Ditulis oleh : Samsul Bakri
Sejak kasus Covid-19 pertama kali diumumkan di Indonesia pada awal Maret lalu, jumlah pasien covid-19 terus bertambah. Per 30 Mei 2020, jumlah orang yang terkonfirmasi postif Covid-19 berjumlah sebanyak 25.773 orang, dalam perawatan 17.185, sembuh 7.015 dan meninggal 1.573. Sebagai respon, Presiden telah menetapkan status darurat kesehatan masyarakat. Langkah yang ditempuh adalah pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penganan Corona Virus Diseas 2019 (Covid-19). Penerapan PSBB tentu saja akan membatasi pergerakan masyarakat. Tetapi di sisi lain akan juga berdampak pada pelemahan ekonomi sebab sektor produksi akan terganggu lalu akan merembes ke melemahnya sektor konsumsi.
Dalam laporan kuartal 1 tahun 2020 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan perekonomian pada k hiuartal 1 tahun ini hanya tumbuh sebesar 2,97% . Memang jika dibanding dengan negara besar lainnya. pertumbuhan ekonomi kuartal I Indonesia cenderung masih lebih baik, namun perlu diingat bahwa pandemik ini baru terkonfirmasi masuk ke Indonesia pada bulan Maret dan semakin meluas secara eksponensial. Lebih lanjut, kinerja investasi asing pun tak menggembirakan di kuartal ini karena mengalami kontraksi -9,2% dikarenakan 70% investasi asing yang masuk ke Indonesia berasal dari negara- negara yang terdampak cukup dalam seperti Singapura, Tiongkok, dan Jepang. Lalu berdasarkan laporan APBN kuartal 1 belum banyak terpengaruh dampak Covid-19. Hingga Maret kemarin realisasi pendapatan negara mencapai Rp375,9 T (16,8% APBN; tumbuh 7,7%), Belanja Negara Rp452,4 T (17,8% APBN; tumbuh 0,1%), DefisitRp76,4 T atau 0,45% PDB. 4 Pengaruh pandemi ini terhadap kinerja APBN diperkirakan baru benar-benar terlihat di kuartal II nanti.
Salah satu dari beberapa langkah penting yang telah diambil pemerintah sejauh ini adalah dengan merombak secara besar-besaran APBN 2020 yang telah dirancang jauh sebelum pandemi ini muncul melalui refocusing dan realokasi anggaran. Yang diwadahi secara hukum oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan yang kemudian disahkan menjadi UU oleh DPR. Terdapat empat hal yang menjadi concern dalam perpu tersebut, keempatnya merupakan penangan terhadap Covid-19, bantuan sosial, stimulus ekonomi untuk UMKM dan kopersai serta antisipasi terhadap system keuangan.
Namun, akibat dari dikeluarkanya Perpu tersebut batas anggaran defisit yang dibatasi tidak boleh melebihi 3% PDB sebagaimana yang diatur dalam UU No. 17/2003 akan berubah menjadi 5%. Kondisi deficit APBN yang berada pada tingkat 5% terhadap PDB akan berlaku hingga tahun 2022. Artinya, pada 2023 defisit APBN akan kembali mengacu pada UU No. 17/2003 yakni tidak lebih dari 3%. Berdasarkan informasi yang diperoleh pada koran Bisnis, asumsi PDB nominal yang digunakan pemerintah untuk tahun ini adalah Rp16.500 triliun---Rp16.800 triliun. Artinya, defisit pada tahun ini secara nominal mencapai Rp836,5 triliun---Rp851,7 triliun.
Defisit dapat menjadi acuan sehat atau tidaknya keuangan negara. Namun defisit dalam APBN tidak selamanya bermakna negatif, defisit dalam skala yang wajar menunjukan bahwa anggaran yang digunakan untuk membangun terserap secara optimal. Dalam situasi yang normal, negara yang ingin memperbaiki defisit anggaran dapat melakukan pengematan di sisi belanja/pengeluaran dan meningkatkan sisi pendapatan. Penghematan dapat dilakukan dengan pemangkasan biaya operasional, penghentian program yang tidak efektif, atau pemangkasan biaya subsidi. Dari sisi pendapatan dapat digenjot sektor pajak, migas, atau dengan cara melakukan pinjaman dan mengeluarkan Surat Utang Negara (obligasi).
Dalam situasi pandemic covid-19 yang paling memungkinkan untuk diterapkan adalah melakukan pinjaman dan menerbitkan obligasi. Sebab APBN 2020 akan berdampak besar pada sisi pendapatan terutama penerimaan pajak dan bea masuk yang juga diatur dalam Perpu. Pada Pasal 5 Perpu No. 1 2020, terdapat pengeyuaian tarif pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebagai penyesuaian atau perubahan dalam UU No 36/2008. Dalam Undang-Undang nomor 36 Tahun 2008, 7 PPh Pasal 17 menjelaskan secara terperinci tentang tarif yang digunakan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak. Istilah Penghasilan Kena Pajak mengacu pada jumlah penghasilan bruto dikurangi komponen pengurang penghasilan bruto dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Wajib Pajak yang dimasukkan dalam undang-undang ini meliputi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dan Wajib Pajak badan dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Jika mengacu pada PPh pasal 17 yaitu Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah sebesar 28% dari pendapatan bersih sebuah badan usaha. Perusahaan atau badan usaha yang berbentuk PT apabila menyetorkan minimal 40% dari total sahamnya akan memperoleh tarif 5% lebih rendah. Ketentuan tersebut kemudian diubah dalam Perpu No 1/2020 di pasal 5 poin a, besaran pajak terhadap badan usaha dalam negeri diubah menjadi 22% 8 dan badan usaha yang telah menyetorkan minimal 40% dari total sahamnya ke Bursa Efek Indonesai akan memperoleh tarif 3% lebih rendah. Lalu di Pasal 8 Perpu No 1/2020 juga diatur mengenai pemberian kebebsan kepada wajib pajak pribadi apabila terlambat melakukan pembayaran pajak. Di pasal 9 dikatakan bahwa Menteri Keuangan memiliki kewenangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penaganan Corona Virus Disease 19 (Covid-19).
Jika melihat Postur APBN dari sisi penerimaan, kedua sektor tersebut (pajak dan bea masuk) selalu menjadi penyumbang terbesar. Sehingga jika terjadi masalah terhadap keduanya kemudian berimbas pada penerimaan negara yang tahun ini turun sekitar 10 %(perkiraan kemenkeu). Namun, disaat bersamaan belanja negara harus meningkat untuk kesehatan, bantuan sosial dan membantu pelaku usaha agar tidak melakukan PHK besar-besaran. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab melebarnya defisit anggaran hingga diatas 5% terhadap PDB.
Lalu seperti apa jalan yang ditempuh pemerintah untuk tetap memenuhi kebutuhan biaya ditengah pandemic Covid-19? Secara garis besar alternatif sumber pembiayaan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menutup kebutuhan selama pandemic ini. Pertama pembiayan yang berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL), kemudian dari dana abadi pemerintah, dana dari Badan Layanan Umum, refocusing anggran, serta pembiayaan dari pasar dengan penerbitan Surat Berharga Negara. Baik Surat Utang Negara (SUN) maupun sukuk termasuk Surat Berharga Ritel baik di pasar domestic maupun global (valas).
Saldo Anggaran Lebih merupakan akumulasi dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA)/Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SiKPA) tahun anggaran lalu dan tahun anggaran berjalan usai ditutup, ditambah atau dikurangi dengan koreksi. Melalui skema ini, pembiayan akan berasal dari Lembaga pemerintah atau BUMN yang memiliki dananya. Berdasrakan pernyataan dari Mentri Keuangan, Sri Muliyani, saat ini Saldo Anggaran Lebih sejumlah 160 triliun dan disimpan di Bank Indonesia. Dana tersebut akan digunakan untuk menutupi defisit t pembiayaan dampak ekonomi covid-19. Lalu dana abadi merupakan dana yang bersifat abadi guna menjamin keberlangsungan Pendidikan generasi masa depan. Tujuan dana tersebut fokus untuk bidang penelitian dan perguruan tinggi yang seharusnya menurut perpers dana abadi tidak bisa digunakan untuk belanja non Pendidikan.
Mengenai skema alokasinya belum ada publikasi resmi dari LPDP atau Kemenkeu mengenai sektor apa saja yang akan dibiyai menggunakan dana Abadi. Namun yang masih diperhatikan adalah jangan sampai alokasi dana abadi non utang akan berdampak pada terganggunya pembangunan Pendidikan di Indonesia. Pembiayan menggunakan dana dari pasar dengan menjual Surat Berharga Negara dalam bentuk Surat Utang Negara dan Surat Syariah Berharga Negara hingga akhir tahun 2020 akan ditarget senilai total 697,3 triliun rupiah yang nanti akan akan digunakan untuk menambal defisit fiskal. Dalam jangka pendek sumber pembiaayan melalui utang memang efektif namun dalam jangka Panjang kebijakan akan menjadi masalah kerena adanya kewajiban pemerintah untuk membayar cicilan beserta bunganya. Ditambah nilai mata uang rupiah yang cenderung selalu melemah terhadap dollar Amerika Serikat akan memperbesar kewajiban utang luar negeri yang pembayaranya menggunakan valuta asing. Sehingga utang luar negeri yang bertambah perlu dibarengi kebijakan disisi moneter maupun fiskal untuk menjaga stabilitas nilai tukar.
Diluar opsi-opsi yang telah dikeluarkan pemerintah untuk menangani dampak pandemic covid-19, beberapa pihak sempat menyuarakan pendapat. Misalnya saran dari seorang anggota dewan yang mengusulkan agar pemerintah mencentak uang lalu disebarkan ke masyarakat agar sektor konsumsi dan produksi tetap berjalan sehingga pertumbuhan ekonomi bisa normal. Pandangan mencetak uang untuk mengindari krisis ekonomi serupa dengan pandangan ekonom Modern Monetary Theory, dimana bank sentral dapat melakukan pencetakan uangsebanyak-banyaknya tanpa ada Batasan. Namun bisakah kebijkan tersebut diterapkan di Indonesia? Lalu ada pula saran dari ekonom nasional yang menganjurkan agar pemerintah melobi kreditur mengenai keterlambatan pembayaran utang . Kemudian merealokasi dana pembayaran bunga utang luar negeri tersebut untuk penangan covid-19.
Tentunya masih banyak saran dan masukan dari berbagai pihak mengenai skema alternatif pembiyaan APBN tanpa harus menambah utang, Oleh karena itu, kami Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) Semarang membuka ruang diskusi bagi teman-teman mahasiswa yang ingin menyampaikn saran atau aspirasi dan kritik kebijakan dalam penanganan covid-19 di bidang ekonomi. Sebab, usaha bersama masyarakat dan pemerintah dalam memerangi Pandemi baik dari kebijakan kemanusiaan, ekonomi, dan politik memang perlu untuk terus di galakan. Strategi Pemerintah dalam Belanja dan stimulus yang begitu besar untuk menjaga ketahanan ekonomi lapisan terbawah sepatutnya wajib dijalankan dengan cukup efektif dan efisien. Tentu, belanja yang cukup besar akan memperlebar defisit anggaran pemerintah di tahun ini, tetapi di dalam sudut pandang lain diharapkan akan mempertahankan ketahanan ekonomi Indonesia di situasi yang rumit ini. Melambatnya perekonomian tahun ini tidak dapat dielakkan lagi, tetapi bagaimana Indonesia merespons situasi ini menjadi hal yang cukup vital dalam kelanjutan roda perekonomian Indonesia. Kuatnya ketahanan ekonomi dalam negeri dapat memberikan imunitas penting bagi keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka yang panjang.