Oleh : Samsul Bakri (Direktur LAPMI Semarang)
Infrastruktur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunanan. Berdsarkan studi Bank Dunia, setidaknya 30% dari proses pembangunan disumbang dari ketersediaan dan ketercukupan infrastruktur. Lebih lanjut, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 %, dibutuhkan peningkatan investasi infrastruktur 20-30% dari anggaran yang ada (the World Bank, 2015). Sementara itu, beberapa studi juga menunjukkan pentingnya peran infrastruktur dalam pembangunan yang mana infrastruktur memiliki elastisitas berkisar 0,07 hingga 0,44 terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya bahwa ketercukupan dan akses yang memadai terhadap infrastruktur berimplikasi positif terhadap pembangunan, seperti penciptaaan lapangan kerja, peningkatan efisiensi dan daya saing dalam proses produksi dan pemberdayaan terhadap sumber-sumber daya yang dimiliki suatu wilayah.
Infrastrkur juga menjadi prioritas utama Jokowi Pada saat bergulirnya masa kampanye tahun 2014 lalu, pasangan Joko Widodo – Jusuf Kala merancang Sembilan agenda prioritas. Sembilan agenda tersebut disebut dengan Nawa Cita. Program tersebut digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Tulisan ini akan fokus membahas prioritas Joko Widodo untuk mewujudkan kemandirian dalam bidang ekonomi melalui pembangunan infrastruktur.
Bagi negara Indonesia, infrastruktur merupakan kebutuhan yang sangat penting dan mendesak. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara dengan kondisi geografis yang sangat luas serta dengan jumlah penduduk terbesar keempat dunia. Pernyataan ini sendiri dinyatakan oleh Sri Mulyani, Menteri Keuangan Republik Indonesia. Masih menurut Sri Mulyani, pembangunan infrastruktur yang digalakkan pemerintah bukan sekedar untuk mempertontontan kemewahan. Tapi pemerintah melakukan hal ini untuk memenuhi kebutuhan masyarakat demi tujuan nasional. Pembangunan infrastruktur sendiri menurut Sri Mulyani merupakan investasi jangka panjang. Karena merupakan investasi jangka panjang maka manfaat dari infrastruktur bisa dirasakan dalam beberapa tahun ke depan. Setidaknya sekitar 5, 10 hingga 30 tahun baru manfaat investasi infrastruktur ini bisa dirasakan. Tidak hanya itu, infrastruktur juga bisa menguntungkan karena dapat menarik investor untuk berinvestasi. Salah satu infrastruktur atau mega proyek yang saat ini ramai diperbincangkan adalah tol Trans Jawa.
Tuntutan dan Kebutuhan Jalan Tol Trans Jawa
Tol Trans Jawa adalah jaringan jalan tol yang menghubugkan kota – kota di Pulau Jawa. Jalan tol ini menghubungkan dua kota terbesar di Pulau Jawa, Surabaya – Jakarta yang merupakan salah satu prioritas program nasional. Diharapkan peningkatan infrastruktur jalan tol nantinya memiliki dampak positif terhadap pembangunan ekonomi dan sosial bagi daerah di Jawa. Pembangunan to Trans Jawa dimulai sejak tahun 1978. Pada kurun waktu 1978 sampai 2004 telah terbangun jalan tol sepanjang 242 km dari Merak hingga Cikampek. Kemudian Pemerintah kembali fokus pada untuk menyelesaikan proyek ini pada tahun 2005. Salah satu bagian dari progam ini disusunnya basic design jalan Tol Semarang-Solo (Somar) oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2005. Pembangunan jalan tol ini sebagai alternatif pengurangan masalah transportasi, peningkatan pemerataan pembangunan, dan terjadinya multiplier effect pertumbuhan perekonomian, baik di tingkat pusat maupun daerah-daerah di Jawa Tengah dan di Jawa.
Selain itu, Pembangunan jalan tol yang masif di Era Jokowi dilakukan bertujuan untuk meningkatkan konektivitas antar wilayah guna menurunkan biaya logistik sehingga meningkatkan daya saing Indonesia sebagaimana Nawa Cita Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pembangunan jalan tol diharapkan dapat membangkitkan ekonomi di daerah-daerah. Karena selama ini terdapat ketimpangan ekonomi di daerah karena infrastruktur yang tidak merata. Kebangkitan ekonomi daerah diharapkan dapat memajukan ekonomi nasional, kesejahteraan rakyat juga makin merata. Menyadari pentingnya Tol Trans Jawa, pemerintah melalui perusahaan dan perusahaaan swasta menggelontarkan dana investasi triliunan rupiah untuk merealisasikanya.
Nilai investasi yang fantastis
Berdasarkan data dari tim riset CNBC, menyatakan bahwa total investasi yang dibutuhkan untuk menyambungkan ruas tol dari Pejagan hingga Probolinggo yang sepanjang 626, 75 kilometer dibutuhkan biaya sebesar Rp67,94 trilliun. Sedangkan biaya pembebasan lahan proyek tersebut menyentuh angka Rp 5,9 triliun. Artinya, rata-rata biaya investasi yang dibutuhkan untuk setiap 1 kilometer jalan yang dibangun mencapai Rp 108,4 miliar, diluar pembebasan lahan. Bila ditelusuri lebih dalam, biaya investasi per kilometer untuk masing-masing jalan tol bervariasi. Ruas jalan tol Probolinggo-Banyuwangi tercatat biaya investasi paling mahal untuk setiap 1 kilometer, yaitu sebesar Rp 142,7 miliar. Sedangkan, yang paling murah adalah ruas tol Solo-Ngawi yang sepanjang 90,42 kilometer, dengan biaya investasi per kilometernya hanya sebesar Rp 56,8 kilometer. Melihat nilai rupiah yang tidak sedikit dalam proyek tersebut tentu melahirkan sebuah pertanyaan dalam benak kita. Mengapa biaya pembangunan tol Trans Jawa bisa begitu mahal?
Sulitnya Pembebasan Lahan
Ada banyak faktor yang menjadi pemicu mahalnya biaya pembangunan Tol Trans Jawa. Jika diuraikan berdasarkan faktor terbesarnya maka penyebabnya adalah sulitnya pembebasan lahan sebab dalam setiap pembangunan. Masalah pembebasan lahan menjadi masalah dan perhatian khusus karena akan selalu membawa dampak bagi masyarakat yang tanahnya dibebaskan atau dialihfungsikan. Menurut data dari Sekolah Tinggi Pertahanan Nasional, hampir 80% pengadaan tanah di Indonesia mengalami macet atau mengalami persoalan. Artinya ada banyak kendala teknis maupun nonteknis di lapangan. Kondisi itu harus mendapat perhatian yang serius agar bisa ditemukan penyelesaianya. Apakah dari faktor ganti rugi, proses atau ada persolalan lain baik dari sisi regulasi maupun penerapan kebijakan yang tidak tepat. Faktanya, beberapa kasus tertundanya pembebasan lahan menyebabkan terhambatanya pembangunan yang sudah dicanangkan oleh pemerintah. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum memiliki tingkat kerumitan tersendiri untuk mencapai kata sepakat, umumnya hal ini terkait rasa keadilan bagi pemilik tanah.
Persoalan ini tidak sederhana karena pembebasan tanah dalam istilah lain dapat diterjemahkan sebagai penggusuran secara legal, sebab dilindungi oleh dua jaminan hukum yaitu UU No.2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Tahun No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Beberapa pasal dalam undang undang tersebut ( UU No.2 Tahun 2012 ) menajamin kekuatan hukum yang sangat kuat bagi pemiliik tanah. Contohnya terdapat pada pasal 3 “Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.” Pasal 5 “Pihak yang Berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Pasal 9 (1) Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. (2) Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil. Bahkan, beberapa pasal menginindikasikan bahwa sang pemilik tanah dapat memaksa pemerintah untuk melakukan ganti rugi sesuai keinginan mereka. Karena pemaksaan inilah memnyebabkan mahalnya kesepakatan antar pihak khususnya kesepakatan nilai ekonomi. Sehingga tidak heran praktik dilapangan yang sering muncul sebagai penolakan akibat penawaran harga yang tidak menemui kesepakatan antara pemerintah dan pemilik tanah.
Lambatnya tercapai kesepakatan berakibat besar terhadap penyelesaian proyek yang sudah berjalan, khususnya proyek konstruksi. Keterlambatan ini akan sangat berdampak pada pihak-pihak yang terlibat didalamnya yaitu pemilik proyek dalam hal ini pemerintah, dan kontraktor, dan masyarakat sebagai calon konsumen dari proyek infrastruktur pemerintah. Keterlmabatan akan menyebabkan meningktanya biaya untuk mempercepat suatu aktivitas dan bertambahnya overhead cost pada proyek. Untuk menutup kemungkinan kerugian akibat bertamabah overhead cost jalan yang biasa ditempuh adalah menaikan tarif pada suatu layanan yang telah dibangun, sehingga masyarakatlah yang harus menerima dampak negatifnya yaitu naiknya tarif.
Pada contoh kasus proyek infrastruktur Tol Trans Jawa sebenarnya sudah lama, sejak era Orde Baru atau pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Berdasarkan data Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Proyek ambisius ini telah dimulai sejak 1978 (41 tahun yang lalu) namun pada masa itu hanya beberapa ruas jalan tol yang berhasil dirampungkan. Yakni, tol Jakarta-Tanggerang (33km) pada November 1984, Surabaya – Gempol (49 km) Juli 1986 dan Jakarta- Cikampek (83 km) September 1988. Melihat fakta proses pembebasan lahan yang sulit, secara tidak langsung juga mempenaguruhi minat investasi dalam memasukan aliran dana ke dalam negeri. Tidak heran bila posisi Indonesia dalam laporan tahun World Bank pada akhir tahun 2018, tentang kemudahan berbisnis atau ease of doing business (EoDB) menempatkan Indonesia di urutan 73 dunia.
Kembali ke topik masalah pembebasan lahan, khususnya pada pembanguan Jalan Tol Trans Jawa itu sendiri. Dalam upaya membuktikan korelasi antara sebab dan akibat suatu masalah saya sebagai penulis menggunakan sumber data sekunder dengan metode pengumpulan data studi pustaka. Sehingga, ada beberapa contoh kasus masalah pembebasan lahan pada beberapa ruas Jalan Tol Trans Jawa yang tidak dapat ditemukan. Akan tetapi mengutip dari pendapat Menteri Pekerjaan Umum periode 2009-2014 Djoko Kirmanto yang dimuat dalam detik finance yang mengungkapkan bahwa salah satu penyebab lambatnya pembangunan Tol Trans Jawa adalah rumitnya proses pembebasan lahan.
Skema Pembiayaanya Yang Melibatkan Swasta
Faktor lain yang menjadi pemicu mahalnya tarif Tol Trans Jawa bearasal dari skema pembiaayaan pembagunan Tol Trans Jawa yang melibatkan pihak swasta atau Public Private Partnership/PPP. Lazimnya di berbagai negara, kegiatan pembangunan infrastruktur seperti kereta api, jalan, energi, ketenagalistrikan, dan sistem air bersih sepenuhnya dimiliki, dilakukan (operasionalisasi) dan dibiayai oleh Pemerintah. Dalam perkembangannya, tidak seluruh negara memiliki kapasitas yang memadai dalam penyediaan infrastruktur, khususnya dalam aspek pembiayaan.
Disisi lain, beberapa kegiatan infrastruktur yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak dapat menunjukkan kinerja yang optimal. Salah satu kasusnya dialami oleh PT Hutama Karya, perusahaan BUMN yang menjadi pengelola jaln tol Trans Sumatera Pekanbaru – Dumai. PT Hutama gagal dalam pengembalian dana pembiayaan pembangunan jalan tol tersebut dengan total nilai Rp16 triliun Selanjutnya, dalam mengakomodasi keterbatasan pembiayaan kegiatan pembangunan infrastruktur sekaligus mendorong optimalisasi kinerja, Public Private Partnership (PPP) mulai dikembangkan di beberapa negara sejak awal tahun 1990 di beberapa Negara contohnya pembangunan Bandara LaGuardia di New York.
PPP dimaknai sebagai kerja sama antara Pemerintah dan sektor swasta berdasarkan kapasitas masing-masing pihak untuk memenuhi tujuan bersama yang disepakati dalam bidang kebutuhan umum dengan mempertimbangkan kesesuaian alokasi sumber daya, resiko dan imbal jasa/penghargaan (rewards). Dalam bahasa yang lain, PPP adalah kesepakatan antara dua pihak atau lebih yang memungkinkan mereka saling bekerja sama guna mencapai tujuan bersama, yang mana masing-masing pihak berperan berdasarkan tingkat tanggung jawab dan kekuasaannya, tingkat investasi atas sumber daya, level potensi resiko dan keuntungan bersama.
Mekanisme PPP berfungsi menggeser mayoritas pembiayaan dari Pemerintah kepada pihak swasta sehingga meminimalisasi biaya pemeliharaan, peningkatan kualitas pelayanan, efisiensi terhadap ketertinggalan teknologi, resiko finansial, maupun dalam meningkatkan kapasitas pengelola. Sementara swasta dipandang berpotensi mampu memberikan pengelolaan yang efisien melalui mekanisme yang lebih terstruktur dan terukur beserta kemampuan pembiayaan yang lebih fleksibel.Hal yang paling menarik adalah pada saat masing-masing tipe kerja sama dalam PPP memiliki tingkat resiko yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat partisipasi dan imbal jasa yang diberikan.
Semakin berkurangnya partisipasi Pemerintah maka semakin besar potensi resiko yang ditransfer kepada pihak swasta, demikian pula sebaliknya. Dapat dimisalkan pada tipe Operasi dan Pemeliharaan, resiko terbesar akan melibatkan Pemerintah. Sementara dalam tipe konsesi, resiko paling besar akan ditanggung oleh swasta berikut dengan besarnya investasi yang harus dikeluarkan. investasi yang diberikan berpotensi menimbulkan resiko yang besar beserta dengan reward atas investasi tersebut. Dalam kasus Tol Trans Jawa beberapa ruas bahkan dikuasai oleh pihak swasta.
Indepedensi dan otonomi dalam pengambilan keputusan kebijkan publik
Kemudian disebabkan oleh independensi dan otonomi birokrasi dalam pengambilan keputusan, banyak kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia tidak dirumuskan dengan jelas pada level undang-undang. Sebagian besar justru dirumuskan dalam peraturan pelaksana yang seringkali berbeda dari undang-undang atau peraturan di atasnya. Ketika pucuk pimpinan tidak melakukan pengawasan dan koordinasi, maka birokrasi akan mengambil keputusan untuk kepentingan mereka sendiri. Apalagi banyak tender konsesi jalan tol dimenangi oleh perusahaan yang terkait dengan konglomerat dan para elite politik. Situasi ini yang kemudian membuat pengawasan terhadap pemegang konsesi untuk mematuhi kontrak tidak berjalan. Dengan pelbagai alasan, pemegang konsesi menunda konstruksi dan kemudian mengambil keuntungan dari rente jual beli konsesinya
Tujuan bertolak belakang dengan hasil akhir
Akibatnya, pasca diberlakukanya tarif Tol Trans Jawa pada tanggal 21 Januari lalu banyak pihak yang tidak puas dengan tarif yang ditetapkan oleh pemerintah, baik dari pengusaha jasa transportasi, LSM, hingga oposisi pemerintah. Dikutip dari website resmi Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) sebagai pengelola Tol Trans Jawa, berikut tarif tol yang berlaku untuk kendaraan golongan 1 hingga golongan 6.
Berikut golongan jenis kendaraan bermotor pada jalan tol yang sudah beroperasi berdasarkan Kepmen PU No 370/KTPS/M/2007.