Terdapat subjektivisme dan bias kelompok dari cerita yang mendahuli G 30 S tersebut. Kelompok pemerintah di bawah rezim Soeharto menuduh PKI adalah dalang di balik G 30 S.
Pembenarnya adalah dendam masa lalu kegagalan dalam kudeta PKI Madiun 1948. Serta aktor-aktor militer yang menginisiasi penculikan 7 jendral adalah kerabat dekat tokoh-tokoh PKI. Kolonel Untung Misalnya, ketua G 30 S merupakan teman Alimin dan sering mengikuti diskusi dengan tokoh-tokoh penting Partai Komunis Indonesia.
Dari sisi lain, ada bantahan dari PKI dan orang-orang yang dituduh sebagai pemberontak. Mereka berdalih bahwa tindakan mereka bukanlah upaya kudeta, melainkan atas perintah Presiden Sukarno atas isu adanya dewan jendaral yang akan melakukan kudeta terhadap presiden yang salah.
Selain dua versi yang telah saya sebutkan di atas, ada beragam teori lain yang disampaikan oleh pelaku sejarah dan ilmuwan mengenai faktor yang melatar belakangi melutusnya G 30 S. Namun sangat sulit untuk mengambil benang merah kepada teori atau pendapat kutub mana yang merupakan sebuah kebenaran.
Apabila kita mau menggunakan kebenaran adalah menurut putusan hukum, dalam kasus G 30 S, hal tersebut tidak bisa berlakukan. Dalam buku Dalih Pembunuhan Masal yang ditulis oleh John Rossa, memuat salah satu dokumen Lemhanas mengenai keterlibatan PKI dalam G 30 S. Buku Lemhanas tersebut dimauat dalam bentuk tanya jawab.
Berikut satu bagian tentang tanggung jawab "PKI":
"Pertanyaan: Apakah benar bahwa G-30-S/PKI yang menggerakkan adalah PKI dan apakah setiap anggota PKI tentu terlibat dalam G-30-S/PKI?"
Jawab: Benar
a. bahwa G-30-S/PKI digerakkan oleh PKI telah dapat dibuktikan baik secara fakta maupun secara hukum di depan sidang-sidang Mahmilub yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tokoh-tokoh G-30-S/PKI
b. Seluruh anggota PKI dapat dianggap terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung (setiap orang berkewajiban melaporkan pada penguasa bila ia mengetahui bahwa suatu kejahatan akan dilakukan dan juga sesuai dengan prinsip organisasi PKI bahwa keputusan pimpinan partai, mengikat seluruh anggota).
John Rossa kemudia menagatakan "Saya tidak puas dengan kedua poin jawaban itu". Poin pertama, persidangan-persidangan Mahmilub tidak membuktikan bahwa PKI mendalangi G-30-S. Kesaksian-kesaksian terdakwa dan saksi-saksi merupakan timbunan ketidakajegan. Para penuntut tidak mengajukan bukti-bukti tandas kesalahan "PKI" dan para hakim tidak membutuhkannya; mereka memulai prosiding peradilan dengan kepercayaan (yang telah dipropagandakan Angkatan Darat) bahwa "PKI" bersalah.
Harold Crouch dalam buku Militer dan Politik di Indonesia saat mengulas beberapa berkas rekaman persidangan Mahmilub pada awal 1970-an, mengatakan bahwa orang dapat dengan mudah menyimpulkan dari berkas-berkas tersebut bahwa sekelompok perwira Angkatan Darat yang tidak puas memimpin G-30-S dan mengajak beberapa pimpinan PKI untuk membantu mereka.
Poin kedua jawaban Lemhanas sama mudah disangkal. Tuduhannya adalah bahwa seluruh tiga juta anggota partai mengetahui tentang G-30-S sebelumnya dan bersalah karena pengabaian ("tidak melaporkan pada penguasa"). Tuduhan ini tidak mungkin benar: saluran-saluran informasi di dalam partai tidak sedemikian ketat sehingga tiga juta orang dapat mengetahui sesuatu yang orang lain, termasuk agen-agen intelijen kunci di dalam Angkatan Darat, tidak tahu.
Selain bersalah karena pengabaian, mereka bersalah karena keterkaitan; sebagai anggota partai, mereka bertanggung jawab atas segala keputusan yang diambil para pimpinan ("keputusan pimpinan partai mengikat seluruh anggota"). Itulah prinsip kesalahan kolektif -- sebuah prinsip yang sudah ditolak oleh semua negara di dunia berdasarkan rule of law.
Masih menggunakan referensi dari buku John Rossa, bahwa pelimpahan kesalahan kepada masyarakat dengan rangkaian kejadian yang sama sekali tidak terikat adalah kesalahan besar. Sebab, jika dilihat secara menyeluruh, menurut Rossa, G-30-S tampak sebagai sosok aneh yang tidak masuk akal. Tidak ada pola yang jelas, bahkan jika kita susun berurutan rangkaian kejadian-kejadian yang sudah disepakati umum yang dapat kita anggap sebagai fakta sekalipun. G-30-S tidak dapat digolongkan sebagai pemberontakan pasukan militer, percobaan kudeta, atau pemberontakan sosial.
Jika bagi Presiden Sukarno aksi G-30-S itu sendiri disebutnya sebagai "riak kecil di tengah samudra besar Revolusi [nasional Indonesia]," sebuah peristiwa kecil yang dapat diselesaikan dengan tenang tanpa menimbulkan guncangan besar terhadap struktur kekuasaan, bagi Suharto peristiwa itu merupakan tsunami pengkhianatan dan kejahatan, yang menyingkapkan adanya kesalahan yang sangat besar pada pemerintahan Sukarno.
Suharto menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) mendalangi G-30-S, dan selanjutnya menyusun rencana pembasmian terhadap orang-orang yang terkait dengan partai itu. Walaupun aksi-aksi pada 1 Oktober tersebut tak lebih dari pemberontakan berskala kecil dan terbatas oleh pasukan Angkatan Darat dan demonstrasi oleh kalangan sipil, rezim Suharto menggambarkannya sebagai awal dari serangan PKI yang masif dan keji terhadap semua kekuatan nonkomunis.
Dalam catatan resmi dinyatakan bahwa "penumpasan PKI" telah dilakukan melalui tindakan administratif dan tanpa pertumpahan darah; orang yang dicurigai ditangkap, diperiksa untuk memastikan bersalah atau tidak, lalu dibagi dalam tiga golongan (A, B, dan C) sesuai tingkat keterlibatan masing-masing di dalam G-30-S, lalu dipenjarakan.
Namun sayangnya, realitanya tidak tanpa pertumpahan darah. Banyak temuan di daerah telah terjadi pembunuhan secara masal, baik dilakukan oleh tentara maupun sesama masyarakat. Rezim orde baru ketika ditanya mengenai kematian massal di daerah mengatakan "Ribuan korban djatuh didaerah2 karena rakjat bertindak sendiri2, djuga karena prasangka buruk antar golongan yang selama bertahun2 ditanamkan oleh praktek2 politik jang sangat sempit."
Seperti dikatakan Robert Cribb, pembunuhan yang terjadi "dipandang seolah-olah tergolong dalam kategori tak lazim kematian massal akibat 'kecelakaan'. Para juru bicara militer dengan sopan meyakinkan para wartawan bahwa pembunuhan apa pun yang terjadi adalah akibat kemarahan rakyat yang tak terkendali, bukan pembantaian yang diatur tentara.
Dari kisah-kisah semacam ini, Karnow sampai pada kesimpulan bahwa tentara mengorganisasi pembantaian berkelanjutan secara sistematik di Jawa Tengah. Topping juga menyimpulkan bahwa militer melakukan pembunuhan secara kilat terhadap rakyat di Jawa Tengah tetapi ia mengatakan pola kekerasannya berbeda dengan yang terjadi di Jawa Timur dan Bali.
Di dua daerah terakhir militer biasanya menghasut penduduk sipil untuk melakukan pembunuhan, ketimbang memerintahkan personil mereka sendiri melakukan tugas kotor itu. Tentara menebar suasana ketakutan dengan mengatakan kepada masyarakat di kota dan desa bahwa PKI sedang bersiap-siap melakukan pembunuhan besar-besaran: menggali kuburan massal, menyusun daftar hitam orang yang akan dibunuh, menyiapkan alat khusus pencungkil mata.
Topping menyatakan bahwa pada umumnya para pengamat Indonesia yang berpengalaman menganggap cerita-cerita yang disebarkan tentara sebagai cerita yang dibuat-buat: "Tidak ada bukti kuat bahwa orang-orang Komunis mempunyai perbekalan senjata yang begitu besar atau merencanakan pemberontakan massa di seluruh tanah air untuk merebut kekuasaan dalam waktu dekat." Topping menambahkan bahwa pengingkaran tentara terhadap tanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan yang terjadi disangkal bukan hanya oleh hasil penyelidikan singkatnya sendiri tapi juga oleh pernyataan pribadi salah satu dari para panglima utama Suharto sendiri.
Mayor Jenderal Sumitro, Panglima Kodam Brawijaya, Jawa Timur, dalam wawancaranya dengan Topping berkata, bahwa Suharto, pada November 1965, mengeluarkan perintah secara rinci tentang pembasmian PKI. Dalam Desember 1965, Sumitro beserta stafnya mengunjungi seluruh komando distrik militer di Jawa Timur untuk memastikan bahwa perintah itu telah dipahami. Topping mengutip Sumitro yang mengakui bahwa "sebagian besar komandan setempat telah menunaikan tugas sebaik-baiknya untuk membunuh kader-kader [PKI] sebanyak-banyaknya.
Kampanye anti-PKI sama sekali menjadi tidak sepadan dengan alasan senyatanya. Dua orang pakar tentang Indonesia dari Cornell University, Benedict Anderson dan Ruth McVey, pada awal 1966 mengamati bahwa tentara Suharto telah memulai kampanye antikomunis cukup lama sesudah G-30-S hancur dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangkit kembali. Di antara saat G-30-S tamat riwayatnya dengan saat penangkapan massal oleh tentara dimulai, "tiga minggu berlalu tanpa adanya kekerasan atau tanda-tanda terjadinya perang saudara, bahkan menurut Angkatan Darat sendiri." Dua penulis itu berpendapat bahwa G-30-S dan kampanye antikomunis yang mengikutinya "merupakan fenomena politik yang sama sekali terpisah".
Sayangya dalam wacana politik di Indonesia menjadi lazim menggabungkan G-30-S dengan kekerasan massal yang mengikutinya, seakan-akan keduanya merupakan suatu peristiwa tunggal; satu istilah, "Gerakan 30 September," digunakan untuk merujuk ke dua peristiwa. Sepanjang akhir 1965 sampai awal 1966.
Fenomena ini mengingatkan saya pada buku Silenncing the Past, karya Michel-Ralph Trouillot, ia mengatakan orang "berperan serta dalam sejarah baik sebagai pelaku maupun pencerita". Mereka yang menjadi pelaku sejarah bebas memilih jalan ataupun pencerita sejarah. Cerita yang disampaikan bisa saja sangat berlainan dengan jalan sejarah yang telah dilaluinya. Dalam kasus tragedi kemanusian 1965-1966, militer yang bertanggung jawab menginginkan jalan sejarahnya lenyap beserta korbanya. Mereka tidak menceritkan sejarah teror mereka di masa lalu.
Seperti ditulis Trouillot: “Sejarawan profesional sendiri tidak menyusun kerangka naratif untuk menempatkan cerita-cerita mereka. Sering kali ada orang lain yang sudah masuk pentas lebih dulu dan mengatur lingkaran kebisuan". Suharto adalah orang yang mengatur lingkaran kebisuan tersebut. Ia yang merancang pembantaian tapi menyembunyikan sosoknya sebagai dalang. Di saat pembantain berlangsung, dia memuji hal lain, dia ingin dunia melihat bahwa tindakanya adalah sebagai keberhasilan menumpas PKI sebagai penghianat bangsa.
Narasi yang dibangun di publik bahwa pembunuhan merupan sesuai prosedur negara hukum hanyalah kebohongan belaka. Jutaan jiwa masyarakat yang tidak berdosa dibunuh secara diam-diam dan dieksekusi di malam hari. Tindakan pembunuhan ini dilakukan untuk memberi contoh kepada masyarakat luas agar membunuh tanpa tercium bau kebusukanya. Jutaan mayat hasil eksekusi terselubung mereka buang ke sungai, dimasukan ke penguburan massal dan sumur air bekas.
Padahal jika dilihat, peristiwa 30 S hanyalah satu peristiwa kecil saja, ibaratnya, Suharto membakar satu negara hanya untuk membersihkan satu belukar di ladang. Mereka menggunakan G 30 S sebagai dalih melakukan pembantaian masal yang memang sudah direncanakan lebih dulu untuk PKI dan Sukarno. Barangkali, orang-orang sipil, militer dan mereka semua yang terlibat dalam pembantaian terus menerus menyuarakan bahaya laten komunis sebenarnya untuk menutupi dosa-dosa dan menenangkan batinya. Ketika mereka mengakui terjadinya pembunuhan massal, mereka mengatakan G-30-S-lah penyebab terjadinya pembunuhan, seakan-akan kematian ratusan ribu orang dan penahanan terhadap satu juta lebih lainnya merupakan tanggapan tidak terhindarkan, yang setimpal dan alamiah. Inilah narasi penyalahan korban yang selama ini terpatri sebagai ajaran umum.
Peristiwa G 3 S sama seperti peristiwa pembakaran hotel di Jerman pada tahun 1928. Tanpa dan sebelum keluar laporan hasil investigasi laporan kepolisian, Hiteler langusng menuduh bahwa pembakaran hotel ini merupakan upaya kudeta Partai Komunis Jerman. Seperti Suharto, Hitler juga mendahuli fakta dalam mengajukan pendapat yang pantas dipersalahakan. Mereka sama-sama mencapai kekuasaan dengan cara busuk dan licik